Review NeverDead: Ketika Keabadian Menjadi Kutukan bagi Gamer!
Keabadian? Menarikkah?
Sebagian besar gamer tentu pernah menjajal God-mode atau cheat-code untuk semua game yang pernah menawarkan mode tersebut. Bertempur tanpa harus takut menghadapi konsekuensi kematian tentu menjadi daya tarik yang sulit untuk ditolak. Namun menerapkannya sebagai fitur utama sebuah game? Menarikkah? Ini tentu menjadi pertanyaan yang paling serius. Apakah konsep original yang ditawarkan oleh NeverDead memang mampu menawarkan sesuatu yang berbeda dan menarik dibandingkan game third person shooter lainnya? Anda akan merasa terpesona di awal dan banyak tertawa, namun akhirnya? Lebih banyak rasa frustrasi dan kebosanan.


Harus diakui, kematian dan ancaman game-over di sebuah game merupakan salah satu motivasi yang membuat seorang gamer tertantang. Strategi untuk bertahan hidup dan bergerak seefektif mungkin juga berakibat pada adrenalin yang terpompa secara konsisten. Namun apa yang terjadi jika nilai paling esensial ini dikurangi secara drastis? Inilah yang mungkin terjadi ketika Anda memainkan NeverDead. Anda hanya perlu datang menghadapi musuh dengan gaya paling brutal tanpa harus menghadapi konsekuensi apapun. Akibatnya? Anda akan merasakan kehampaan pada esensi gameplay yang sesungguhnya. Tidak ada rasa tertantang yang kental di sana.
Tubuh yang termutilasi dan kesempatan untuk menggabungkan tubuh kembali memang menarik di awal. Namun perlahan namun pasti Anda akan merasakan rasa frustrasi karenanya. Daripada seorang “manusia” bertubuh iblis, Bryce lebih terkesan sebagai manusia yang dibangun dari agar-agar kurang matang. Ia memiliki tubuh yang begitu rapuh dan lembek. Semua bagian tubuhnya terasa begitu mudah lepas dan hancur, walau hanya karena satu serangan kecil yang sebenarnya tidak signifikan. Akibatnya? Anda akan lebih sibuk untuk menggabungkan tubuh Anda kembali daripada bertarung hingga level epicness yang tinggi. Menjadi abadi tidak selamanya menyenangkan.
Kesimpulan

Konsep yang dibawa Konami untuk NeverDead memang harus diakui unik dan original. Ia menjadi game third person shooter pertama yang memiliki karakter utama abadi yang benar-benar tidak bisa mati. Plot tentang keabadian yang selama ini diusung oleh game lain lebih banyak berkisar sebagai kosmetik di dalam cerita, sementara NeverDead benar-benar menerapkannya dalam mekanisme gameplay yang sebenarnya. Apakah mekanisme gameplay ini sempurna? Penerapan tubuh yang bisa dimutilasi memang lucu pada awalnya, namun berpotensi menimbulkan frustrasi di ujung. Tubuh Bryce yang dibangun terlalu rapuh justru terasa seperti agar-agar. Sebuah serangan kecil saja mampu merontokkan semua tubuhnya.
Dua hal yang paling membuat NeverDead begitu memesona terletak pada dua elemen yang cukup sederhana: musik dan interaksi lingkungan yang menghasilkan pertarungan yang destruktif membuat game ini tampil lebih baik. Dari kedua elemen ini atmosfer pertempuran yang epic terasa begitu kental. Namun sayangnya, hal ini tidak disertai dengan kemampuan untuk menghadirkan rasa tertantang yang kental. Keputusan untuk menghadirkan Bryce yang tidak bisa mati berujung pada konsekuensi yang justru bisa berdampak negatif pada esensi video game yang sebenarnya.
Terlepas dari semua kekurangan yang ia miliki, NeverDead masih mampu membuktikan diri sebagai salah satu game third person shooter yang layak untuk dijajal. Walaupun ia tidak menawarkan kualitas yang luar biasa, namun konsep kehidupan abadinya, sebagai yang pertama di genrenya, tetap menarik untuk dicoba.
Kelebihan:

- Visualisasi
- Lingkungan yang bisa dihancurkan
- Theme song dan OST “NeverDead” dari Megadeth
- Sistem EXP Point dan Skill Shop
- Originalitas konsep
- Desain karakter dan monster
Kekurangan

- Hilangnya perasaan tertantang
- Tubuh yang terlalu rapuh
- Sistem bidik dual-gun yang kurang sempurna
- Gameplay yang terasa repetitif
Cocok untuk gamer: penggemar game third person shooter yang unik
Tidak cocok untuk gamer: yang butuh tantangan ekstra.