Review Asura’s Wrath: Sebuah “Film” Interaktif
Perkenalkan Yasha – Sebuah Simbol Idealisme

Game yang satu ini memang mengusung dengan jelas nama Asura sebagai judul utama, tetapi tidak berarti Anda akan terus terperangkap dalam sosok demi-god pemarah ini sepanjang permainan. Cerita yang ada akan memungkinkan Anda untuk mengambil peran Demi-God yang lain – Yasha. Bersanding dengan Asura, Yasha yang pada awalnya menentang eksistensi Asura perlahan namun pasti mulai berpihak pada “kebenaran” yang diusung oleh sosok Asura sendiri. Ia merupakan kakak dari Durga – istri dari Asura. Berbeda dengan Asura yang lebih mengandalkan serangan penuh kekuatan, Yasha datang dengan serangan yang lebih berfokus pada kecepatan dan momentum. Walaupun demikian, ia tetap menghadirkan tujuan utama yang sama: mengumpulkan bar BURST!
Jangan Membuat Diri Anda Lelah!

Sebuah game dengan active cut-scene memang seringkali hadir dengan penampakan tombol aksi cepat yang menuntut Anda untuk bereaksi tepat seawal mungkin. Asura’s Wrath juga tidak banyak berbeda. Sebagian besar cut-scene yang ada akan menuntut Anda untuk melakukan hal tersebut. Namun, tidak jarang Anda akan terlibat dalam sebuah “battle” yang mengharuskan Anda untuk menekan tombol aksi tertentu secepat mungkin, dengan progress bar di atas layar yang terlihat saling berlawanan dengan progress bar musuh. Sebagai seorang gamer, reaksi awal kita tentu langsung menekan tombol tersebut secepat yang kita bisa, mengerahkan semua kekuatan yang dimungkinkan.
Hal ini mungkin efektif untuk game lain, namun di Asura’s Wrath, Anda hanya akan membuang-buang tenaga yang berharga dan akhirnya jatuh lelah untuk sesuatu yang tidak menghasilkan apapun. Mengapa? Karena secepat apapun Anda menekan, sebagian cut-scene seperti ini tampil sebagai scripted event, yang terkadang memang mengharuskan Anda untuk kalah terlebih dahulu, terlepas dari seberapa cepat pun Anda menekan. Jadi daripada lelah, lebih baik melakukannya secara halus dan berirama.
Voice Acts Inggris yang Buruk

Asura mungkin akan lebih banyak berteriak sepanjang permainan daripada berbicara dan melontarkan kata-kata yang bermakna, namun tidak berarti Anda tidak akan melihat dialog sama sekali di game ini. Sayangnya, untuk sebuah game yang mengusung cerita dan cut-scene sebagai nilai jual yang paling utama, CyberConnect2 gagal menghadirkan salah satu elemen pendukung yang seharusnya menjadi fokus perhatian – voice acts! Walaupun tidak terlalu bermasalah untuk suara di bahasa Jepang, voice acts Inggris dari game yang satu ini harus diakui buruk. Selain tidak mampu menampilkan emosi yang tepat, Anda akan seringkali menemukan suara yang tidak sinkron dengan gerak bibir tiap karakter. Tidak hanya itu saja, kehadiran para manusia “antah-berantah” yang terus berbicara dengan bahasa asing tanpa teks juga akan membuat Anda kebingungan. Padahal beberapa di antara mereka memegang peranan yang cukup signifikan di dalam plot.