Guru di Inggris Salahkan Video Game atas Kekerasan di Sekolah
Sebagian besar dari kita tentu masih ingat dengan jelas salah satu fenomena paling mencemaskan yang pernah terjadi di Indonesia, ketika banyak anak-anak mengalami cedera fisik dan luka ketika bermain. Alasan utamanya? Acara gulat hiburan – WWE yang begitu populer di kala itu dan sistem penyaringan yang begitu lemah membuat anak-anak melakuan imitasi pada gerakan-gerakan berbahaya yang mereka lihat di layar kaca. Menerapkan gerakan yang sama ke teman sebaya tentu saja menghasilkan konsekuensi yang buruk. Hal yang kurang lebih serupa juga dikeluhkan oleh guru-guru di Inggris saat ini, namun ke fokus perhatian kepada video game yang dirilis belakangan ini.
Alison Sherratt, mantan ketua dari Asosiasi Guru dan Dosen menyatakan bahwa peningkatan tingkat kekerasan dan tingkah laku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah disebabkan oleh video game yang “buruk”. Kehadiran kekejaman yang seolah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari industri game saat ini dinilai menjadi alasan utama banyak anak-anak yang memukul dan melukai teman-teman sebayanya, bahkan tanpa alasan yang jelas. Mereka terkadang bahkan menambahkan sound effect cipratan darah yang dirasakan “mengganggu”. Sheratt juga menemukan korelasi yang sangat kuat antara anak-anak yang datang ke sekolah dalam kondisi lelah dengan kebiasaan mereka bermain game. Intinya? Ia meminta pemerintah Inggris untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara video game dan tingkah laku.
Secara psikologis, anak-anak yang berada pada sekolah awal memang lebih banyak belajar dari proses imitasi terhadap berbagai stimulus yang didapatkan oleh panca inderanya. Oleh karena itu, argumen yang disampaikan oleh Alison Sherratt ini memang cukup beralasan. Namun, menyalahkan video game sepenuhnya atas masalah ini? Kami pribadi memandangnya terlalu “dangkal” untuk dapat dijadikan sebagai sebuah kesimpulan. Mengapa? Fakta bahwa anak-anak dengan usia seperti ini bisa mendapatkan dan memainkan game-game yang dilarang untuk usia mereka sudah cukup mencerminkan lemahnya kontrol dan pengawasan orang tua. Sistem rating umur ala ESRB atau PEGI seharusnya sudah menjadi filter yang cukup mumpuni jika saja orang tua “rela” untuk menyempatkan diri memantau apa yang dilakukan oleh anak mereka.
Source: Telegraph