Review Call of Duty – WWII: Salah Satu Seri Terbaik!
Lumpur dan Darah

Jika ada satu hal yang mungkin Anda rindukan dari tema perang futuristik yang diambil oleh Call of Duty selama beberapa tahun terakhir, adalah presentasi visual yang mereka tawarkan. Fakta bahwa mereka hadir dalam genre sci-fi yang tidak harus mengakar pada kenyataan membuat developer punya kebebasan untuk meracik apapun yang mereka inginkan. Dari sekedar ruangan penuh metal sebagai tempat bermain, suasana pertempuran luar angkasa dengan ragam meteor dan planet yang terlhat begitu indah di kejauhan, hingga sekedar permainan warna armor dan desain yang gila. Dengan kembalinya Call of Duty ke perang dunia kedua yang tentu saja berpijak pada kenyataan, maka Anda tentu tidak akan lagi berhadapan dengan kebebasan yang serupa. Yang tersisa kini, adalah lumpur dan darah.
Warna permainan yang lebih kelam dan gelap memang mau tidak mau, menjadi bagian dari Call of Duty: WWII. Tidak ada gelombang optimisme dalam sebuah kegiatan yang dengan mudahnya, membuat ratusan ribu nyawa melayang begitu saja. Maka yang Anda temukan di sepanjang permainan adalah sebuah arena pertempuran yang penuh dengan lumpur dan reruntuhan, seolah menggetarkan gelombang keputusasaan dan kerusakan yang intensif, baik di mode multiplayer ataupun campaign itu sendiri. Untungnya, Sledgehammer Games cukup cerdas untuk menyuntikkan sedikit variasi untuk membuatnya tidak terasa monoton di sana. Selain pertempuran penuh lumpur, tanah, dan pepohonan, Anda juga akan berhadapan dengan pertarungan dalam kota yang cukup dramatis.


Salah satu hal yang pantas untuk diacungi jempol adalah konsistensi untuk memotret perperangan dan brutalitas yang muncul darinya secara eksplisit. Bahwa aksi Anda ketika menembak kepala atau sekedar melemparkan granat sekarang tidak hanya disambut dengan tubuh yang melayang begitu saja, tetapi terkadang potongan tubuh yang tak terhindarkan. Konten gore seperti ini juga didesain tidak berlebihan seperti Wolfenstein II misalnya, dan berusaha ditampilkan serealistis mungkin. Keputusan untuk mempertahankan elemen seperti ini tentu saja membuat pengalaman yang hadir, terasa otentik.
Pertanyaan terpenting yang mungkin berada di benak Anda sekarang, adalah bagaimana kualitas visaulisasi yang ia tawarkan? Seperti seri sebelumnya, Call of Duty: WWII menggabungkan konten pre-rendered cut-scene untuk membungkus cerita utama yang ada, dan tentu saja dramatisasi dengan scripted event khas franchise yang satu ini. Jika dibandingkan dengan Infinite Warfare misalnya, tidak ada perubahan dari sisi visual yang benar-benar mencenangkan, misalnya. Namun untuk memperkuat statusnya sebagai seri pertama perang klasik Call of Duty yang dirancang dan dirilis untuk platform generasi saat ini, ada beberapa elemen baru yang ditambahkan dari sisi presentasi. Dari salah satu chapter dimana Anda bisa melihat bahwa serangan tank Anda kini mulai bisa merusak dan menghancurkan bagian gedung tertentu, hingga sekedar detail visual pasukan Nazi yang berusaha menikam Anda dengan pisau dari jarak dekat. Presentasi yang ditawarkan memang pantas untuk diacungi jempol.


Tentu saja, seperti yang kami bicarakan sebelumnya, Anda memang butuh membiasakan diri kembali dengan warna keseluruhan jika sempat mencicipi seri futuristik Call of Duty selama beberapa tahun terakhir. Kerennya lagi? Mengingat salah satu scene awal juga digunakan oleh seri Call of Duty masa lalu, Anda kini bisa melihat seberapa signifikan perbedaan dan perkembangan teknologi yang ditawarkan oleh Call of Duty: WWII saat ini.
Mode Campaign yang Fantastis!

Jika Anda dan saya berbicara soal apa yang jadi kekuatan utama Call of Duty sebagai sebuah franchise, sebagian besar dari kita sepertinya akan setuju bahwa ia selalu mengandung mode campaign (cerita) yang tak pernah gagal fenomenal. Bahwa terlepas dari statusnya sebagai game FPS linear dengan sistem koridor yang hanya meminta Anda untuk bergerak dari titik A ke titik B tanpa ada kesempatan dan kebutuhan eksplorasi yang memadai, tidak lantas membuat sang developer tidak bisa berinovasi dengannya. Hal yang sama juga diterapkan Sledgehammer Games di Call of Duty: WWII. Untuk sebuah game yang tidak bisa lagi memanfaatkan sistem seperti jetpack, double jump, atau wall-running, mereka punya pekerjaan berat untuk memastikan konsep lawasnya tidak lantas membuatnya terasa monoton. Untungnya, Sledgehammer Games melakukan tugas yang baik dengannya.
Kembali mempresentasikan momen perang dunia kedua yang ikonik dengan teknologi baru dengan dramatisasi ala film Hollywood yang serupa, Anda sepertinya masih akan berhadapan dengan sensasi campaign Call of Duty yang familiar. Namun berbedanya? Seri yang satu ini tidak lagi berputar soal pertempuran antara “baik vs jahat” seperti di seri-seri sebelumnya. Walaupun Anda menikmatinya dari kacamata seorang prajurit Amerika Serikat, namun jelas bahwa Sledgehammer Games ingin memotret lebih luas soal konsekuensi sebuah perang. Yang Anda dapatkan adalah sebuah game yang memperlihatkan seperti apa dampak yang bisa muncul dari aksi saling membunuh untuk melindungi atau memperjuangkan satu ideologi spesifiki ini. Bahwa bukan membuat Anda merasa seperti seorang superhero yang dengan mudahnnya mampu membalikkan keadaan, Anda berperan sebagai seorang manusia yang sekedar “terjebak” di dalam situasi buruk, mewakili satu pihak, dan sekedar ingin pulang ke rumah selamat bersama dengan teman-teman Anda di satu divisi yang sama.


Hasilnya adalah mode campaign yang fantastis dari sisi cerita. Bahwa tidak seperti di seri-seri sebelumnya yang selalu berputar dan bercerita dengan Anda – sang karakter utama sebagai roda pendorong, Call of Duty: WWII justru ingin memperlihatkan seberapa buruk sebuah perang dan beban yang harus dipikul tidak hanya orang-orang yang terlibat secara aktif di dalamnya, tetapi juga mereka yang mau tidak mau, “dipaksa” untuk ikut memikulnya. Ia memperlihatkan horror, kekejaman, pengorbanan, kematian, hingga sekedar kondisi seperti trauma dan beban psikologis sebagai sesuatu yang “lumrah”di dalam usaha untuk bertahan hidup ini. Ia juga memotret Nazi lewat sudut pandang baru yang belum pernah dilakukan di seri lawas seperti memperlihatkan terror yang muncul dari kamp konsentrasi, contohnya. Eksekusinya dilakukan dengan baik, sembari mempertahankan cerita yang tetap koheren.
Lantas, bagaimana dengan sisi gameplay itu sendiri? Ada banyak inovasi yang ditawarkan Sledgehammer Games di sini, dengan beberapa di antaranya terhitung cukup signifikan. Sebagai pembuka? Seperti seri Call of Duty di masa lalu, mereka membuang sistem regenerasi health di sini. Sebagai gantinya, Anda kini berhadapan dengan sebuah bar HP yang terpampang di bagian kiri bawah layar. Untuk memulihkan diri, Anda kini harus menggunakan med-kit yang tersebar di arena pertempuran, ataupun lewat sebuah mekanik baru lain yang tak kalah keren. Benar sekali, ia kini juga menyisipkan konsep Kill-Streak di dalam permainan.


Untuk meninggalkan kesan bahwa teman-teman seperjuangan Anda tidak berakhir sekedar karakter “tamu” di dalam cerita yang tidak punya peran signifikan apapun, Sledgehammer Games mendesain sistem gameplay baru untuk mendorong Anda punya keterikatan emosional dengan mereka. Mereka mengadaptasikan sistem kill-streak dengan ragam bonusnya ke dalam mode single player campaign ini. Selayaknya sebuah sistem skill yang punya waktu cooldown dan butuh untuk terisi, Anda kini bisa meminta “bala bantuan” ke teman NPC yang berperang aktif bersama dengan Anda di medan pertempuran. Lewat sebuah user-interface yang diletakkan di bagian kanan layar, Anda bisa melihat siapa saja yang bisa Anda minta bantuannya pada saat itu ataupun berapa banyak lagi bar yang harus diisi agar Anda bisa menggunakannya. Setiap anggota divisi Anda akan menawarkan tambahan kemampuan yang berbeda-beda, dari yang memberikan Anda ammo, med-kit, membuat highlight setiap musuh agar Anda bisa mengetahui posisi mereka, hingga yang memungkinkan Anda untuk memanggil bala bantuan Artillery Strike untuk membantu membersihkan satu area secara instan.
Di luar sistem tanpa regenerasi health dan support dari teman NPC Anda ini, Call of Duty:WWII juga menawarkan beberapa sesi permainan baru yang membuatnya tidak hanya unik, tetapi memperkuat presentasi cerita yang ada. Ada sesi ketika Anda bermain sebagai Rosseau – seorang mata-mata sekaligus pemimpin pemberontakan yang tidak berfokus pada usaha mengangkat senjata. Anda justru diminta untuk menyusup ke markas musuh dengan gameplay yang berpusat pada usaha untuk mengingat identitas palsu Anda, mengorek informasi dari para petinggi Nazi, dan “menyulut” perang pembebasan di Paris. Segmen gameplay baru lain yang menurut kami cukup keren adalah sesi berkendara super cepat dengan menggunakan Jeep di tengah terjangan peluru dan senjata berat yang dramatis. Sisanya? Anda yang familiar dengan formula Call of Duty masih akan berhadapan dengan konten yang sama.


Satu yang menarik, adalah “kebebasan” gameplay yang ia tawarkan di beberapa misi yang ada. Bahwa tidak seperti game kebanyakan yang akan menggagalkan Anda begitu saja ketika Anda ketahuan di sebuah misi yang jelas merupakan misi berbasis stealth misalnya, Call of Duty: WWII memutuskan untuk mendorong gameplay untuk terus berjalan. Tidak ada proses gagal instan dan sejenisnya di sini, hanya Anda yang harus berhadapan dengan konsekuensi spesifik sementara. Membuka serangan terbuka berarti membuat banyak pasukan Nazi sadar akan posisi Anda dan akan berusaha menyerang Anda begitu saja. Di salah satu misi dimana Anda harus mengendap untuk mengejar sebuah kereta misalnya, ia akan langsung mulai menghitung countdown hingga kereta berangkat, membuat Anda kini “dikunci” di dalam ruang waktu yang terbatas.
Maka hasilnya adalah sebuah mode campaign yang pantas untuk diacungi jempol. Di luar beragam inovasi gameplay baru yang disuntikkan, termasuk sesi QTE yang kini berbeda dengan meminta Anda untuk mengarahkan terlebih dahulu arah tombol yang ingin Anda capai, maka kemampuan Sledgehammer Games untuk meracik sebuah cerita perang yang lebih personal dan emosional lah yang membuat kami jatuh hati. Ini bukan lagi sekedar membunuh pasukan Nazi jahat dengan pasukan Sekutu yang ada. Ini juga soal melihat dan memandang perang sebagai satu keseluruhan situasi. Sebuah tragedi yang meminta begitu nyawa, baik yang terikat ataupun tidak terikat pada hidup Anda.












