Review Life is Strange: Mencoba Tampil Beda!
Mencoba Tampil Beda

Untuk Anda yang sudah familiar dengan genre interactive story, Anda tentu saja sudah mengerti kira-kira pengalaman seperti apa yang akan ditawarkan oleh Life is Strange. Dan seperti yang bisa diprediksi, anggapan Anda tidak melenceng jauh. Life is Strange masih mengikuti standar formula game-game interactive story lainnya seperti The Walking Dead dari Telltale, dimana Anda akan disuguhi beragam opsi dan kebebasan menentukan arah cerita yang perlahan namun pasti, akan ditawarkan kepada Anda dalam format episodik. Pilihan-pilihan yang Anda buat mungkin tidak akan terasa begitu signifikan di episode ini, namun punya potensi besar untuk menentukan pengalaman seperti apa yang akan Anda dapatkan di episode-episode selanjutnya.


Namun daripada menyamakannya dengan proyek-proyek racikan Telltale, arah Life is Strange dari Dontnod Entertaiment ini justru lebih mengakar kuat pada proyek racikan Quantic Dreams seperti Heavy Rain atau Beyond: Two Souls. Apa pasal? Kesan lebih kuat ini muncul dari pendekatan dunia yang lebih terbuka di Life is Strange. Alih-alih bergerak dari satu cut-scene ke cut-scene lainnya dalam format yang sangat linear ala Telltale, Anda diberikan “taman bermain” yang cukup luas di sini, dengan ekstra ruang gerak dan kebebasan untuk berinteraksi dengan varian objek yang lebih banyak. Dengan mekanisme seperti ini, pengetahuan dan pengalaman bermain Anda akan lebih ditentukan oleh seberapa teliti dan rajin Anda menggali informasi. Anda bisa saja bergerak dari satu titik cerita krusial, langsung ke titik cerita lain dengan mengabaikan para NPC yang perannya tidak signifikan atau objek-objek kunci yang tidak berhubungan langsung dengan jalannya cerita. Namun di saat yang sama, Anda baru saja melewatkan kesempatan untuk menggali sesuatu yang potensial untuk menjadi hal yang penting, mungkin tidak sekarang, tapi di episode-episode selanjutnya. Pilihan kini berada di tangan Anda.


Misalnya? Kesempatan untuk membuka isi folder USB milik teman baik Max – Warren. Anda bisa saja langsung menyerahkan flash drive ini kepada Warren di lapangan parkir dan memicu kelanjutan cerita, atau dengan “nakalnya” mengintip isinya terlebih dahulu via laptop yang terletak di kamar. Life is Strange menawarkan sedikit ekstra kebebasan seperti ini, walaupun tidak banyak berpengaruh pada hasil akhir yang ada. Sementara dari sisi mekanik gameplay, tidak ada yang banyak berbeda. Opsi untuk melakukan tindakan tertentu pada sebuah objek akan muncul begitu Anda berjalan mendekat. Dengan hanya menggerakkan mouse ke arah perintah yang muncul di layar (versi PC), Anda bisa memicu respon tersebut.


Lantas, apa yang membuat Life is Strange berbeda? Jawabannya terletak pada kemampuan unik milik Max – membalikkan waktu. Tidak hanya ditawarkan sekedar sebagai gimmick cerita, Dontnod ternyata mampu mengimplementasikan hal tersebut ke dalam gameplay. Dengan satu tombol sederhana saja, Anda bisa membuat Max kembali ke waktu sebelumnya, dengan animasi yang tampil elegan dan tidak berlebihan. Inti dari kemampuan ini seperti memberikan kesempatan kedua bagi Anda untuk mengevaluasi konsekuensi dari setiap pilihan yang bisa diambil, dan tidak lebih. Seperti yang kita tahu, game-game seperti ini memang seringkali membuat Anda harus memilih satu di antara dua pilihan dengan kubu yang saling bertolak belakang. Life is Strange meminimalisir “resiko” yang mungkin muncul dari desain seperti ini. Bingung menentukan? Pilih saja satu, lihat konsekuensinya. Jika suka, bertahan. Jika tidak, Anda bisa memutar waktu kembali sebelum pilihan tersebut muncul, dan memilih opsi satunya lagi. Lebih suka yang satu ini? Tinggal bertahan, dan voila, semua masalah teratasi.
Secara garis besar, kemampuan Max seperti ini memang menawarkan cita rasa konsep interactive story yang berbeda. Setidaknya, ia tidak terperangkap pada konsep sesederhana Heavy Rain atau The Walking Dead dari Telltale, misalnya, sekaligus memberikan atmosfer misteri yang lebih kentara. Ia juga mengecilkan keharusan untuk mengulang game dari data save terakhir, jika Anda tidak cukup puas dengan apa yang Anda temukan dari semua pilihan yang ada. Namun sayangnya, sistem seperti ini tampil tak ubahnya pedang bermata dua. Bagi Anda yang senang dengan game seperti ini, resiko adalah elemen yang membuat segala sesuatunya tampil lebih menarik. Bahwa Anda dipaksa untuk menerima konsekuensi yang sudah Anda picu sendiri, baik sekarang ataupun di episode-episode setelahnya. Ada rasa penasaran bagaimana pilihan Anda akan berujung. Kemampuan mengendalikan waktu dari Max seolah menihilkan daya tarik yang satu ini.


Bagian terbaiknya justru ketika Anda dipaksa menggunakan kemampuan mengendalikan waktu ini untuk “memecahkan” persoalan yang tidak berhubungan langsung dengan cerita utama yang ada. Event-event kecil yang seolah hadir untuk menguji penguasaan Anda pada mekanik baru yang satu ini. Sebagai contoh? Ketika Anda berada di rumah Chloe, misalnya. Ketika memasuki salah satu ruangan, Anda akan melihat seekor burung yang terbang menabrak jendela dan mati seketika. Event ini sendiri sangat terselubung, mudah terlewatkan, dan tidak punya signifikansi apapun dalam cerita. Namun jika hati nurani Anda tergerak, Anda sebenarnya bisa menyelamatkan burung ini dengan membuka jendela terlebih dahulu sebelum burung tersebut melaju. Pertanyaannya kini, seberapa sadar bahwa Anda bisa melakukan hal tersebut? Life is Strange tampil memukau di hal-hal seperti ini, termasuk ketika Anda punya opsi untuk memutarbalikkan waktu untuk membuka lebih banyak opsi percakapan.
Terlalu “Remaja”

Terlalu remaja? Bukan, kita tidak tengah membicarakan ukuran dada usia sang karakter utama – Max yang terlihat begitu belia. Jika ada satu pertanyaan menggelitik yang sempat masuk ke benak kami ketika memainkan Life is Strange ini, maka “Apakah saya sudah terlalu tua?”, tampaknya jadi pertanyaan yang terus berulang-ulang di hati. Mengapa? Karena untuk begitu banyak game-game interactive story yang beredar di pasaran, Life is Strange mengusung karakter dimana kami pribadi merasa, untuk pertama kalinya, tidak bisa membangun keterikatan emosional sama sekali. Apakah kami yang sudah terlalu tua, atau memang Life is Strange mengusung setting dan tema remaja yang terlalu kentara. Seperti sebuah film Hollywood yang mati-matian membuat remajanya terlihat super keren.


Ketika Ellie di The Last of Us harus belajar membunuh, Elizabeth di Bioshock Infinite belajar soal pengorbanan, atau Clemetine di The Walking Dead hadir sebagai anak-anak yang berhadapan dengan banyak pilihan sulit, Max justru terasa seperti remaja haus perhatian. Ia seorang mahasiswa fotografi yang senang dengan fotografi klasik menggunakan kamera polaroid, di tengah teman-temannya yang sudah beralih digital. Sementara Chloe adalah remaja wanita tatoan yang dikesankan “pemberontak” terhadap nilai-nilai sosial, dengan rokok ganja untuk menghabiskan waktu. Keduanya mati-matian berusaha tampil berbeda di lingkungan pergaulannya sendiri, dengan kesan hipster yang mengalir kuat. Dengan remaja wanita lain yang jadi bully, anak laki-laki kaya yang punya kecenderungan kesehatan mental yang tidak stabil, serta seorang teman pendiam, Anda seperti berhadapan dengan setting film remaja yang sudah usang.

Jadi, apakah kami yang sudah terlalu tua? Mungkin saja. Namun sejauh ini, Life is Strange seolah gagal menawarkan sebuah kesan bahwa Anda memang berhadapan dengan sebuah konflik besar yang benar-benar menyita emosi. Apakah hal ini akan diperbaiki di episode-episode selanjutnya? Ketika lebih banyak misteri terbuka? Besar harapan kami. Karena sejauh ini, karakter-karakter yang ditawarkan Life is Strange adalah mereka yang mengusung tipikal yang cocok untuk dijadikan lelucon internet “2edgy4me”. Ain’t we cool, bro?