Orang Tua Abaikan Rating Umur Video Game?
Sudah bukan rahasia lagi jika sebagian besar dari kita para gamer, seringkali merasa tersudutkan dengan berbagai stigma negatif yang dilemparkan oleh masyarakat awam. Video game dipandang sebagai sumber dari segala “penyakit sosial” yang berkembang di era modern ini, termasuk peningkatan intensitas sifat agresivitas yang kabarnya, bahkan terjadi di anak-anak saat ini. Sumbernya? Dicurigai berasal dari konten video game yang dianggap kian penuh kekerasan dan kekejaman dalam batas yang tidak wajar. Sesuatu yang memang tidak dapat dipungkiri memang terjadi. Namun benarkah ini menjadi satu-satunya alasan? Ada alasan lain yang menyertainya: orang tua.
Industri game sebenarnya sudah memiliki mekanisme filternya sendiri untuk memastikan agar usia tertentu tidak mengakses konten-konten yang tidak pantas. Situs non-profit seperti ESRB dan PEGI dengan jelas memberikan batasan umur untuk memudahkan orang tua mengawasi video game yang dimainkan oleh anak mereka. Namun nyatanya? Berdasarkan survei yang dilakukan oleh playr2.com terhadap 1200 responden yang berbasis di Inggris, hasil yang didapat cukup mengejutkan. Lebih dari setengah, 64% dari responden ini menyatakan bahwa mereka tidak pernah memeriksa batasan umur video game yang dimainkan anak mereka terlebih dahulu. Dari 64% ini, 55% nya beralasan bahwa batas umur bukanlah sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Ironis.
Dengan hasil survei seperti ini, tidak mengherankan jika kita melihat banyak anak-anak dengan mudahnya memperlihatkan tindak kekerasan yang terhitung “brutal” untuk anak seusia mereka. Pada akhirnya, video game tidak menjadi satu-satunya alasan yang menyebabkan hal ini terjadi, tetapi juga lemahnya pengawasan orang tua. Jika sistem ESRB dan PEGI yang diterapkan pada game-game original di Inggris Raya saja tidak mampu menjalankan fungsinya, apalagi di Indonesia? Sebagian besar game bajakan di Indonesia, apapun genrenya, sebagian besar datang dengan rating “E” yang sudah dimodifikasi oleh para pembajak. Banyak orang yang bahkan tidak tahu fungsi huruf-huruf yang tertempel di depan cover game ini. Hasilnya? Bukan sesuatu yang sulit melihat anak-anak sekolah dasar di negara ini menikmati pembunuhan brutal lewat game seperti GTA.

Bagaimana menurut Anda? Pihak mana yang lebih bertanggung jawab, produsen game atau orang tua?