JagatPlay: Ngobrol Santai Bareng Anthony Newman (The Last of Us Part II)!
Kualitas tinggi nyaris di semua elemen, ada alasan mengapa nama Naughty Dog terhitung spesial sebagai developer bahkan di jajaran first party milik Sony yang kesemuanya sudah melahirkan game-game memesona. Developer yang di masa lalu sempat melahirkan game seperti Crash Bandicoot dan Jak & Dexter ini mulai berusaha menjajal gameplay dengan pendekatan yang lebih serius via Uncharted di era Playstation 3 dulu. Pondasi ini terus tumbuh dan berkembang hingga di satu titik, Naughty Dog tertarik untuk membangun sebuah game survival horror yang punya sisi narasi kuat. Dunia pun bertemu dengan The Last of Us yang di rilisnya, langsung berhasil menyabet begitu banyak penghargaan.
Hampir 7 tahun sejak eksistensi The Last of Us untuk Playstation 3 yang juga sempat melewati proses Remaster untuk Playstation 4, Naughty Dog akhirnya datang dengan sebuah seri sekuel yang disebut sebagai The Last of Us Part II. Manifestasi ide narasi ini juga diikuti dengan tidak hanya perubahan dari sisi visual dan gameplay saja, tetapi juga otak kreatif yang bekerja di dalamnya. Salah satunya adalah sosok Anthony Newman. Designer untuk melee combat di seri The Last of Us pertama ini ditunjuk menjadi Co-Director untuk The Last of Us Part II ini.
Berita baiknya? Kami berkesempatan untuk berbincang-bincang langsung dengannya via kekuatan internet. Pada tanggal 29 Mei 2020 kemarin, diorganisasi langsung oleh Sony Interactive Entertainment via aplikasi Webex, kami pun melemparkan beberapa pertanyaan yang sempat tumbuh di ranah penasaran kami terkait The Last of Us Part II. Tenang saja, pertanyaan-pertanyaan ini tidak memuat spoiler sama sekali. Lantas, apa yang dibicarakan Anthony terkait game sinematik dengan narasi kuat ini?
Salah satu yang menarik soal presentasi The Last of Us Part II selama beberapa minggu terakhir ini adalah bagaimana mereka memberikan highlight pada aksi “standar” baru seperti melompat dan memecahkan kaca, yang walaupun di atas kertas terdengar sederhana, namun kini membuka sebuah pintu besar untuk desain level yang benar-benar baru. Anthony menyebut bahwa sejak awal TLOU Part II diracik, mereka memang berambisi untuk meracik gameplay sekompleks yang mereka bisa. Namun mengingat game ini berdasar pada dunia nyata (di luar eksistensi para Infected), ini dianggap sebagai cara terbaik untuk memperluas mekanik dan elemen yang ada.
Memecahkan kaca misalnya, disebut Anthony, mungkin terdengar seperti fitur yang tidak menarik. Namun begitu Anda menyelami TLOU Part II, Anda akan menemukan bahwa aksi ini bisa dilakukan untuk bergerak ke area baru, menyelesaikan puzzle, mengambil beragam material yang tersimpan di belakangnya, hingga menjadi dilema baru pada saat Anda bertempur – dimana beragam keuntungan ini bisa saja berakhir memancing perhatian musuh karena suara yang ia hasilkan. Mekanik ini juga diakui Anthony menjadi sumber estetika baru dimana lewat animasi serangan melee yang ada, Anda bisa menghantam musuh ke beragam area termasuk jendela. Berpadu dengan ragam desain yang lain, Naughty Dog diakui ingin menciptakan level seluas yang mereka bisa, sembari mempertahankan cita rasa cerita yang linear dan tentu saja, memastikan gamer tahu kemana mereka harus menuju selanjutnya dan tidak berujung tersesat.
Anthony juga menjawab salah satu pertanyaan sulit yang selama ini sepertinya berdiam di benak banyak gamer – mengapa The Last of Us butuh sekuel? Tidak sedikit gamer yang memainkan seri tersebut dan menganggap bahwa ending yang ia tawarkan sudah terhitung sempurna. Anthony mengaku bahwa ia mendapatkan banyak pertanyaan soal ini. Satu yang pasti ia merasa bahwa game yang memiliki ending memesona bukan berarti tidak berhak mendapatkan sekuel. Neil Druckmann di kala itu sudah memiliki ide cerita yang hendak ia sampaikan, namun sempat harus tertahan karena kesibukan di Uncharted 4. Anthony juga menjelaskan alasan mengapa mereka memutuskan untuk menggunakan nama “Part II”, karena pada dasarnya, game ini merupakan kelanjutan dari kisah Joel dan Ellie dimana ia memperlihatkan konsekuensi dari beragam aksi yang mereka ambil di seri pertama.
Pertanyaan selanjutnya berkutat pada masifnya jumlah opsi yang ditawarkan Naughty Dog untuk “Accessibility Options” yang diusung oleh The Last of Us Part II. Dengan semua hal ini, ia tentu saja berpotensi untuk mengurangi intensitas permainan. Anthony mengakui bahwa “perang” antara sensasi tantangan dan opsi kemudahan akses akan selalu terjadi. Namun ia mengakui, bahwa untuk beberapa gamer, opsi ini menjadi satu-satunya pondasi yang membuat mereka bisa bermain. Bagi gamer yang memiliki anggota tubuh lengkap, opsi seperti Lock-On Aim dan Visual HUD ketika terdeteksi memang membuat TLOU Part II menjadi lebih mudah. Namun bagi gamer tuna rungu misalnya, yang notabene tidak bisa mendengar clue suara, opsi ini akan memungkinkan mereka mendapatkan pengalaman game yang seharusnya.
Yang menarik? Semua opsi kemudahan akses ini akan tersedia di semua tingkat kesulitan. Jadi gamer tuna rungu atau yang bermasalah dengan sistem motorik sekalipun akan bisa menyelesaikan game ini di tingkat kesulitan tinggi, seperti Survivor misalnya. Bagian paling kerennya lagi? Naughty Dog juga menyuntikkan sesuatu yang belum pernah ditawarkan game lainnya – sebuah opsi kemudahan akses untuk gamer tunanetra. Benar sekali, Naughty Dog mendesain opsi ini untuk memungkinkan gamer tunanetra untuk tidak hanya menyelesaikan TLOU Part II saja, tetapi mengejar Platinum Trophy, eksplorasi konten ekstra seperti puzzle, dll. Ini berarti gamer-gamer tunanetra akan bisa menyelesaikan ragam puzzle kompleks hingga menundukkan musuh menggunakan stealth berbasis opsi keren ini.
Kami menggunakan kesempatan ini untuk menggali soal tema utama yang diambil oleh The Last of Us Part II. Seperti yang kita tahu, ceritanya memang akan berkutat pada kata “HATE” alias kebencian. Tentu menarik untuk mengetahui alasan Naughty Dog memilih tema ini di antara semua tema lain yang bisa mereka angkat. Anthony menjawab bahwa The Last of Us selalu menjadi seri yang hendak “mengeksplorasi” kemanusiaan.
Seri pertama memang menyajikan kisah soal sejauh mana CINTA / SAYANG bisa membawa dan mengejutkan kita. Untuk seri kedua ini? Tidak sekedar BENCI, mereka juga ingin memperlihatkan kehancuran diri yang bisa ia hasilkan, yang termanifestasi dalam sebuah usaha balas dendam. Anthony merasa bahwa di kondisi dunia saat ini, tidak ada lagi pesan yang lebih penting selain memahami bagaimana tidak bergunanya sebuah rasa BENCI yang pada akhirnya, selalu meninggalkan konsekuensi negatif untuk semua orang. Ia merasa beruntung terlibat dalam sebuah proyek yang punya pesan sepenting ini untuk disampaikan.
Satu yang menarik di The Last of Us Part II, yang notabene merupakan game sinematik yang narasinya memang dipenuhi dengan emosi yang terasa nyata, Naughty Dog ternyata mengembangkan teknologi spesifik untuk mendukung fitur yang satu ini – dimana mereka kini bisa mengatur dengan lebih mendetail aspek gerak wajah yang ada untuk ekspresi yang lebih akurat, seperti membuat pipi karakter merona atau membuat mata karakter memerah ketika mereka menangis dan sejenisnya.
Tidak berhenti di sisi sinematik saja, luas emosi ini juga akan diekspresikan karakter saat gameplay – dari rasa sedih, bingung, hingga takut. Setiap emosi ini bisa diatur menggunakan nilai tertentu menggunakan script seperti mengatur tingkat kebingungan Ellie ke angka “0.4” misalnya yang kemudian akan menghasilkan ekspresi spesifik. Anthony menyebut bahwa opsi ini memungkinkan scripter mengatur ekspresi Ellie saat bertarung atau menembak. Ketika berjalan-jalan dengan Dina, misalnya? Scripter bisa meningkatkan value kebahagiaan Ellie. Dengan sistem seperti ini, sepanjang permainan gamer bisa memerhatikan ekspresi para karakter dan menemukan bagaimana ia akan sejalan dengan aksi yang tengah mereka eksekusi.
Berbicara soal proses pengembangan The Last of Us Part II sendiri dibandingkan Uncharted 4, Anthony mengaku cukup gugup dengan fakta bahwa ia kini berperan sebagai Co-Director di sini. Di satu sisi, ia kini berkesempatan untuk menyuntikkan ide-idenya ke dalam TLOU II, tetapi di sisi lain, jika game ini berahir gagal maka kesalahan dan resiko tersebut jadi sesuatu yang harus ia tanggung. Ia mengaku jatuh cinta pada Uncharted dan The Last of Us, namun preferensinya memang lebih mengarah ke TLOU semata-mata karena mekanik gameplay dan sistem yang ia usung. Jika Uncharted terasa seperti roller-coaster, maka The Last of Us mengusung cita rasa lebih taktikal.
Anthony juga menyebut bahwa Naughty Dog memang mendorong tim desain untuk menghadirkan fitur baru nan keren dalam sistem permainan yang ada. Salah satu contohnya adalah anak panah musuh yang tertancap di tubuh Ellie. Di awal desain, anak panah yang tertancap itu sempat hendak ditawarkan semata-mata untuk kepentingan estetika saja. Namun salah satu anggota tim desain hendak mendorongnya menjadi bagian dari gameplay itu sendiri, dimana Ellie harus mencabut panah tersebut secara manual atau harus berhadapan dengan konsekuensi damage over time. Hal sekecil ini kemudian menciptakan dinamika unik, dimana di situasi tertentu, gamer harus memilih untuk menyisihkan waktu untuk mencabut si anak panah atau memprioritaskan musuh yang terus berburu Ellie. Anthony bangga bisa bekerja dengan tim yang benar-benar ambisius untuk menawarkan sesuatu yang besar dan berbeda di semua elemen, dari sistem gameplay, desain level, hingga ekspresi emosi karakter.
Sebuah game action yang solid tentu saja menuntut implementasi AI musuh yang baik pula. Anthony menjelaskan bahwa untuk The Last of Us Part II, mereka membangun konsep yang lebih realistis untuk dua konsep – apa yang diketahui musuh dan kapan mereka akan mengetahuinya. Mungkin terdengar sederhana, namun menghasilkan implikasi yang signifikan.
Sebagai contoh? Ia mengambil tingkah laku musuh di The Last of Us I – dimana musuh yang melihat temannya dibunuh oleh panah sunyi Anda akan secara “ajaib” mengetahui dimana posisi Anda, sesuatu yang tentu saja tidak realistis. AI di seri pertama tersebut hanya punya dua kondisi – antara mereka tahu dimana Anda berada atau mereka tidak tahu dimana Anda berada. Sementara untuk TLOU Part II, mereka menyuntikkan satu kondisi lagi yang berada di tengah keduanya. Musuh tentu akan menyadari bahwa teman mereka sudah dibunuh di depan mata, namun mereka tidak akan secara otomatis mengetahui dari mana datangnya sumber ancaman tersebut. Kondisi seperti ini tidak hanya membuat AI terasa seperti manusia, tetapi juga membuat gamer bisa mengantisipasi kira-kira seperti apa gerakan mereka selanjutnya.
Kami menggunakan kesempatan bertanya kedua kami untuk berfokus soal desain suara, yang seperti di demo State of Play kemarin, memang terdengar memesona. Kami berfokus pada proses research seperti apa yang harus dilalui anggota tim desain suara, terutama untuk memastikan ragam efek suara terkait kekerasan dan konsekuensinya memang intense dan akurat. Anthony sayangnya tidak tahu dengan pasti dan mendalam soal proses penelitian apa yang sudah mereka lakukan. Tetapi ia tahu bagaimana kerja keras mereka mengumpulkan material yang dibutuhkan. Sebagai contoh? Untuk suara anjing milik musuh misalnya, tim benar-benar berangkat ke pusat penyelamatan anjing dan merekam banyak suara di sana, dari erangan hingga gonggongan. Mereka bahkan pergi ke kebun binatang untuk merekam beragam suara binatang untuk dikolaborasikan menjadi suara unik para Infected.
Anthony menyebut bahwa tim desain suara juga mengembangkan teknologi suara baru yang mereka sebut sebagai “Murmuration” untuk The Last of Us Part II. Sebagian besar game disebut Anthony biasanya punya dua jenis suara pernapasan untuk karakternya – antara tidak terdengar sama sekali atau bernapas dengan berat. Dengan Murmuration di TLOU Part II, semua karakter kini punya detak jantungnya sendiri yang bergantung pada situasi tertentu, akan memiliki nilai berbeda-beda. Bergantung pada nilai detak jantung tersebut, Anda akan menemukan ritme pernapasan yang berbeda-beda untuk karakter di game ini. Murmuration ini juga mereka gunakan untuk para musuh “Infected” yang kini punya jenis suara berbeda bergantung pada situasi, yang bisa digunakan gamer sebagai informasi soal kondisi si Infected itu sendiri. Apakah mereka mendengar Anda? Apakah mereka sudah mulai tenang ketika baru saja mengetahui dimana posisi Anda sebelumnya? Informasi ini kini bisa ditangkap berkat teknologi murmuration ini.
Berdiskusi soal varian terbaru Infected – Shamblers, Anthony menyebut bahwa dasar desainnya sebenarnya didasarkan pada keinginan untuk menciptakan varian yang lebih “lemah” dibandingkan Bloaters, terutama untuk musuh yang kini berfokus pada jenis serangan di luar melee. Yang menarik adalah perilaku Shamblers yang akan meninggalkan sejenis awan toxic selama beberapa saat setelah mati, yang tidak sekedar berbahaya saja tetapi juga bisa berakhir menutup zona lari karakter. Shamblers juga dilihat Naughty Dog sebagai sesuatu yang “natural” untuk ekosistem Infected, apalagi melihat beberapa jenis jamur di dunia nyata memang memiliki kemampuan untuk menembakkan spora sebagai senjata.
Dari semua fitur terbaru yang ditawarkan oleh Naughty Dog di The Last of Us Part II, Anthony menyebut bahwa “prone” alias posisi tengkurap merupakan fitur baru yang menghasilkan banyak kesulitan bagi tim. Dari situasi “sederhana” ini, mereka kini mulai harus memikirkan beragam situasi dimana fitur ini bisa digunakan. Tidak hanya itu saja, dari posisi tengkurap, Ellie kini bisa juga berganti posisi menjadi terlentang yang juga berakhir membuat Naughty Dog harus membangun animasi-animasi yang cocok. Bahwa hal sesederhana reload atau melakukan crafting kini harus memikirkan posisi karakter apakah ia tengah duduk, jongkok, tengkurap, atau bahkan terlentang.
Maka dengan semua detail yang dihadirkan oleh Anthony Newman – Co-Director untuk The Last of Us Part II ini, maka sepertinya aman untuk menyebut bahwa ambisi dan kerja keras memang kombinasi yang akan menjamin kualitas game sinematik dengan narasi kuat ini. The Last of Us Part II akan dirilis pada tanggal 19 Juni 2020 mendatang, eksklusif untuk Playstation 4.