Review Diablo III: Perubahan Identitas Menjadi Single Player-MMO!
Sensasi Single-Player MMO?
Menggabungkan “Single-Player” dan “Massively Multiplayer Online” dalam satu kata tentu saja adalah sebuah paradox tanpa penyelesaian. Keduanya mengambil dua arah mekanisme gameplay yang bertolak-belakang satu sama lain dan menawarkan sebuah sensasi permainan yang berbeda. Single Player berfokus pada pengalaman bermain dan kenikmatan diri sendiri, sementara MMO adalah sebuah genre yang didesain untuk dimainkan bersama-sama dengan orang lain. Percaya atau tidak, sensasi inilah yang akan Anda dapatkan ketika memainkan Diablo III ini. Di satu sisi, Anda akan terlibat dalam sebuah petualangan dengan cerita layaknya sebuah game adventure single player, namun di sisi lain, Anda akan merasakan pentingnya kehadiran karakter lain di dalam permainan dan disuguhi dengan beragam elemen yang kental dengan sebuah game MMO. Anda bingung? Kami akan menjabarkannya untuk memberikan sedikit gambaran.


Hampir tidak ada yang berubah dari sisi gameplay Diablo III sendiri. Ia masih tetap hadir sebagai sebuah game RPG dengan sudut pandang kamera isometrik dengan beragam musuh yang seringkali datang dalam jumlah banyak. Anda tetap diberi kebebasan untuk memilih satu dari 5 job utama dengan sifat dan keunikannya masing-masing. Seperti kedua seri sebelumnya, Anda juga akan melewati petualangan dalam potongan chapter yang akan membawa masalah dan inti cerita masing-masing. Intinya? Tidak berbeda dengan kedua seri sebelumnya, Diablo III adalah sebuah game single player yang dapat dengan mudah dinikmati. Anda juga dapat menyewa karakter NPC untuk membantu Anda dalam petualangan, farming dan mencari equipment terbaik untuk Anda sendiri. Lantas, untuk apa Blizzard memaksa Anda untuk terus terkoneksi pada server Battle.net?
Selain sebagai sarana yang mumpuni untuk mencegah pembajakan, keputusan Blizzard untuk membuat Diablo III harus terkoneksi pada Battle.net memberikan konsekuensi lain yang menghasilkan kesan MMO yang kental. Dengan empat tingkat kesulitan yang ditawarkan: Normal, Nightmare, Hell, dan Inferno, Blizzard menawarkan sebuah jenjang permainan yang akan “memaksa” Anda untuk bermain bersama player Diablo III lainnya di seluruh dunia. Anda mungkin dapat menyelesaikan game dalam kesulitan normal, namun tingkat kesulitan lainnya? Anda benar-benar butuh melakukan party dengan gamer yang lain. Di sisi inilah, konsep MMO mulai mengambil peran yang besar.


Dengan kemudahan interface yang ada, Anda bisa bergabung dalam pertarungan yang sedang dijalankan oleh gamer lain dengan mudah. Uniknya, melakukan party dengan gamer lain juga akan memberikan progress pada cerita yang sedang Anda jalani jika party memang menempuh quest dan chapter yang sama. Untuk mencegah keributan yang mungkin terjadi, Blizzard juga sudah mendesain agar setiap user dalam party untuk mendapatkan loot equipment dan item mereka sendiri-sendiri. Sebagai konsekuensinya, musuh yang Anda temui akan bertambah kuat seiring dengan jumlah user dalam party (maksimal 4 orang). Semakin ramai party Anda, semakin menantang pula pertempuran yang ada. Bertemu dengan orang asing di belahan dunia yang lain dan bertempur bersama tentu menghasilkan sebuah sensasi MMO, untungnya, sangat mudah untuk dinikmati. Bahkan boleh disimpulkan, ia bergeser menjadi kekuatan utama dari Diablo III itu sendiri.
Sensasi MMO tidak hanya dihadirkan dari sistem party ini. Berbagai elemen baru yang dihadirkan oleh Blizzard di seri ketiga ini juga semakin menguatkan kesan tersebut. Anda kini juga diberikan kesempatan untuk melakukan crafting untuk menciptakan equipment yang lebih kuat, baik untuk Anda gunakan atau sebagai item trade dengan user yang lain. Pada akhirnya, Anda akan disuguhkan dengan fitur Auction House, sebuah media lelang yang memungkinkan user untuk menawar, membeli, dan menjual equipment-equipment mereka yang paling berharga, tidak hanya dalam Gold tetapi juga dalam uang nyata. Sayangnya, saat review ini ditulis, Blizzard masih belum menyertakan sistem uang nyata untuk Auction House ini. Auction House tentu saja menjadi alasan utama dari replayability Diablo III. Secara tidak sadar, Anda akan terus memainkan game ini bahkan hingga tingkat kesulitan Inferno sekalipun dengan satu quest: mencari loot yang terbaik. Tipikal sebuah game MMO bukan?


Menghadirkan sensasi MMO yang kental pada frachise seperti Diablo bukannya tidak menghasilkan sebuah konsekuensi negatif, terutama bagi para gamer yang begitu menikmati seri-seri sebelumnya. Dengan waktu permainan 6 – 12 jam di tingkat kesulitan normal dengan jumlah dungeon yang terhitung minim, adalah sebuah kebohongan jika Anda menyatakan diri menikmati Diablo III karena jalinan cerita atau petualangan yang ia hadirkan. Dengan tingkat kesulitan yang berbanding lurus dengan tingkat kelangkaan item dan equipment yang akan didapatkan, sebagian besar gamer akan terus memainkan sang karakter utamanya untuk satu tujuan utama ini. Hasilnya, Diablo III menjadi sebuah seri game yang “dangkal” dibandingkan kedua seri sebelumnya.
Blizzard sendiri memang sedang bersiap untuk menghadirkan lebih banyak fitur menjanjikan di masa depan untuk memperkuat kesan Diablo III saat ini, salah satunya adalah PvP yang akan memungkinkan para karakter untuk saling bertarung satu sama lain. Sayangnya, fitur ini sendiri masih belum dapat diakses ketika review ini ditulis. Namun jika PvP menjadi sebuah kenyataan, bukankah ini menjadi alasan ekstra bagi gamer untuk terus memainkan Diablo III hanya untuk mencari loot equipment yang lebih baik? Blizzard telah mengubah identitas sebuah franchise Diablo dengan seri ketiga ini. Tidak berlebihan rasanya jika kami mengkategorikannya sebagai game “Single Player – MMO”, terlepas dari paradox yang mungkin ia hasilkan.