Review Little Hope: Bak Bukit Sunyi!
Bak Bukit Sunyi

Kabut, kota kecil misterius yang “mengurung” mereka yang terlempar di dalamnya, dan misteri yang jjuga mengancam nyawa, sepertinya tidak perlu waktu lama bagi para penikmat game-game horror untuk langsung mengasosiasikan tema yang diusung Little Hope dengan game survival horror racikan Konami – Silent Hill. Di beberapa menit pertama, apalagi dengan tema kabut yang langsung menyeruak ke permukaan, asosiasi ini memang tidak terelakkan. Apalagi dengan semua misteri yang terjadi soal bagaimana kabut ini mencegah mereka untuk keluar dari kota sembari menyelebungi sebuah wilayah yang seiring dengan proses eksplorasi, tak terlihat berpenghuni sama sekali. Ada kesan kuat si “bukit sunyi” di sini.
Namun untungnya, inspirasi tersebut tidak jatuh terlalu dalam hingga mereka terasa meniru. Bukan hanya karena game-nya sendiri lebih berpusat pada sisi interactive story yang akan membawa Anda secara otomatis dari satu lokasi ke lokasi lainnya sesuai cerita alih-alih sebuah dunia yang sedikit terbuka saja, tetapi juga karena sisi cerita yang diusung.


Ketika Anda mulai memasuki kisah utama yang lebih menitikberatkan pada kisah pengadilan penyihir masa lampau, kesan “Silent Hill” akan otomatis terbuang. Little Hope juga sayangnya masih terlalu kuat mengandalkan jump scare dibandingkan dengan horror atmosfer seperti halnya Silent Hill. Bahwa ketakutan lebih banyak dipicu oleh suara keras atau visual meyeramkan yang mendadak muncul di layar, alih-alih, bulu kuduk yang secara konsisten merinding karena Anda tidak akan pernah tahu ancaman seperti apa yang menunggu Anda di Silent Hill.
Maka dari sisi visual, Anda yang sempat mencicipi game-game Supermassive Games sepertinya tidak akan asing lagi dengan kemampuan mereka untuk meracik model karakter yang fantastis. Hal serupa juga bisa Anda harapkan dari Little Hope, dengan ekspresi wajah yang terhitung cukup akurat untuk mewakili emosi tertentu, dari terkejut, takut, atau bahkan keragu-raguan. Sayangnya, ia juga masih menyimpan masalah klasik game mereka di masa lalu – yakni transisi scene yang masih canggung. Potongan-potongan scene yang berjalan runtut terkadang terlihat aneh dan kurang halus, dengan transisi yang cukup membingungkan. Tidak jarang juga Anda akan menemukan bahwa reaksi yang muncul dari karakter juga akan terasa kurang natural jika melihat situasi yang mengitari mereka. Sesuatu yang akan kami bicarakan nantinya.
Sementara untuk sisi audio, ia hadir fantastis. Di luar aksi jump-scare menggunakan suara keras yang muncul tiba-tiba dan siap untuk membuat Anda terkejut, yang sekali lagi masih kami lihat sebagai metode malas untuk menghasilkan “ketakutan”, Little Hope datang dengan kualitas audio yang baik. Ia datang dengan ragam suara efek yang efektif untuk membuat atmosfer lebih tegang. Ia juga menghadirkan sisi musik yang di telinga kami, berhasil dipadupadankan manis dengan kisah misteri terkait penyihir yang ia usung. Tentu saja Anda tidak akan menemukan musik ceria ala Harry Potter dan sejenisnya, karena penyihir yang kita bicarakan di sini, adalah korban perburuan yang bisa berakhir ditenggelamkan, dibakar hidup-hidup, atau ditindih batu-batu besar hingga isi tubuh mereka rata dengan permukaan. Setidaknya sisi musik menangkap hal tersebut dengan baik.

Maka dari sisi presentasi, Little Hope tetap datang dengan kualitas yang sama dengan apa yang kita dapatkan dari proyek-proyek Supermassive di masa lalu. Model karakter dengan detail fantastis, setting lumayan keren, atmosfer yang tepat sasaran, hingga musik pengiring yang cocok akan menemani perjalanan Anda melewati kota penuh kabut ini. Apresiasi ekstra harus kami berikan juga untuk desain “monster” yang akan Anda temui selama perjalanan, yang kami yakin, cukup untuk membuat Anda bergidik.
Datang dengan Perbaikan

Langkah pertama Supermassive Games masuk ke dalam rilis mulit-platform lewat rilis The Dark Pictures: Man of Medan memang tidak bisa dibilang sempurna. Walaupun menawarkan pendekatan gameplay yang nyaris serupa dengan apa yang mereka usung di Until Dawn, game tersebut hadir dengan beberapa mekanik yang pantas dikategorikan sebagai kelemahan. Kita bicara dari sistem tekan tombol QTE yang nyaris tanpa peringatan hingga Anda tidak pernah bisa bersiap-siap, hingga sistem seperti Trait yang nyaris tidak berkontribusi apapun dalam permainan. Berita baiknya? Mengambil feedback dari Man of Medan, Little Hope kini datang dengan perbaikan yang memang dipinta oleh para fans.
Dari sisi gameplay dan mekanik, Little Hope masih berbagi konsep yang sama dengan Man of Medan dan Until Dawn. Ini berarti Anda akan bertemu dengan beragam percakapan dan situasi yang biasanya akan menuntut Anda melakukan satu dari dua hal: memilih opsi percakapan atau mengeksekusi sesi QTE sebaik mungkin. Bersama dengan beberapa titik cerita yang biasanya akan meminta Anda memilih untuk mengambil dan menyimpan objek tertentu atau tidak, misi utama berkutat pada satu hal – berjuang sekeras mungkin untuk memastikan setiap anggota dalam kelompok ini keluar hidup-hidup.
Daya tarik game racikan Supermassive Games memang terletak pada efek konsekuensi pada opsi yang memang signifikan. Seberapa signifikan? Bahwa opsi yang Anda ambil atau ketelatenan Anda mengeksekusi sesi QTE dengan baik akan mempengaruhi hidup dan mati karakter. Jika karakter berakhir tewas secara permanen, tidak akan ada opsi mengulang. Anda akan diminta untuk berhadapan dengan konsekuensi yang terjadi, dengan cerita yang akan terus berlanjut tanpa kehadiran karakter tersebut. Ini bisa menghasilkan cabang cerita baru, memicu atau menghilangkan begitu banyak scene, hingga ending yang berbeda. Sistem seperti ini juga mendukung replayability, dimana Anda selalu bisa memainkan game ini setidaknya 2-3 kali untuk mengambil jalur berbeda dan melihat seperti apa konsekuensi yang dihasilkan.


Yang membuat Little Hope berbeda memang datang dari ragam perbaikan terkait keluhan-keluhan yang sempat muncul di Man of Medan. Sebagai contoh? Sesi QTE. Jika di Man of Medan, tombol yang muncul di layar seringkali datang tiba-tiba dan tenggelam dengan cepat, Little Hope datang dengan sistem yang jauh lebih bersahabat. Kini ada peringatan awal bahwa sesi QTE akan terjadi dalam beberapa detik ke depan, yang kini diikuti dengan informasi waktu yang Anda miliki untuk menekan setiap dari mereka. Arah munculnya peringatan ini, setidaknya dari versi Playstation, juga mengindikasikan tombol seperti apa yang berpotensi untuk Anda tekan. Jika ia berada sedikit ke kanan layar, besar kemungkinan ia adalah tombol lingkaran. Sedikit ke atas? Segitiga. Sistem seperti ini membuat masalah terbesar Man of Medan, otomatis lenyap.
Konsep dualitas opsi respon, yang biasanya dibagi ke dalam dua kategori – rasional atau perasaan, juga tetap akan mempengaruhi jenis hubungan antar karakter dan juga kemunculan kepribadian baru untuk si karakter itu sendiri. Jika di Man of Medan, trait ini tidak banyak berpengaruh untuk keseluruhan cerita, di sini ia berpotensi untuk mempengaruhi outcome tertentu di sisi cerita, terutama di ending. Sistem “premonition” dari seri sebelumnya yang akan memberikan Anda sedikit cuplikan scene yang mungkin terjadi di masa depan juga tetap dipertahankan di sini, untuk membantu Anda bersiap-siap. Satu hal yang paling kami suka? Sedikit keteledoran menekan tombol QTE di sini tidak selalu berbuntut konsekuensi yang fatal. Kami sempat lalai menekan tombol QTE untuk dua karakter berbeda di scene berbeda karena sibuk memeriksa situs sosial media, dan di kedua kasus tersebut, karakter hanya mengalami sedikit masalah alih-alih tewas secara permanen. Sementara situasi yang sama di Man of Medan misalnya, seringkali langsung berakhir dengan “hilangnya” karakter dari peredaran.
Dari sisi mekanik, Little Hope memang terasa seperti sebuah penyempurnaan dari Man of Medan. Namun sayangnya, ada beberapa masalah yang tetap menghinggapi, terutama dari transisi scene yang di banyak situasi terasa canggung. Anda bisa bertemu dengan situasi dimana karakter berdiri tenang di scene sebelumnya tiba-tiba berlari cepat di scene selanjutnya, membuat pergerakan cerita halus bak sebuah film yang seharusnya terjadi seringkali tidak tercapai di Little Hope.


Yang lebih buruknya lagi? Ada beberapa scene juga yang terasa tidak masuk akal terutama dari respon karakter yang saling terkait. Sebagai contoh? Ada situasi dimana Andrew dan Angela baru saja selamat dari kejaran sebuah monster menyeramkan, dimana nyawa mereka terancam hilang, dan berujung terengah-engah sebelum bertemu dan berkumpul dengan anggota kelompok yang lain. Alih-alih khawatir atau bertanya soal apa yang terjadi pada Andrew dan Angela, sisa anggota kelompok lain langsung mengalihkan perhatian ke hal selanjutnya. Sementara Andrew dan Angela? Tidak cukup panik untuk menceritakan apa yang baru saja mereka alami ke sisa kelompok tersebut. Situasi ini terasa aneh, canggung, dan tidak mewakili sebuah respon yang seharusnya muncul jika hal yang sama terjadi di dunia nyata.
Jika Anda sudah sempat mencicipi game-game Supermassive Games sebelumnya, teutama Man of Medan, Anda bisa mengantisipasi pengalaman yang sama di Little Hope ini. Tentu saja, dengan beragam perbaikan yang membuatnya lebih nyaman untuk dimainkan dan dinikmati, termasuk dukungan mode multiplayer – online dan offline yang juga tersedia.