Review Concrete Genie: Memahami Bullying!

Bersama dengan perkembangan teknologi dan zaman, video game yang dulunya digadang sebagai sekedar media untuk bersenang-senang kini tumbuh menjadi media interaktif dan kreatif yang punya beragam visi dan misi. Walaupun intinya tetap menghadirkan sebuah pengalaman yang menyenangkan dan menarik, banyak developer datang untuk menawarkan sesuatu yang istimewa. Ada yang berfokus di sisi cerita, ada yang berfokus di pesan moral yang hendak dikejar, bahkan ada yang dirancang untuk membuat Anda bergerak lebih aktif di dunia nyata. Bagi Concrete Genie dari PixelOpus dan Sony Interactive Entertainment, ia tumbuh menjadi usaha untuk memahami salah satu masalah klasik yang tidak pernah terselesaikan – bullying.
Berusaha memahami sebuah masalah dengan latar belakang kompleks seperti ini, Concrete Genie tidak lantas jatuh pada bentuk sebuah game gelap penuh rasa depresi. PixelOpus justru meracik sebuah game dengan keceriaan yang menyeruak kuat lewat permainan warna dan konsep menggambar beragam makhluk-makhluk fiktif yang imut sebagai pondasi. Kombinasi dua konsep yang penuh kontras ini melahirkan rasa penasaran dan ketertarikan bagaimana carai PixelOpus menanganinya. Dan tentu saja, sebagai video game, tetap ada tuntutan untuk memastikannya tetap menarik dan nyaman untuk dinikmati secara interaktif.
Lantas, apa yang sebenarnya yang ditawarkan oleh Concrete Genie ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai lensa untuk memahami bullying? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.
Plot

Selamat datang di Denska, sebuah kota penuh keputusasaan yang dulunya begitu hidup dan berwarna. Namun beragam masalah ekonomi dan sosial pelan tapi pasti, membuatnya menjadi kota yang kini justru sekedar, diliputi bayang-bayang masa lalu-nya yang bahagia. Di dalamnya, tinggallah seorang anak yang gemar melukis dan juga menjadi karakter utama di dalam cerita Concrete Genie – Ash.
Terus memperkuat buku artwork-nya dengan gambar-gambar makhluk yang ia racik dari imajinasinya, hari Ash memang tidak begitu baik di hari itu. Ia bertemu dengan sekelompok anak badung yang tanpa alasan jelas, merusak buku favorit-nya tersebut dan membuangnya begitu saja. Ash berakhir terdampar di sebuah mercusuar untuk mencari halaman-halaman bukunya yang secara magis, kini terlihat seperti hidup. Seperti yang bisa diprediksi, di sinilah titik hidup Ash berubah. Salah satu monster racikannya bernama Luna kini hidup dan memberikannya sebuah kuas raksasa sebagai “senjata”.


Dengan kuas raksasanya ini, Ash kini tidak lagi sekedar bisa berpetualang untuk menemukan halaman-halaman buku seni-nya yang masih terpencar, tetapi juga mengembalikan nyawa Denska untuk kembali seperti di masa lalu. Kuncinya terletak dari akar-akar kegelapan yang sepertinya membelenggu kota ini, yang memang hanya bisa dihancurkan dan dibersihkan dengan menggunakan kuas milik Ash. Misi awalnya sederhana, dengan “mengembalikan cahaya” lampu-lampu di sekitar kota yang padam dengan menggunakan lukisan magisnya. Namun tidak mudah, Ash juga terus dikejar oleh kelompok remaja nakal yang sepertinya tidak senang dengan kehadirannya.


Lantas, tantangan seperti apa yang harus dihadapi oleh Ash? Mampukah ia mengembalikan Desnka menjadi kota yang hidup seperti semula? Lantas, bagaimana game ini menerjamhkan cerita “dongeng” ini menjadi pesan untuk bullying? Anda tentu saja harus memainkan Concrete Genie untuk mendapatkan jawabannya.