10 Kebijakan Gaming yang Paling Dibenci Gamer!

Video game adalah sebuah industri, bukannya organisasi kemanusiaan yang memang diciptakan untuk menghadirkan sedikit kebahagiaan bagi mereka yang menikmatinya. Sebagai sebuah bisnis, penjualan super masif dan keuntungan tentu saja menjadi target utama yang ingin dicapai oleh setiap publisher dan developer, tidak hanya untuk memastikan diri mereka tetap eksis, tetapi juga memastikan roda perekenomian ini berputar dengan konsisten. Hal yang serupa juga diterapkan oleh para produsen konsol yang akan terus memutar otak untuk memastikan hal ini terjadi. Namun masalahnya, solusi yang ditawarkan justru seringkali berakhir dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan keinginan gamer, bahkan melahirkan antipati tersendiri.
Aneh memang, namun inilah fakta yang terjadi di lapangan. Berbagai strategi dan kebijakan yang diambil oleh para produsen, developer, dan publisher justru sering berakhir pada hal-hal yang bertolak belakang dengan esensi dari gaming itu sendiri – kesenangan. Syarat untuk menikmati game kian kompleks dan beragam, bahkan terkadang diambil tanpa mempertimbangkan kondisi gamer secara umum. Dengan dalih untuk menghadirkan pengalaman gaming yang lebih maksimal, quest untuk mencari keuntungan sebesar mungkin ini pun menjadi pertempuran ideologis bagi gamer. Mempertahankan hak, sekaligus di sisi lain, mengembalikan gaming pada akar yang kian dilupakan.
Dari semua kebijakan yang pernah dan tengah diterapkan oleh industri game, kebijakan apa saja yang paling dibenci oleh para gamer?
10. “We have no comment..”

Bermain layaknya seorang agen rahasia yang tengah mengemban tugas negara, industri game memang terkenal sebagai industri dengan begitu banyak informasi yang terselubung. Terlepas dari ketertarikan dan berbagai rumor yang menyebar kuat di dunia maya dan penuh kesimpangsiuran, hampir sebagian pelaku industri game lebih memilih untuk tidak meninggalkan komentar apapun. Walaupun menjadi hak mereka untuk tidak membongkar kejutan yang tengah dipersiapkan, namun tingkah laku seperti ini justru kian mengobarkan beragam rumor yang memantul bagaikan bola liar. Parahnya lagi? Bersama dengan tumbuhnya rumor, tumbuh pula ekspektasi gamer seiring dengan informasi miring yang beredar. Ketika informasi resmi dirilis dan tidak memenuhi harapan gamer, kekecewaan menjadi hal yang tidak bisa lagi dihindari.
9. Anti Game Bekas

Harga game yang kian membumbung tinggi memang kian mencekik hasrat gamer untuk memainkan game-game incaran mereka di hari pertama rilis, belum lagi mereka yang memang mengoleksi franchise game tertentu. Pilihan terbaik selain menunggu rilis versi “GOTY” atau diskon besar-besaran, tentu saja dengan mencari game-game bekas yang bertebaran di pasaran, membeli atau sekedar menyewa hingga batas waktu tertentu. Sayangnya, masalah klasik seperti ini tampaknya tidak menjadi perhatian bagi para publisher dan developer. Sistem yang didengungkan Microsoft lewat Xbox One, dimana game hanya dapat dijual satu kali ke pihak lain menjadi malapetaka bagi gamer yang memang mengandalkan game-game bekas untuk “menyambung hasrat”.
8. Franchise Milking

Lebih banyak seri yang lahir, bahkan melenceng dari akar yang telah membesarkan namanya, beberapa publisher game saat ini memang tidak lagi segan untuk memeras franchise-franchise andalannya hingga kering kerontang. Beberapa memang mampu secara konsisten menyuntikkan beragam konten dan inovais untuk memastikannya tidak tampil monoton dan membosankan, namun tidak sedikit pula yang sudah mulai kehilangan akal dan hanya mengandalkan nama besar semata untuk menjual produk tersebut ke pasaran. Tren yang semakin mengkhawatirkan? Bahwa tidak sedikit pemilik franchise yang bahkan berani untuk menggeser nama besar franchisenya untuk masuk ke dalam beragam genre, dengan satu tujuan – meraih keuntungan yang lebih besar.
7. Pay to Win

Dengan konsep Free to Play yang kian menguasai jajaran game online saat ini, konsep item mall tentu menjadi fitur yang dapat dimaklumi, karena pada akhirnya developer dan publisher menciptakan game untuk meraih sedikit keuntungan. Tentu saja dengan satu syarat utama, selama item mall yang tersedia ini hanya memberikan keuntungan secara kosmetik dan tidak memberikan efek apapun ke dalam gameplay. Namun sayangnya, tidak sedikit game free to play yang justru menghancurkan keseimbangan suasana kompetitifnya sendiri dengan mendorong konsep Pay to Win. Gamer diperkenankan untuk membeli senjata, equipment, karakter, bahkan beragam perk penguat untuk memastikan performa yang lebih di dalam pertempuran. Hasilnya? Tentu saja mimpi buruk.
6. “HD” Remake

Jika kita membicarakan salah satu tren yang tengah berkembang di industri game saat in, maka strategi HD Remake tentu bukan lagi sesuatu yang asing. Sebagian besar gamer, termasuk kami, menyambut dengan sangat baik konsep ini. Gamer mana yang dapat menolak kesempatan untuk mencicipi lagi game-game terbaik di masa lalu dalam balutan visualisasi yang lebih dapat dicerna sesuai standar teknologi saat ini. Sayangnya, “HD” ini seolah menjadi formula mumpuni untuk meningkatkan daya jual untuk sebuah produk yang sayangnya, tidak sebanding. Tidak sedikit game HD Remake yang tampil berantakan, seolah mempertahanka visualisasi standar namun dipaksa untuk melebar ke definisi tinggi. Hasilnya? Alih-alih mendapatkan detail yang lebih baik, setiap scene justru terlihat kabur.