Review Acer Predator Aethon 500: Kurang “Kharismatik”!

Apa yang belum ditawarkan oleh peripheral gaming untuk PC saat ini? Setelah bertahun-tahun saling berpacu satu sama lain dengan berusaha menawarkan sesuatu yang berbeda, tidak banyak hal “baru” lagi yang bisa mereka suntikkan untuk menjustifikasi harga yang lebih mahal dibandingkan produk konvensional non-gaming. Solusi terbaik yang bisa disuntikkan adalah dengan mengubah sisi desain, membuatnya nyaman tetapi sekaligus terus memperkuat sisi kosmetik yang ada.
Di urusan terakhir ini, beberapa berhasil menghasilkan desain yang penuh identitas dan tidak sulit untuk mencuri perhatian Anda sekilas pandang. Bagi beberapa gamer, unsur yang mungkin terdengar tidak esensial dari sisi performa ini justru menjadi bagian yang dicari. Semuanya atas nama untuk tampil sebagai gamer di permukaan, apalagi jika ia memungkinkan proses personalisasi di atasnya. Di tengah pasar seperti inilah, Acer berusaha menjawab tantangan dengan Acer Predator Aethon 500, sebuah keyboard gaming mekanikal RGB. Namun sayangnya, ada sesuatu yang terasa kurang di keyboard yang satu ini.
Fitur dan Desain

Melihatnya di permukaan, Predator Aethon 500 memang terlihat dan terasa seperti sebuah keyboard gaming. Bentuk setiap key keyboard-nya yang menawarkan kenyamanan dibalut dengan warna hitam yang dominan dan sebuah tulisan “Predator” di bagian bawah keyboard. Dibandingkan dengan keyboard kebanyakan, ukurannya memang sedikit memanjang terutama karena ekstra ruang yang harus mereka suntikkan di bagian kiri untuk memfasilitasi satu baris tombol yang baru. Sementara di sisi kanan, ada sedikit bagian yang menonjol meluncur dari barisan key untuk akses pengaturan media secara instan. Benar sekali, sebuah wheel kecil yang bisa diakses dengan memutarnya secara analog disuntikkan untuk mengatur volume tanpa mengganggu proses gaming Anda.


Berbalut bahan alumunium yang mendominasinya, Predator Aethon 500 memang terlihat bongsor dan kokoh. Sebagai gamer yang senang dengan keyboard yang sedikit berat dan seringkali mengasosiasikannya dengan stabilitas, kami tentu saja senang dengan aspek yang satu ini. Namun di sisi lain, berat seperti ini membuatnya tidak cocok untuk dijadikan sebagai keyboard yang bisa Anda bawa ketika berpergian baik untuk aktivitas gaming ataupun produktif misalnya. Acer juga menyuntikkan keys dengan warna kebiruan untuk empat tombol – W,A,S,D untuk menguatkan identitasnya sebagai keyboard gaming. Apakah strategi ini berhasil? Mengingat Anda akan lebih banyak menggunakannya dengan ujung jari Anda, kami harus menyebutnya sebagai langkah yang tak efektif. Kami bahkan menemukan bahwa untuk alasan yang tidak jelas, tulisan di keempat keys ini justru gampang tergerus dibandingkan key “biasa” yang lain.


Memastikan diri bisa mengakses hampir semua fungsi secara instan terlepas dari dukungan perangkat lunak yang akan kita bicarakan nanti sepertinya menjadi ide dari keseluruhan desain Predator Aethon 500 ini. Selain 5 buah tombol makro untuk Anda yang membutuhkannya, ada satu ekstra tombol bertuliskan “P” yang seperti bisa Anda prediksi merupakan simbolisasi “Profile”. Dengan menekannya, Anda bisa mengganti profile Predator Aethon 500 secara instan tanpa perlu mengakses sisi software sama sekali. Yang kami sukai darinya adalah bentuknya yang bulat, hingga saat memori otot Anda bergerak ke samping kiri atas untuk menekan tombol “Esc”, bentuk bulatnya yang aneh akan menginformasikan ujung jari Anda bahwa tombol yang Anda tekan bukanlah “Esc” yang Anda cari. Dengannya, Anda bisa menggesernya sedikit ke kanan dan menemukan tombol yang Anda inginkan.
Sementara tombol analog di bagian kanan akan membantu Anda mengakses fungsi multimedia secara instan, yang tentu saja sangat membantu tidak hanya ketika Anda menikmati film favorit misalnya, tetapi juga memastikan aplikasi pemutar lagu yang berjalan di latar belakang seperti Spotify untuk berhenti, berlanjut, atau kini hadir dengan volume suara lebih kecil. Karena bukan tidak mungkin Anda bertemu dengan game yang membutuhkan grinding atau begitu repetitifnya hingga musik akan jadi penyemangat yang efektif. Tombol seperti ini akan membuat Anda tidak akan kehilangan momen penting dalam game misalnya.


Sayangnya, harus diakui bahwa Predator Aethon 500 memang tidak hadir dengan sebuah desain yang istimewa. Memang ia hadir dengan konsep RGB yang akan kita bicarakan nanti, namun tulisan sekedar “Predator” di bagian bawah keyboard tidak memberikan efek kosmetik atau citra kuat yang siap untuk membuat gamer tergugah atau bangga. Padahal di sisi lain, Predator punya logo yang terhitung maskulin dan keren untuk bisa dimanfaatkan lebih baik dengan sisi desain seperti ini. Logo tersebut hanya berakhir di bagian palm rest yang belum tentu digunakan semua gamer, termasuk kami.
Predator Aethon 500, Seberapa Nyaman?

Secara garis besar, Predator Aethon 500 adalah sebuah keyboard gaming mekanikal yang didesain cukup nyaman dari penempatan keys hingga ukuran yang ia usung. Namun di sisi lain, teknologinya sendiri memancing pertanyaan jika kita juga berbicara soal harga yang hendak ia tawarkan. Mengapa? Karena alih-alih menggunakan Cherry MX, mereka menggunakan Kailh – switch “kelas dua” yang biasanya dijadikan sebagai sumber kompromi teknologi banyak produk serupa di tingkat harga yang lebih murah. Seringkali diasosiasikan dengan daya tahan lebih rendah, pengalaman kami sejauh ini dengan Kailh memang cukup baik dan tidak banyak bermasalah. Apalagi dengan switch biru yang ia usung, sensasi taktil yang ditawarkan Predator Aethon 500 masuk ke dalam preferensi kami pribadi.


Namun jika berbicara soal harga yang ia usung, pemilihan switch Kailh ini tentu saja memancing rasa penasaran. Mengapa? Karena tidak sulit untuk menemukan produk kompetitor yang serupa di pasaran, jika mengacu pada harga USD, yang sudah menggunakan Cherry MX sebagai basis. Ini tentu saja perbedaan yang tidak sulit membuat beberapa jenis gamer PC untuk memalingkan wajah mereka dari keyboard Acer yang secara keseluruhan, terutama untuk mereka yang punya prejudice negatif pada kualitas Kailh itu sendiri. Kondisi seperti ini membuat Predator Aethon 500 kehilangan satu daya tarik spesifik.
Di tengah desain yang di atas permukaan tidak begitu “gila” dan “berbeda”, keputusan menggunakan Kailh ini membuat daya tariknya sedikit menurun. Namun tidak sampai berhenti sampai di sana saja, Predator Aethon 500 juga memuat salah satu desain user-interface software yang terlihat murahan dibandingkan produk kompetitor. Anda memang mudah mencari segala sesuatunya lewat tab yang sederhana, dimana Anda bisa menggunakannya untuk menyematkan fungsi makro, mengatur efek lighting RGB yang begitu beragam, hingga menyimpan profile yang Anda inginkan. Namun semua fungsi yang diakui lengkap tersebut “tenggelam” karena impresi pertama yang buruk. Acer sepantasnya membayar desain user-interface yang lebih baik untuk membuatnya terlihat lebih elegan dan berkelas. Hal ini berkontribusi lagi pada nilai identitas dan daya tariknya. Pelan tapi pasti, ia terlihat seperti keyboard yang tidak “kharismatik”.


Padahal sekali lagi, ia mengusung performa sebagai keyboard gaming yang fantastis. Dengan fitur N-key rollover, ia menjamin bahwa semua perintah yang Anda lemparkan akan diterjemahkan dengan seharusnya. Ini membuat aktivitas gaming yang cepat sekalipun, akan minim resiko berujung dengan translasi perintah yang justru saling menimpa dan membuat beberapa perintah lainnya tidak muncul di layar. Predator Aethon 500 melakukan tugasnya dengan sangat baik sebagai keyboard gaming ketika kami menjajalnya di game shooter terbaru 4A Games – Metro Exodus. Game FPS seperti ini memang tidak banyak menuntut Anda untuk melakukan gerakan-gerakan tidak perlu, namun kehadiran Predator Aethon 500 seolah menjamin yang perlu Anda khawatirkan hanyalah para kanibal dan mutant yang Anda hadapi di depan mata. Kami juga menjadikannya sebagai ujung tombak untuk memainkan Apex Legends, yang seperti halnya Metro Exodus, ditangani Predator Aethon 500 dengan baik.