Review For Honor: Di Persimpangan Jalan!

Acungan dua jempol memang pantas diarahkan pada Ubisoft, karena keberanian mereka untuk mengeksplorasi beragam genre dan gaya gameplay dengan sebuah produk baru. Padahal jika mereka ingin, mereka bisa saja menggunakan franchise populer mereka untuk terus mendulang uang, terlepas dari kritik gamer yang mengemuka. Lihat saja apa yang berhasil mereka lakukan dengan Rainbow Six: Siege yang kini punya basis fans cukup fanatik hingga Steep, sebuah game bergenre olahraga ekstrim yang bahkan tak pernah lagi dijamah oleh banyak publisher game saat ini. Tak semua konsep ini memang terhitung berhasil di pasaran, namun kebijakan kreatif untuk terus melahirkan sesuatu yang baru pantas mendapatkan pujian. Termasuk yang mereka lakukan dengan For Honor.
Anda yang sempat membaca preview kami sepertinya sudah mendapatkan sedikit gambaran apa yang sebenarnya ditawarkan oleh For Honor. Ia meramu sebuah pertempuran dengan konsep sejarah kental dengan mekanik pertarungan yang menitikberatkan diri pada serangan melee. Di atas permukaan, ia mungkin terlihat seperti pertarungan PvP untuk game-game seperti Dark Souls namun dengan atmosfer yang lebih chaos, namun jika Anda menyelaminya, ia berakhir jauh lebih taktis dan kompleks. Dengan nilai jual yang juga menitikberatkan pada mode multiplayer yang ada, tantangannya tentu saja lebih besar dibandingkan dengan yang kita bayangkan.
Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh For Honor? Mengapa kami menyebutnya sebagai game yang saat ini bisa dibilang, berada di persimpangan jalan? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.
Plot

Menariknya, terlepas dari statusnya sebagai sebuah game always-online, For Honor masih menawarkan mode single-player campaign dengan garis cerita yang jelas. Anda akan memerankan tiga faksi besar yang diusung di game ini – Knight, Vikings, dan Samurai dalam satu sekuens yang sudah ditentukan sebelumnya, dengan tokoh utama yang berbeda-beda namun dengan satu benang merah yang sama.
Maka yang Anda temukan adalah sebuah mode campaign dengan pendekatan layaknya misi-misi skirmish di game-game strategy klasik. Bahwa Anda mendapatkan basis gameplay yang sama dengan mode multiplayer yang jadi kekuatannya utamanya. Ada cut-scene untuk menceritakan kisah yang hendak ditawarkan, pengenalan cukup banyak karakter dengan nama yang membingungkan, dan kemudian berakhir menjadi sesi gameplay yang melekat pada mode multiplayer-nya, namun kini dihiasi dengan AI.


Cerita akan berfokus pada sosok ksatria dengan jubah hitam bernama Apollyon yang akan mengikat nasib ketiga faksi ini ke dalam satu takdir yang hendak ia capai. Misi sebagian besar dihiasi dengan ragam objektif yang berbeda satu sama lain, tetapi seringkali berakhir repetitif, mengingat bahwa sekuens permainan Anda akan terus sama. Anda akan berhadapan dengan prajurit biasa, membunuh pahlawan dari faksi lain yang lebih sulit ditundukkan, bergerak ke objektif selanjutnya, dan demikian seterusnya. Tingkat kesulitan meninggi seiring dengan semakin kuat dan banyaknya pahlawan faksi lain yang haus Anda lawan sekaligus.
Sejujurnya, kami sendiri tak bisa dibilang menikmati mode campaign For Honor ini sendiri. Dengan beragam jenis pahlawan yang bisa Anda cicipi ketika menjalankan cerita faksi tertentu, ia justru terasa seperti sebuah mode tutorial spesifik untuk hero, namun kini dibumbuhi dengan elemen cerita di dalamnya. Memang ada rasa penasaran soal siapa sebenarnya sosok di balik topeng Apollyon yang dengan jelas, berbicara dengan suara wanita ini. Namun konten gameplay yang repetitif membuat kami angkat tangan dan berakhir tak menyelesaikannya.

Lantas, siapa sebenarnya Apollyon? Bagaimana cara mereka meracik cerita untuk tiga faksi dengan kebudayaan yang berbeda ini? Hero apa saja yang bisa Anda cicipi di sini? Semua jawaban tersebut bisa Anda dapatkan dengan memainkan For Honor ini.