JagatPlay di TGS 2019: Ngobrol Santai Bareng Shuhei Yoshida!
Selalu jadi momen yang menyenangkan setiap kali muncul kesempatan untuk bertemu dengan Yoshida-san. Menggembirakan dan melegakan bahwa di tengah kepungan kebijakan industri game yang terkesan memosisikan gamer tidak lebih dari sekedar konsumen dan sumber uang, masih ada satu perusahaan yang dipimpin oleh korporat yang tidak hanya mengerti cara membuat video game dan menjual video game saja, tetapi apa yang membuat video game sebagai media yang fantastis. Kita berbicara soal seorang korporat yang berhasil menyabet Platinum Trophy di Bloodborne – game yang bahkan membuat para gamer veteran sakit kepala. Di sinilah pesona Yoshida-san.
Dengan senyumnya yang begitu kebapak-bapakan dan semangat yang menggebu-gebu setiap kali berbicara soal video game, boss besar Sony Interactive Entertainment Worldwide Studios (SIE WWS) ini memang selalu datang membawa energi positif. Seolah ia sudah siap menyambut pertanyaan apapun yang dilemparkan oleh para wartawan, termasuk kami yang berkesempatan untuk berada di ruang yang sama. Semuanya disajikan dalam atmosfer super santai di Messe Makuhari, Tokyo Game Show 2019, Jepang.
Kami membuka sesi tanya jawab tersebut dengan salah satu misteri yang sudah menghantui kami cukup lama. Jika Anda sempat menyaksikan film dokumenter “Raising Kratos” dari Santa Monica Studio soal kompleksnya proses pengembangan belakang layar God of War, maka Anda tentu sempat merasakan rasa stress kuat Cory Barlog ketika mendengar Shuhei Yoshida – sebagai salah satu perwakilan SIE yang menjajal build awalnya berakhir tidak menyukainya sama sekali. Pertanyaan kami kepada Yoshida-san, apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Disambut dengan gelak tawa khasnya, Yoshida-san mengaku bahwa kondisi God of War di awal pengembangan memang terhitung mengkhawatirkan. Yoshida-san mengaku bahwa build yang ia jajal penuh dengan masalah teknis. Kita berbicara soal banjir bug, framerate buruk, masalah di AI dan animasi, yang kemudian meninggalkan kesan “belum rampung” yang begitu kuat. Dengan tanggal rilis yang semakin dekat, ia takut Santa Monica Studio tidak akan mampu mewujudkan visi dan misi yang hendak mereka kejar sebelumnya. Untungnya, masalah ini bisa teratasi. God of War (2018) berakhir fantastis dan kini menjadi seri God of War terfavorit Yoshida-san.
Di kesempatan yang sama, Yoshida-san juga mengakui bahwa proses pengembangan God of War (2018) memang sedikit unik. Jika di proses pengembangan game pada umumnya, ia selalu dibentuk dari visi dan mimpi sebuah tim kecil terlebih dahulu sebelum membesar, God of War justru datang dengan tim berjumlah besar di awal. Hal ini merupakan konsekuensi dari proyek game mereka sebelumnya yang berakhir dibatalkan. Yoshida-san bahkan bercanda bahwa kondisi yang sempat meliputi Santa Monica Studio ini membuatnya merasa harus meminta kontroler dan menjajal build terakhir mereka setiap kali ia berkunjung. Pernyataan yang ia tutup dengan gelak tawanya yang ikonik,
Sebagai kepala yang bertanggung jawab atas developer-developer first party Sony Interactive Entertainment, tentu menarik untuk menggali sedikit informasi dari Yoshida-san terkait rencana akuisisi lebih banyak developer game di masa depan. Apalagi SIE belum lama ini mengakuisisi developer di balik Marvel’s Spider-Man – Insomniac Games. Yoshida-san secara mengejutkan langsung menutup kemungkinan yang satu ini,
Setidaknya dalam waktu dekat. SIE sama sekali tidak memiliki rencana konkrit untuk membawa lebih banyak developer di bawah bendera mereka. Yoshida-san menyebut bahwa proses akuisisi SIE atas studio-studio developer yang ada memang tidak sembarangan. Mereka biasanya memilih studio-studio yang sudah memiliki kerjasama cukup lama dengan SIE dengan sepak terjang yang sudah terbukti. Membeli studio developer sembarangan begitu saja bukanlah gaya mereka.
Satu yang menarik adalah pengakuan Yoshida-san bahwa Sony Interactive Entertainment sesungguhnya berujung lebih banyak membatalkan proyek game mereka daripada menjadikan dan merilis game-game ini ke pasaran. Proses seperti ini membuat kebijakan game-game eksklusif Sony Interactive Entertainment seolah sempurna dan tidak bercelah. Padahal identitas ini dibangun “semata-mata” karena SIE lebih memilih untuk memperkenalkan proyek mereka kepada publik ketika game tersebut mulai masuk ke fase yang mulai matang. Game-game belum matang yang berakhir diabaikan sebenarnya banyak. Yoshida-san juga memberikan apresiasi tersendiri bagi tim Management dan Marketing yang sudah cukup berbesar hati untuk memahami sulitnya proses pengembangan game di dalam SIE itu sendiri.
Beralih ke topik Remake dan Remaster, apalagi dengan posisi SIE yang sudah menelurkan setidaknya dua proyek – Shadow of Colossus (yang sudah tersedia saat ini) dan MediEvil (yang akan tersedia nanti), tentu ada harapan bahwa nama JRPG klasik – Legend of Dragoon juga akan mengemuka suatu saat di masa depan. Apalagi mengingat Yoshida-san sendiri juga terlibat di dalam game JRPG fenomenal tersebut. Ia secara terbuka mengungkapkan ketertarikan yang sama, melihat Legend of Dragoon mendapatkan proses remake sekelas FInal Fantasy VII dari Square Enix. Namun ia juga realistis. Dengan konten sebanyak 4 disc di versi original, proses remake Legend of Dragoon akan menuntut terlalu banyak resource. Oleh karenanya, ia tidak bisa banyak berjanji.
Kami juga menggunakan kesempatan kali ini untuk berbicara soal Isu “sensor” yang sepertinya menyelimuti nama Playstation selama setidaknya satu tahun terakhir ini. Kita berbicara soal komentar dari mantan producer Senran Kagura hingga “sensor cahaya aneh” yang sempat menyelimuti tubuh telanjang Trish di Devil May Cry 5. Apakah ini berarti Playstation memang mulai bergerak menjadi brand yang lebih ramah pada keluarga?
Yoshida-san mengakui masalah ini. Ia menegaskan bahwa kondisi industri game saat ini memang berbeda dengan masa lalu. Di masa lalu, dengan sistem region-lock yang tersedia, konten selalu bisa disesuaikan dengan badan rating umur setempat. Namun kini dengan popularitas internet yang kian meningkat dan proses impor yang kian mudah, Sony harus bertindak lebih hati-hati. Tidak jarang mereka harus mengaplikasikan kebijakan yang seharusnya melekat pada satu region tertentu secara global hanya untuk memastikan tidak ada masalah di kemudian hari.
Berbicara soal game terfavoritnya, Yoshida-san kembali mengekspresikan rasa suka dan cintanya pada Journey, game yang hingga saat ini masih terus melekat di hati. Ia selalu terkagum-kagum dengan fakta bahwa game yang “hanya” menawarkan waktu gameplay sekitar 3 jam ini, yang dibangun oleh sebuah tim kecil ini, bisa menggerakkan hati banyak gamer hingga cukup untuk membuatnya, berakhir memenangkan beragam penghargaan Game of the Year. Tidak hanya sekedar menggugah saja, ia juga menjadi pilar penyokong bagi gamer-gamer yang tengah berjuang menghadapi ragam permasalahan di dunia nyata. Semuanya lewat kemampuan Journey untuk mempresentasikan hidup itu sendiri.
Yoshida-san juga mengungkapkan keinginannya untuk melihat salah satu game racikannya di masa lalu – Ape Escape bisa “dilahirkan kembali” dalam bentuk remake ataupun remaster di masa depan. Sesi interview pun ditutup dengan santai, dengan penjelasan mendetail Yoshida-san yang cukup memberikan insight bagaimana “otak” Sony Interactive Entertainment ini mengembangkan, mempertahankan, dan memajukan nama Playstation itu sendiri. It’s always super fun to talk to Yoshida-san!