10 Hal yang Paling Melukai Harga Diri Gamer!
Bermain video game adalah hobi, sebuah pernyataan yang tepat untuk menjelaskan mengapa Anda berkumpul dan membaca artikel yang satu ini. Permasalahannya bagi beberapa gamer, terutama mereka yang sudah menginvetasikan banyak waktu di sini, game terkadang bisa jauh lebih serius dari yang dibayangkan. Tantangan yang sulit untuk ditundukkan tetap memancing rasa penasaran tinggi, game multiplayer dengan scene kompetitif yang intens, game puzzle yang butuh kerja ekstra otak, hingga sekedar game single player yang siap untuk membuat emosi Anda terkuras. Pelan tapi pasti, video game bergerak dari media yang diracik untuk sekedar bersenang-senang menjadi sebuah aktivitas yang punya motivasi lebih daripada itu. Sesuatu yang butuh tenaga dan waktu untuk diseriusi.
Hasilnya? Kita semua bertemu dengan begitu banyak momen yang mungkin secara tidak sengaja, “melukai” hati kecil kita. Bisa pulih memang, namun “serangan” yang satu ini biasanya akan berdampak besar pada harga diri yang mau tidak mau harus diakui, terkadang dipertaruhkan di game apapun yang tengah Anda jajal. Hasilnya adalah rasa malu yang berlebih dengan moral yang terjun bebas untuk beberapa saat. Anda terkadang juga berujung merenungi skil Anda sebagai seorang gamer atau apakah Anda masih pantas untuk menyandang predikat yang satu tersebut. Harga diri Anda hancur berantakan.
Lantas, dari semua kejadian yang bisa terjadi pada saat Anda bermain game, 10 hal apa saja yang kami – JagatPlay anggap sebagai yang paling melukai harga diri sebagai gamer? Ini dia:
“D”
Kami sepertinya harus jujur bahwa game-game single player yang memutuskan untuk menggunakan sistem skor untuk menilai performa Anda di stage tertentu, seperti yang dilakukan Devil May Cry dari Capcom misalnya, selalu jadi sumber kecemasan tersebut. Sulit rasanya untuk mengabaikan rasa peduli bahwa untuk bisa dipandang sebagai gamer yang mumpuni, Anda setidaknya harus mencapai nilai di atas rata-rata bagaimanapun caranya. Namun terkadang nasib berkata lain. Kombinasi dan kelelahan Anda menekan kombinasi beragam tombol ternyata tidak cukup untuk mengatasi gerak serang acak musuh dan jumlah mereka yang banyak, misalnya. Ketika stage berakhir dan Anda mendapatkan nilai “D” untuk performa Anda, di situlah harga diri terasa terinjak-injak. Lebih buruknya lagi? Anda menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencemaskan stage selanjutnya.
Bad Ending
Hal yang serupa juga terjadi dengan game-game yang punya begitu banyak alternatif ending yang terkadang pemicunya bahkan tidak bisa dilihat secara eksplisit. Bahwa ternyata keputusan Anda untuk mengambil opsi percakapan tidak penting (seperti The Witcher 3) atau bagaimana Anda merespon reaksi musuh terhadap situasi tertentu (seperti Metro Exodus) akan berpengaruh pada ending yang Anda dapatkan. Aksi bersenang-senang dan masa bodoh Anda pun berjalan selama belasan hingga puluhan jam, tanpa beban. Hingga pada satu titik, Anda menemui bahwa karakter utama yang Anda gunakan berakhir tewas dan dunia yang berusaha Anda selamatkan, hancur penuh abu. Parahnya lagi? Ketika teman datang menghampiri Anda dengan satu pertanyaan, “Udah tamat ya? Dapat ending apa?”. Ingin sekali tidak menjawab pertanyaan itu.
Membandingkan Progress
Teman memang terkadang bisa menjadi “musuh dalam selimut”. Bukan karena mereka dengan sengaja melakukan hal tersebut, tetapi karena komparasi yang Anda lakukan ternyata membuka satu informasi baru yang selama ini selalu Anda sangkal – bahwa Anda adalah gamer yang cupu. Bukan rahasia lagi bahwa gamer seringkali melakukan komparasi progress untuk berbincang dan berdiskusi soal tips dan trick yang mungkin terlewatkan. Yang sayangnya, terkadang menginformasikan bahwa progress Anda tertinggal jauh dan bagaimana Anda tidak mengoptimalkan waktu dengan sebaik-baiknya. Contoh? Ketika teman Anda sudah melunasi utang dan punya 10 sapi di tahun ketiga untuk Harvest Moon: Back to Nature, sementara Anda masih berjuang untuk menaikkan level perlengkapan Anda ke level maksimal di tahun ketiga dengan pola pertanian amburadul. Di momen ini, harga diri yang terluka sama dengan reaksi “Aku-ingin-mengulang-ini-game-lagi-thank-you”.
Posisi Terbawah Multiplayer
Sebenarnya tidak ada lagi momen realisasi paling buruk dan paling membuka mata yang bisa dirasakan gamer bahwa mereka punya skill di bawah rata-rata selain menemukan bahwa seringkali di game kompetitif, mereka di bawah urutan yang paling bawah. Dimana mereka lebih sering bertemu dengan halaman dan tulisan “Respawn” daripada “Kill” ataupun “Objective Completed”. Pelan atau pasti, ini tidak sekedar melukai harga diri, tetapi juga menumbuknya menjadi bubuk halus. Puncaknya? Ketika begitu seringnya hal ini terjadi hingga mereka tidak lagi percaya diri saat ia berada di posisi puncak dalam tim. Alih-alih berpikir “Saya hari ini jago”, mereka berpikir, “Tim saya pasti sampah makanya saya ada di posisi pertama”. Harga dan rasa percaya diri yang sudah luluh lantak ini adalah simtom yang jelas.