Salju

Dari sisi visual, mengingat statusnya sebagai sebuah game dengan budget yang rendah, tak ada yang benar-benar bisa dikeluhkan dari I Am Setsuna ini. Sebagai game perdana yang muncul dari Tokyo RPG Factory, ia terhitung berhasil menjalankan tugasnya sebagai sebuah game JRPG dengan cita rasa klasik. Kualitas visual yang tak sebanding dengan platform generasi saat ini memang sangat bisa ditoleransi jika bercermin pada kondisi tersebut, apalagi mengingat eksekusi seperti ini tepat untuk menyalurkan cita rasa klasik itu sendiri. Hasilnya? Ia terasa seperti sebuah game JRPG yang Anda nikmati 10 atau 15 tahun yang lalu, namun masih mengusung visual yang relevan untuk teknologi saat ini.
Bentuk karakter yang imut setidaknya “terobati” dengan art karakter keren yang muncul setiap kali Anda mengakses menu yang ada, memberikan sedikit gambaran soal tampilan seperti apa yang diusung oleh tiap karakter. Karena seperti yang bisa diprediksi, kualitas visual seperti ini tak akan memberikan detail apapun untuk bisa dinikmati, membuatnya cukup sulit untuk mempresentasikan emosi di setiap adegan yang ada. Minus voice act, yang Anda butuhkan adalah ekstra imajinasi seperti masa lampau. Memang sedikit mengecewakan bahwa konten presentasi seperti ini tak dihadirkan, tetapi di sisi lain, membuatnya jadi pembungkus “nostalgia” yang manis karena atmosfer JRPG klasik yang mampu ia tawarkan. Keputusan yang punya nilai plus dan minusnya sendiri.


Jika ada satu hal yang menurut kami pantas dikeluhkan adalah desain dunia I Am Setsuna itu sendiri. Bagi Anda yang sempat mencicipi JRPG klasik, sensasi petualangan dan eksplorasi biasanya muncul ketika Anda melihat betapa luas dan bervariasinya lingkungan yang harus Anda lewati. Maka seperti sebuah formula yang selalu ada, Anda akan mengelilingi dunia penuh warna di dalamnya. Selalu ada gua lembap, selalu ada padang pasir, selalu ada pulau tropis yang hangat, selalu ada gunung berapi dengan lava yang menyala panas, selalu ada hutan dengan kabut, dan selalu ada gunung tinggi dengan jalan membingungkan. Sayangnya, semua itu tak ada di I Am Setsuna. Sejak awal hingga akhir permainan, Anda hanya akan bertemu dengan satu hal – salju.


Terus berhadapan dengan layar putih dan kota yang selalu terselimuti salju menjadi bumerang untuk presentasi I Am Setsuna itu sendiri. Tak hanya terasa membosankan karena minimnya warna yang muncul dimana Anda selalu bertemu dengan warna putih kemanapun Anda pergi, ia juga membuat tak ada satupun tempat yang terasa istimewa. Kota terlihat begitu serupa satu sama lain, dengan perbedaan yang hanya terasa di penempatan lokasi saja. Hal yang sama juga terjadi di dungeon gua yang akan Anda temui di beberapa titik, yang seperti halnya salju di permukaan, berakhir dengan penggunaan aset yang berulang. Anda akan melihat tekstur lantai atau dinding gua yang selalu sama, dengan desain musuh yang juga terkadang berakhir sekedar berbeda warna. Kami sendiri yakin bahwa I Am Setsuna bisa berakhir jadi game yang jauh lebih optimal jika mereka menyuntikkan kawasan yang lebih bervariasi, daripada sekedar salju di semua titik. Bahkan untuk ukuran seorang gamer negara tropis yang tak pernah melihat salju sama sekali, salju di I Am Setsuna sudah sampai di tahap memuakkan.
Klasik tapi Baru

Salah satu hal yang membuat I Am Setsuna tampil “klasik” tentu mengakar pada pendekatan gameplay yang ia tawarkan. Tak seperti game JRPG saat ini yang sebagian besar berusaha tampil modern dengan mengikuti arah yang ditetapkan oleh game RPG barat, dengan pendekatan yang lebih action dan dunia yang lebih terbuka, I Am Setsuna hadir dengan apa yang Anda ingat soal seri klasik seperti Chrono Trigger atau Final Fantasy di masa lalu. Sebuah game RPG dengan sistem ATB yang akan meminta Anda untuk menyerang bergantian, menggunakan giliran Anda seefektif mungkin, dan berujung pada sistem yang akan membuat orang awam yang duduk di dekat Anda tak ragu berkomentar, “Berantem kok pakai giliran!”.
Maka sistem klasik ini jugalah yang mengukuhkan posisi I Am Setsuna sebagai sebuah game JRPG dengan cita rasa klasik namun dibungkus dengan visual yang terasa lebih relevan dibandingkan judul-judul masa lampau tersebut. Walaupun demikian, bukan berarti mereka tak menyuntikkan hal baru sama sekali di dalamnya. Bahkan sistem ATB ini dipermak sedemikian rupa untuk sebuah lapisan sistem baru bernama Momentum yang berhasil membuatnya menyegarkan. Sebuah sistem yang membuat ATB tak sekedar waktu yang harus Anda tunggu untuk sebuah aksi, tetapi juga bisa Anda atur untuk kepentingan lebih strategis.


Jika Anda tak langsung mengeksekusi gerakan Anda setelah ATB penuh, maka surplus waktu tersebut akan membuat lingkaran di sebelah status karakter – yang disebut sebagai Setsuna Points (SP) perlahan tapi pasti, akan terisi. Begitu terisi penuh, Anda akan mendapatkan satu ekstra point cahaya berbentuk seperti bintang di atas lingkaran sebagai indikator bahwa Anda kini bisa mengeksekusi serangan Momentum. Dengan menekan satu tombol yang tepat pada saat animasi serangan karakter, Momentum Attack akan memunculkan ekstra efek serangan yang tak akan Anda dapat dari serangan biasa. Elemen strategi meluncur dari timing dan pemanfaatan Momentum yang tepat.
Apa pasal? Karena fungsi yang satu ini sendiri tak berakhir jadi sekedar penguatan damage atau area serangan fisik belaka. Setiap serangan Momentum, apalagi untuk Tech (skill) yang ada, biasanya akan menghasilkan efek yang berbeda. Serangan Stone Break misalnya, yang seharusnya mampu menghasilkan damage fisik dengan sedikit kesempatan untuk membekukan lawan, ternyata bisa memulihkan porsi HP untuk party jika dieksekusi dengan Momentum. Sementara skill yang difokuskan untuk healing, misalnya, bisa memberikan efek ekstra seperti pecepatan pemulihan bar ATB atau pemulihan beragam status effect yang ada. Haruskah Anda menyerang secepat mungkin? Atau sedikit bersabar sembari menunggu SP sedikit terisi, walaupun harus berhadapan dengan resiko “memakan” damage terlebih dahulu? Di beberapa titik, apalagi status effect yang juga memainkan peranan cukup penting, keputusan seperti ini bisa mempengaruhi hasil pertarungan seperti apa yang Anda dapatkan.


Salah satu keunikan yang lain hadir dari sistem Tech yang muncul sebagai skill untuk digunakan di pertarungan. Jika di game RPG lain, Tech mungkin terikat pada satu karakter tertentu untuk menentukan perannya masing-masing, hal tersebut tak berlaku di I Am Setsuna. Ia meramu sistem skill ini dengan konsep crafting yang tak pernah diprediksikan sebelumnya. Spritnite sendiri bersifat layaknya Materia di Final Fantasy VII, dimana Anda harus mengenakannya di slot yang tersedia untuk masing-masing karakter untuk mendapatkan efeknya. Anda bisa mendapatkan skill aktif yang akan membantu Anda langsung dalam pertempuran atau skill pasif yang berperan sebagai buff permanen yang berjalan di latar belakang. Lantas, dimana implementasi sistem craftingnya? Tak dijual bebas, cara untuk mendapatkan Spritnite di luar eksplorasi hanyalah melalui seorang merchant khusus yang biasanya tersedia di setiap kota. Ia akan menawarkan kepada Anda beragam variasi Spritnite yang ada, namun hanya bisa dibuka jika Anda berhasil menjual material yang memang dibutuhkan untuk membukanya. Ia juga sekaligus menjadi resource terbaik untuk mengumpulkan uang yang bisa dialokasikan untuk senjata, aksesoris, dan juga item lainnya. Resource yang Anda dapatkan dari tiap pertarungan juga bergantung pada Tech dan elemen seperti apa yang Anda gunakan untuk memusnahkan musuh-musuh tersebut.

Dari sistem gameplay, I Am Setsuna memang terasa memenuhi hampir semua yang Anda inginkan dari JRPG klasik. Namun sayangnya, ini juga berarti beberapa kekurangannya yang tak lagi terasa relevan. Kebutuhan untuk menentukan party dalam jumlah yang terbatas sebagai ujung tombak memang bisa dimengerti, namun keputusan untuk membuat mereka tak mendapatkan EXP sama sekali di latar belakang tentu menjadi sebuah konsep yang merepotkan. Hasilnya? Anda yang memang berambisi untuk memperkuat tiap karakter, apalagi ketika cerita membuat karakter andalan Anda tak tersedia, harus melalui proses grinding yang tentu saja butuh waktu. Fakta bahwa Anda hanya bisa menyimpan permainan di titik tertentu, yang terkadang terjadi sebelum sebuah cut-scene panjang yang tak bisa di-skip, juga seharusnya jadi teknologi “kuno” yang tak perlu lagi dihadirkan terlepas dari betapa inginnya kita merasakan sensasi klasik tersebut. Elemen gameplay seperti Singularities yang terjadi secara acak di pertarungan bergantung pada jumlah Momentum yang Anda gunakan berakhir jadi hal lain yang tak terasa signifikan untuk diperhatikan.
Tags: i am setsuna, jrpg, pc, playstation 4, review, RPG, square enix, tokyo rpg factory