Review House of Ashes: Selangkah Lebih Baik!
Selangkah Lebih Baik!

Walaupun sebagian besar pengalaman Anda hampir serupa dengan seri sebelumnya, namun ada beberapa hal yang membuat House of Ashes terasa istimewa, terutama saat dibandingkan dengan game-game mereka sebelumnya baik dari The Dark Pictures ataupun Until Dawn. Bahwa ada sesuatu hal yang istimewa, yang membuat aksi bertahan hidup di dalam kuil Mesopotamia penuh dengan monster ini berujung lebih bisa dinikmati. Kami mencoba menelaah beberapa alasannya.
Salah satu yang menjadi basis pengalaman lebih baik ini, di mata kami, datang dari eksistensi karakter seperti Salim – sang prajurit Irak yang terjebak bersama dengan pasukan Amerika di situasi penuh mimpi buruk yang sama. Salim dicitrakan sebagai seorang ayah yang sayang pada anaknya, tidak menyukai perang jika tidak terpaksa melakukannya, dan dibekali dengan “Tongkat besi” andalan yang terus ia pikul untuk membunuh para monster dengan gagah berani. Percaya atau tidak, Salim di mata kami, adalah “sinar” untuk House of Ashes.
Mengapa? Karena jika dipikir dengan matang, kami bisa dibilang, tidak pernah menyukai satupun karakter yang ditulis Supermassive Games sejauh ini. Karakter-karakter remaja di Until Dawn sama sekali tidak simpatik dan relatable untuk kami, karakter-karakter remaja di Man of Medan tak kalah bedebahnya dan tanpa kualitas yang bisa disenangi, yang juga terjadi di The Little Hope terlepas dari kombinasi karakter tua dan muda di satu ruang yang sama. Fakta bahwa kami juga tidak mengingat satupun nama mereka juga seolah jadi testimoni tidak langsung betapa payahnya gaya penulisan karakter dari Supermassive Games. Salim bisa dibilang sebagai penebusan.


Menulis cerita untuk pertama kalinya, dimana tim yang hidup matinya Anda tentukan berasal dari golongan manusia dewasa dan punya ketangguhan secara professional mengingat mereka adalah prajurit, juga menyediakan pengalaman menyegarkan tersendiri. Ada sedikit drama percintaan memang, namun tidak disajikan bak cinta remaja di Until Dawn atau Man of Medan yang harus diakui, tidak menarik. Keberadaan senjata dan status mereka sebagai prajurit juga membuat cita rasa action House of Ashes lebih kental daripada suasana horror-nya, yang kami sambut dengan tangan terbuka. Setidaknya jumlah jump-scare murahan juga terasa jauh lebih berkurang.
Namun pada akhirnya keistimewaan yang kami terima dengan tangan terbuka adalah keberanian Supermassive Games untuk akhirnya, tidak selalu memberikan penjelasan “logis” dan “rasional” untuk fenomena yang mereka lewati. Bahwa serangan monster yang berhasil mencabik begitu banyak manusia ini tidak lantas berubah menjadi kisah-kisah psikosis atau halusinogen seperti seri-seri sebelumnya. Bahwa ancaman yang tidak rasional ini memang ada dan eksis untuk ditangani oleh para karakter yang kita kendalikan. Kami berharap pendekatan seperti inilah yang akan didorong The Dark Pictures untuk lebih banyak seri mereka di masa depan. Jangan berusaha merasionalisasi misteri yang justru, berujung mengacaukannya.
Kesimpulan

Supermassive Games memang tidak datang dengan sesuatu yang revolusioner dengan House of Ashes jika kita berangkat dari formula yang sudah mereka tawarka via dua seri The Dark Pictures sebelumnya. Namun yang berhasil ia tawarkan di sini adalah pengalaman yang jauh lebih baik, berkat beberapa penyempurnaan yang pantas dirayakan. Kita akhirnya menemukan karakter yang bisa disukai, pengalaman supernatural dan misteri yang tidak lagi harus dirasionalisasi, dan juga porsi jump-scare yang jauh lebih berkurang. Kombinasi ini membuat House of Ashes jadi seri The Dark Pictures yang paling solid sejauh ini.
Namun bukan berarti game ini datang dengan kekurangan. Masalah klasik di seri sebelumnya seperti transisi scene yang terkadang masih kaku dan berujung mencabut sensasi imersif yang ada, hingga minimnya invovasi baru yang ditawarkan oleh Supermassive Games tetap jadi masalah yang pantas dibicarakan, apalagi mengingat Anthology ini masih memiliki banyak seri di masa depan. Salah satu keluhan kami juga datang dari setting perang Irak yang sebenarnya menyimpan lebih banyak potensi untuk cerita yang lebih “berat”, namun berujung dikesampingkan begitu saja. Ini membuat House of Ashes seharusnya bisa diracik menggunakan karakter manapun di setting apapun, dan kehilangan keistimewaannya tersendiri.
Untuk saat ini, rekomendasi kami pada House of Ashes kepada Anda akan sangat bergantung pada rasa suka Anda pada dua seri The Dark Pictures sebelumnya. Jika Anda memang super mencintai seri ini dan tidak berkeberatan dengan formula yang sama, maka House of Ashes akan menawarkan hal tersebut. Namun jika Anda sekadar penasaran? Tak perlu terburu-buru, selalu ada opsi untuk menunggu hingga harganya berujung lebih murah, tentu saja selama Anda bisa menghindari spoiler atas nama menghargai cerita dan plot-twist yang ia tawarkan.
Kelebihan

Kualitas dan detail visual tetap memesona
Salim
Fenomena menyeramkan yang akhirnya tak harus dirasionalisasi
Keputusan tetap punya pengaruh pada konsekuensi yang ditimbulkan
Porsi jump scare murahan tidak lagi terasa berlebihan
Kekurangan

Formula minim inovasi
Transisi scene masih terasa kaku dan karenanya, mencabut rasa imersif
Glitch masih terjadi
Setting perang Irak berujung tak memainkan banyak peran
Cocok untuk gamer: yang mencintai seri Dark Pictures, mencintai cerita dengan plot-twist
Tidak cocok untuk gamer: yang menginginkan inovasi signifikan, bosan dengan formula Dark Pictures










