Menjajal Diablo II: Resurrected (Technical Alpha): Bagai Bumi Langit!

Perbedaan usia memang mau tidak mau harus diakui, juga membuat dua generasi gamer – tua dan muda akan sulit untuk memahami daya tarik game yang masing-masing, mereka puja-puji. Karena pada dasarnya, tidak sedikit game di luar sana yang berhasil menyandang predikat “legendaris” namun punya mekanisme gameplay yang sudah uzur. Sebegitu lawas dan kunonya, hingga gamer-gamer yang lebih muda mungkin tidak akan bisa menikmatinya, apalagi jika dibandingkan dengan rilis game modern yang lebih indah, luwes, dengan pendekatan cerita yang lebih menarik. Namun terkadang, ada beberapa game tua yang tetap punya potensi untuk melabrak kondisi tersebut. Salah satu yang menjanjikan? Diablo II: Resurrected.
Ada beda 12 tahun antara rilis Diablo II dan Diablo III. Ketika seri ketiga tersebut meluncur untuk pertama kali di tahun 2012 silam, Diablo III datang dengan pendekatan lebih modern hampir di semua sektor, termasuk sistem loot hingga aksi bertarung yang lebih mulus dan luwes. Tidak ayal, walaupun Diablo III berujung sukses besar, banyak yang merindukan pendekatan Diablo II yang masih terasa dominan sisi RPG-nya daripada action-nya itu sendiri. Siapa yang mengira bahwa mimpi tersebut akhirnya berpotensi jadi nyata. Blizzard secara resmi mengumumkan proyek Remaster bertajuk Diablo II: Resurrected yang disinyalir dikerjakan oleh tim mantan Vicarious Visions – tim sama yang diberi tanggung jawab untuk menangani Tony Hawk Pro Skater dan Crash Bandicoot N.Sane Trilogy di masa lalu.
Berita baiknya? Beberapa gamer diberi kesempatan untuk menikmatinya lebih awal dalam masa Technical Alpha Test, termasuk kami. Mengingat ini masih berada dalam masa alpha, maka masalah teknis akan diposisikan sebagai sesuatu yang lumrah. Ia juga mungkin tidak akan memuat konten seperti seharusnya di versi final nanti, termasuk pendekatan soal FMV misalnya, yang masih misterius. Dengan konten ACT I dan ACT II yang ditawarkan, setidaknya ia sudah cukup untuk memberikan gambaran apakah ia akan muncul sebagai proyek remaster yang pantas untuk diantisipasi atau tidak.
Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Diablo II: Resurrected (Technical Alpha) ini? Mengapa kami menyebutnya bagai bumi langit? Inilah impresi dari kami:
Bagai Bumi Langit

Dengan membaca sub-judul yang kami pilih di atas, soal “Bumi Langit”, Anda sepertinya sudah memahami bahwa apa yang kami bicarakan adalah perbedaan visual yang diusung oleh versi original dan Resurrected (akan kami sebut Remaster selanjutnya untuk kemudahan). Karena memang, Blizzard harus diakui melakukan tugas yang fantastis, bahkan di masa technical alpha ini sekalipun.
Sebagai game yang dirilis di tahun 2000 silam, yang notabene sudah berusia hampir 21 tahun lamanya, Diablo II memang memperlihatkan jejak-jejak uzur yang tidak lagi bisa dihapus dengan sekadar “meningkatkan tekstur” saja. Dimainkan dengan PC modern dan televisi definisi tinggi misalnya, Anda akan melihat dunia dalam bentuk piksel yang jelas. Memang ada daya tarik nostalgia di dalamnya, namun kami bisa meyakinkan Anda bahwa ia tidak terlihat “seindah” apapun yang sudah direkam oleh otak dan masa kecil Anda. Untuk membantu Anda mendapatkan gambaran, Blizzard juga menyuntikkan satu tombol khusus yang akan langsung mengganti visual yang ada dengan versi original. Mode ini disebut sebagai “Legacy” dan dapat digonta-ganti secara real-time kapanpun Anda inginkan.






Maka yang ditawarkan oleh Diablo II: Resurrected adalah sebuah rombak ulang hampir di semua elemen presentasi visual, yang membuatnya terlihat seperti sebuah game baru. Proyek ini masih pantas menyandang kata “remaster” karena mereka sendiri tidak lantas mengganti atau menambahkan konten dari versi originalnya. Posisi kota, posisi karakter, posisi dungeon yang perlu Anda bersihkan, hingga komposisi yang Anda temui di dalamya masih akan mengikuti pakem yang sudah diusung oleh versi originalnya. Yang ditawarakn di sini adalah proses modernisasi dengan mengganti hampir semua objek dan model karakter yang ada. Cukup untuk membuatnya terlihat pantas untuk disandingkan dengan game-game RPG isometrik saat ini.
Selain model karakter dan tekstur baru yang bertebaran di keseluruhan sesi uji kami, Diablo II Remaster ini juga hadir dengan beberapa efek visual yang tentu saja, memperkuat keseluruhan atmosfer yang ada. Acungan jempol terbesar pantas diarahkan kepada implementasi efek cahaya yang lebih dinamis, terutama jika kita bicara soal ragam sihir yang bisa dieksekusi sebagai Sorceress. Anda kini bisa melihat bagaimana magic petir Anda kini juga diikuti dengan sedikit cahaya yang bahkan bisa ikut menerangi dungeon yang gelap. Efek lainnya adalah pantulan bayangan di setiap genangan air yang Anda temui. Ini mungkin salah satu yang paling membuat kami terkejut, terutama saat menemukan bahwa pantulan ini tersedia di hampir semua genangan, bahkan yang kecil sekalipun.


Maka mengikuti gerak presentasi banyak game modern pula, kombinasi di atas perombakan besar-besaran visual ini membuat Diablo II: Resurrected berada dalam bentuk terbaiknya untuk menarik minat gamer modern. Kami juga menemukan ada beberapa penyesuaian yang ditawarkan, seperti overlay peta yang dahulu bisa memenuhi satu layar penuh game, kini selalu diposisikan agak kanan atas untuk memastikan karakter Anda tidak tertutupi sembari memastikan informasi yang disajikan tetap jelas. Perubahan ini juga membuat beberapa desain level terlihat jauh lebih dramatis, seperti api di dalam dungeon yang kini kobarannya terlihat lebih panas dan terang di versi Remaster, selayaknya kerja api yang seharusnya.

Tenang saja, untuk Anda yang mengasosiasikan Diablo II dengan semua suara ikoniknya, dari koin yang jatuh, suara minum Potion, hingga item yang terjatuh pada saat loot masih akan menemukan semua suara-suara tersebut di versi Remaster ini. Namun untuk musik latar belakang yang menemani, entah karena kami memang tidak pernah memberi perhatian lebih sejak mencicipi seri originalnya di masa lalu atau karena kualitas musiknya sendiri yang memang tidak memorable, namun elemen yang satu ini memang tidak bisa dibilang memesona.