Wawancara dengan Shaun Escayg dan Matthew Gallant (The Last of Us Part I)!

Ketika ia pertama kali diumumkan, banyak gamer yang tentu saja mengernyitkan dahi soal rencana rilis ulang The Last of Us pertama dalam format remake. Banyak yang merasa ini terlalu cepat dengan pendekatan konten baru yang tak signifikan. Namun dengan teknologi Playstation 5 yang jadi basis dan engine The Last of Us Part II yang sudah memesona di era Playstation 4 kemarin, The Last of Us Part I memperlihatkan taringnya. Selain visual lebih indah yang berhasil membuat atmosfer game survival horror ini lebih memesona, ia juga berhasil membuat ragam momen emosional ikonik The Last of Us kini kian kaya berkat detail yang dihadirkan. Ia tentu saja jadi produk wajib bagi gamer Playstation 5 yang belum pernah mencicipi The Last of Us pertama sebelumnya.
Selain kesempatan untuk mencicipi The Last of Us Part I lebih awal, kami juga berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan dua pentolan proyek yang satu ini – Shaun Escayg dan Matthew Gallant dari Naughty Dog dalam sesi wawancara bersama dengan media-media Asia yang lain. Tentu saja, mereka menjawab banyak rasa penasaran soal keputusan yang berujung mereka ambil untuk melahirkan produk yang satu ini ke pasaran, apalagi dengan ragam komentar yang mengitarinya. Jawaban-jawaban ini sendiri bukan verbatim, namun kami bantu ringkas untuk memberikan jawaban lebih ringkas dan padat.
Jadi, insight baru apa saja yang mereka hadirkan? Ini dia jawaban-jawaban yang mereka berikan:
A: The Last of Us pertama kali dirilis di tahun 2013, sudah mendapatkan Remaster di tahun 2014 dan sempat dipuji karena kualitas tingginya. Kami penasaran mengapa kembali ke seri pertama ini dengan cerita yang sama?
Shaun: Ketika TLOU Part II rampung, ada diskusi di dalam tim yang membayangkan soal akankah betapa kerennya jika fans atau gamer pendatang baru, bahkan tim developer sendiri, bisa menikmati seri pertamanya tanpa ada beda teknologi yang terlalu jauh dengan TLOU Part II. Kami juga merasa penting untuk menawarkan opsi aksesibilitas yang sudah tersedia di seri kedua ke seri pertama, agar gamer dengan disabilitas bisa menikmatinya. Tim sendiri tahu tanggung jawab ini berat dan berujung diputuskan untuk tetap bertahan dengan sensasi seri originalnya namun ia akan memuat banyak hal yang kami pelajari dari The Last of Us Part II. Teknologi yang maju selama satu dekade terakhir digunakan untuk membangun game ini dari awal: art baru, lighting, desain ulang karakter, animasi wajah yang lebih baik agar lebih akurat dengan ekspresi para aktor asli-nya. Semuanya untuk meningkatkan pengalaman yang sudah ada.
JagatPlay: Apakah pernah ada diskusi di dalam tim selama proses pengembangan soal opsi menambahkan porsi cerita baru yang berpengaruh signifikan? Terus pertimbangan apa saja yang muncul sampai kalian akhirnya memutuskan untuk bertahan dengan cerita original saja?

Shaun: Godaannya benar-benar besar. Ada beberapa kali dalam proses pengembangan, kami bolak-balik menambahkan dan membuang sesuatu. Lalu kami mengerti bahwa menambahkan sesuatu tidak lantas selalu meningkatkan pengalaman yang ada, tetapi juga justru beresiko mengubahnya, baik dari atmosfer hingga konteks yang ada. Jadi kami berusaha menghindari itu. Sebagai contoh? Kami sempat hendak menambahkan pohon-pohon di dalam area militer untuk membuatnya cantik, lalu kami pikir, tidak mungkin pohon ini bisa bertahan dan tidak ditebang untuk kayu bakar, misalnya. Ini berbeda dengan wilayah luar militer yang jarang dieksplorasi, yang tidak hanya terlihat indah tetapi juga memuat resource. Jadi kami terus bertanya sama diri sendiri, apakah hal yang ditambahkan ini bakalan bikin The Last of Us jadi makin bagus atau justru jadi beda.
Matthew: Saya juga bisa menambahkan soal ini. Jadi ketika kami melihat The Last of Us dan berpikir soal aspek-aspek mana saja yang “dimakan zaman”, cerita bukan salah satunya. Ceritanya masih keren. Performa para aktor / aktris, cara cerita ini disampaikan, dan tidak ada satupun dari hal tersebut yang ingin kami ubah. Yang jelas benar-benar terlihat tua adalah teknologi, tampilan karakter, detail dunia, hingga AI. Kami justru ingin elemen ini “naik kelas” agar bisa setara dan mendukung cerita solid yang sudah ada agar cerita original ini bisa dinikmati di tingkat tertinggi yang bisa kami tawarkan.
A: Apakah Remake ini tidak terlalu awal? Dan mengapa ia dijual di harga yang tinggi?
Shaun: Saya dan Matthew memang tidak berbicara soal harga. Tapi gini, untuk proses remake The Last of Us Part I, kami benar-benar mengubah semua hal. Kita bicara soal art direction, model karakter, animasi, performa hingga hal sekecil efek, semuanya diracik untuk mendukung narasi yang sudah ada. Dulu ada banyak hal yang dilimitasi teknologi, yang sekarang baru bisa dicapai dengan teknologi baru. Kita bicara dari hal besar hingga detail kecil seperti lumut yang bisa menempel di pakaian ketika Anda melewati wilayah tergenang, gerak mata dan pupil hingga bintik-bintik hitam di kulit karakter. Anda juga bisa lebih menghargai scene-scene ikonik yang ada, seperti ketika Joel dan Ellie bertengkar. Anda bisa melihat bagaimana wajah Ellie memerah dan matanya sembab ketika ia tahu bahwa ada kemungkinan Joel meninggalkannya. Anda bisa merasakan hal itu. Kami mendorong kedalaman emosional yang membuat karakter-karakter ini terasa hidup, bernapas, dan mampu merasakan sesuatu.
Matthew: Kami merasa The Last of Us Part I akan berada di level kompetitif melawan game-game yang akan keluar di Playstation 5 tahun ini. Ia akan terasa seperti sebuah judul yang modern Playstation 5 yang seharusnya lewat teknologi-teknologi baru ini.
A: Kita tahu bahwa The Last of Us Part II adalah game Playstation 4, mengapa kalian justru memutuskan untuk merilis Part I di Playstation 5 saja? Elemen apa saja yang sebenarnya hanya bisa dicapai di PS5?

Matthew: Seperti yang diucapkan Shaun sebelumnya, kami mendorong keras sisi visual yang ada dari details, karakter, tata cahaya, jumlah objek yang kini terpengaruh oleh physics, dan kesempatan untuk menikmatinya di framerate lebih nyaman. Ada juga teknologi yang jelas hanya tersedia di Playstation 5, dari implementasi 3D Audio hingga Haptic. Visi kami selalu soal mendorong proses remake ini ke batas semaksimal kami bisa, yang tentu saja difasilitasi Playstation 5.
A: Apakah ada bagian game yang jadi lebih menantang karena proses remake ini dibandingkan si seri original?
Matthew: Ada beberapa tantangan yang menurut saya pribadi menarik, terutama para Infected. Sudah disempurnakan di The Last of Us Part II dan kami bawa ke Part I adalah tingkah laku salah satu Infected – Stalkers. Di era Playstation 3, karena limitasi hardware yang ada, banyak gamer yang tidak bisa membedakan antara mana yang Runners dan mana yang Stalkers. Mereka sekarang punya animasi baru dan secara keseluruhan terasa berbeda. Kini dengan 3D Audio, Anda bisa menerka-nerka dimana ia berusaha menyergap Anda atau mendengar bagaimana mereka berusaha berpencar di kejauhan. Improvement lain datang dari jenis Bloateryang kini punya kemampuan charging seperti di Part II. Dari sisi visual, tubuhnya kini dipenuhi dengan lebih banyak objek physics, dimana Anda akan melihat ragam bagian kulit mereka terkelupas, jatuh, hingga terbang begitu Anda menyerangnya, terutama ketika Anda menggunakan bom. Para fans yang sudah sempat melawan mereka akan tetap bisa menikmatinya dan merasakan pengalaman yang lebih keren.
A: Apa bagian paling menantang di dalam pengembangan proses remake ini? Apa yang menjadi prioritas tim sejak awal?
Shaun: Kalau dari saya, bagian yang paling menantang adalah memilih mana yang mau dimasukkan dan yang tidak di proses remake. Sekali lagi, secara insting, kami ingin menambahkan semua hal di sini terutama karena limitasi teknologi Playstation 3 di masa lalu. Sebagai contoh? Tata cahaya. Kami ingin membuat tata cahaya konsisten di beberapa level, namun berujung tidak mudah. Karena kalau kamu mengubah tata cahaya ini terlalu drastis, ia bisa mengubah mood atau tone daerah tertentu. Kami jadi harus bertanya terus pada diri sendiri, apakah ini memang dibutuhkan, apakah ini memang akan membuat si game lebih baik? Ini selalu menjadi semacam “guiding light” kami.
A: Saya mengerti bahwa fokusnya adalah meracik ulang seri original dengan teknologi teranyar, tapi gamer selalu ingin konten yang baru. Jadi, apakah ada sesuatu yang hanya bisa kami nikmati di The Last of Us Part I ini?

Shaun: Sebagai orang yang juga sudah memainkan game ini berulang kali, Anda mungkin berpikir bahwa game ini tidak lagi bisa mengejutkan saya. Tapi percayalah, ia tetap berujung mengejutkan kami. Kalau kamu sudah lama enggak main dan ada banyak hal yang terjadi di hidupmu, cerita kini bisa punya konteks yang berbeda. Tapi ada juga karena masalah teknologi, ada banyak hal emosional yang tidak bisa diproyeksikan di seri original yang kini bisa disampaikan via seri Remake ini. Menurut kami sih ada banyak hal baru yang masih bisa ditemukan oleh fans ataupun gamer pendatang baru.
Matthew: Saya bahkan bisa memberikan contoh untuk itu. Cara tim ini bekerja, Shaun bertanggung jawab untuk cinematic dan saya gameplay. Oleh karena itu, seperti halnya fans, saya baru mengetahui soal perubahan sisi sinematik belakangan. Salah satu scene yang berpengaruh pada saya adalah scene antara Joel dan Tess yang berbicara soal Ellie. Joel terlihat berkeberatan untuk melanjutkan misi mengantar Ellie dan terlihat begitu keras dan kasar. Namun dari ekspresi wajah yang baru, Anda bisa merasakan rasa sedih dan kehilangan yang berat di sana, menghasilkan kompleksitas interior sang karakter. Troy Baker sebagai aktor mencurahkan hal tersebut sejak awal namun tak bisa difasilitasi Playstation 3. Saya terkejut ketika menikmati scene ini kembali karena ternyata ia punya kedalaman emosional yang berbeda. Anda bisa merasakan betapa real-nya perasaan ini, betapa manusiawinya mereka. Kami rasa gamer yang kembali akan menemukan bahwa keseluruhan pengalaman The Last of Us Part I akan “menyentuh” mereka di level yang baru.
The Last of Us Part I sendiri akan dirilis pada tanggal 2 September 2022 mendatang untuk Playstation 5.