Review Tekken 2 – Kazuya’s Revenge: Buang-Buang Waktu!
Tekken?

Percaya atau tidak, pertanyaan inilah yang langsung mengemuka di otak kami begitu menonton Tekken 2: Kazuya’s Revenge untuk pertama kalinya. Sebagai sebuah film yang membawa nama salah satu franchise game fighting terbesar di industri game, kita tentu berharap bahwa kita akan menemukan setidaknya identitas yang mengarah pada versi gamenya. Dengan durasa film sekitar 88 menit, film yang disutradari oleh Wych Kaos dan Steven Paul ini sebenarnya mengandung potensi yang besar, untuk setidaknya memuaskan hati para gamer pencinta Tekken dari sekedar menghadirkan karakter cameo atau setting yang terasa familiar. Namun apa yang kita temukan? Sebuah kondisi yang bahkan lebih buruk dari versi film di tahun 2010 silam.



Percaya atau tidak, di sepanjang film, Anda hanya akan bertemu dengan dua sosok “karakter” Tekken yang Anda kenal namanya – Kazuya dan Heihachi (minus Bryan Fury yang sama sekali tidak terlihat seperti Fury yang kita kenal). Sementara yang lain? Berangkat dari sosok fiktif yang bahkan tidak jelas perannya di dalam cerita. Ia seolah terlepas dari akarnya sebagai film yang membawa nama Tekken. Bahkan terasa tidak memiliki benang merah yang kuat dengan seri game Tekken atau film Tekken pertama yang sudah penuh dengan caci maki di sana sini. Tidak hanya sekedar nama, hal yang sama juga terjadi para presentasi visual karakter utama – Kazuya dan Heihachi yang juga tidak kalah mengecewakan. Ia sama sekali tidak mirip dengan sosok yang selama ini Anda kenal di versi video gamenya.
Sebagai sebuah game fighting, para gamer tentu saja bisa mengenali para karakter tidak hanya dari sisi visual, tetapi juga move set ikonik masing-masing karakter. Oleh karena itu, terlepas dari wujudnya yang terlihat seperti robot kayu, kita bisa mengetahui gerakan siapa yang tengah digunakan oleh Mokujin dan beradaptasi dengannya. Sayangnya, move set ini juga tidak menjadi fokus Tekken 2: Kazuya’s Revenge ini. Jika karakter saja sudah tidak mirip, maka Anda tidak bisa lagi menaruh harapan apapun bahwa film ini akan memberikan sedikit rasa senang untuk Anda yang mencintai seri game Tekken.

Terlepas dari nama “Kazuya” yang ia usung, karakter utama ini bertarung layaknya petarung jalanan, tanpa satupun jurus yang mampu mewakili uniknya variasi move set milik Kazuya di seri video game Tekken. Parahnya lagi? Bahkan Heihachi di film ini sama sekali tidak bergerak dan bertarung. Ia hanya berbicara secara konstan dari awal hingga akhir film, seperti seorang kakek tua yang sudah lama rindu punya lawan bicara.
Film Kelas B

Jika ada satu kesalahan besar yang dilakukan oleh Tekken 2: Kazuya’s Revenge adalah fakta bahwa film ini dirilis dengan menggunakan nama “Tekken” di dalamnya. Terlepas dari sosok Kazuya yang diposisikan sebagai karakter utama, film ini sama sekali tidak berbagi benang merah signifikan apapun dengan versi video game dan seri film pertamanya yang dirilis beberapa tahun yang lalu. Karakter yang tidak mirip, cerita yang tidak kuat, minim karakter cameo, tanpa move set ikonik yang menjadi identitas karakter, hingga setting yang lebih banyak mengundang tanda tanya. Tidak ada satupun elemen yang bisa disimpulkan “berhasil” mendukung eksistensi film ini sebagai bagian dari semesta Tekken yang selama ini kita kenal. Ia hanya sekedar meminjam nama, dan parahnya lagi, membangun sebuah film laga kualitas rendah di atasnya.
Pertanyaan yang lebih sederhana, bisakah film ini dinikmati jika ia tidak memuat nama Tekken sama sekali? Sayangnya, jawabannya tetap tidak. Tidak berlebihan rasanya untuk melempar Tekken 2: Kazuya’s Revenge ke dalam kelompok film aksi kelas B ber-budget rendah yang sama sekali tidak punya nilai jual yang kuat. Kami bahkan tidak akan heran, jika Anda sempat mencurigainya sebagai sebuah proyek film porno parodi bernama “Tekken XXX”, misalnya.


Apa pasal? Karena hampir semua elemen yang ditawarkan benar-benar tidak jelas, bahkan di sisi karakter sekalipun. Sebagai contoh, Natasha dan Chloe. Kedua wanita Eropa Timur yang disebut-sebut sebagai pembunuh andalan The Minister ini tidak memiliki karakter, motif, dan latar belakang yang jelas dari awal hingga akhir cerita. Mereka hanya berjalan mengikuti The Minister dari awal hingga akhir, melakukan pembunuhan tidak jelas dengan metode yang tidak jelas pula. Parahnya lagi? Keduanya tewas dengan cara yang sangat tidak penting. Menghabiskan begitu banyak porsi kamera, tapi tidak memiliki signifikansi cerita sama sekali.

Tidak hanya itu saja, Anda juga akan menemukan beragam plot klise yang mungkin sudah terasa tidak lagi relevan untuk film-film di masa modern ini. Cerita dimana Kazuya jatuh hati dengan Laura setelah berhasil menyelematkannya dari para penjahat adalah sebuah format cerita yang mungkin masih menjual di awal tahun 1990-an. Namun di tahun 2014 seperti sekarang? Memalukan. Atau ketika Laura yang terlihat dramatis, berbelanja buah di tengah rintik hujan, sembari tersenyum dengan kamera gerak lambat, dengan Kazuya yang terlihat terpesona di kejauhan. Berbelanja buah, kehujanan, dan tersenyum? Seriously?


Anda juga akan menemukan beberapa scene yang akan membuat alis Anda terangkat, karena betapa tidak masuk akalnya cerita yang ditawarkan. Anda akan seringkali bertemu dengan karakter yang dibunuh oleh karakter lain, tanpa motif atau latar belakang yang jelas. Seperti yang terjadi ketika The Minister meminta Kazuya membunuh seorang tukang sapu jalanan yang menjadi sahabat karibnya. Sang tukang bersih-bersih yang terlihat bijaksana ini kemudian muncul sebagai companion baru Kazuya yang kerjanya hanya melemparkan kata-kata mutiara, dari satu kalimat ke kalimat lainnya, tanpa ada peran yang lebih jelas. Atau ketika sang pembunuh wanita – Chloe mulai melecehkan Kazuya secara seksual tanpa alasan yang jelas. Memang terlihat ada usaha untuk menciptakan kesan kepribadian psikotik untuk karakter yang satu ini, tetapi justru berakhir membuatnya semakin terlihat tidak jelas fungsinya di dalam cerita.