Review Metro Last Light: Konflik Post-Apocalyptic yang Memesona!
Bertahan Hidup di Dunia Post-Apocalyptic yang Memesona!
Mempertahankan akarnya sebagai sebuah game FPS, hampir tidak ada inovasi yang bisa diperhatikan dari Metro: Last Light dari sisi mekanik gameplay yang ditawarkan. Anda hanya harus bergerak dari satu titik ke titik lainnya, sembari berusaha bertahan hidup. Tidak ada kewajiban untuk melakukan konfrontasi secara langsung dengan semua ancaman yang berada di depan mata, terutama ketika berhadapan dengan manusia bersenjata. Anda bisa melakukan infiltrasi dan bergerak menuju ke tempat tujuan tanpa harus membunuh siapapun, atau memilih bermain secara stealth – sekedar melumpuhkan atau menghabisi nyawa mereka. Perang secara terbuka memang memacu adrenalin, namun menghasilkan resiko yang lebih besar, apalagi mengingat jumlah peluru yang terbatas.
Tidak hanya berhadapan dengan pasukan Red Line maupun Nazi yang memburu Anda untuk agenda masing-masing mereka, Anda juga tetap harus bertempur melawan serangkaian makhluk mutasi yang menghinggapi dunia luar yang berbahaya. Berbeda dengan manusia yang mampu menyerang Anda dari jarak jauh, sebagian besar makhluk ini akan memberikan tantangan lewat serangan jarak dekat, dan tentu saja lewat kuantitas mereka yang masif. Lebih mampu menghadirkan tekanan psikologis karena panik, ketenangan dan beberapa peluru shotgun akan membantu Anda akan menjadi jawaban terbaik. Metro: Last Light juga menyuntikkan beberapa “boss fight” untuk kian memuaskan suasana.
Namun bagian terbaik dari Metro: Last Light adalah konsistensi 4A Games untuk menjadikan kondisi dunia post-apocalyptic ini serealistis mungkin. Tidak hanya sekedar dibekali senjata, Anda juga akan dibekali dengan beberapa perangkat dasar untuk bertahan hidup, dari sebuah lighter berbentuk peluru, kompas dan peta, hingga topeng gas yang memainkan perang paling krusial. Dengan debu nuklir dan radiasi yang masih mengotori dunia luar, Anda memang harus bergantung pada topeng yang satu ini untuk dapat bertahan hidup. Lewat sebuah jam real-time yang tertera di pergelangan tangan kiri Anda, Anda bisa melihat berapa banyak waktu yang disediakan oleh filter masker Anda. Habis dan tanpa pengganti, maka Anda akan tewas karena sesak napas. Tidak hanya filter, setiap masker gas ini juga memiliki daya tahan tertentu. Rusak karena seringkali diserang juga akan menghasilkan efek yang sama.
Jika ada satu kalimat yang bisa menggambarkan masyarakat yang terbentuk dari franchise Metro selama ini, maka “obsesi terhadap peluru” mungkin menjadi kata yang paling tepat. Tidak hanya lighter Anda yang berbentuk peluru, keterbatasan sumber daya yang satu ini juga memaksa Anda untuk menjalani pertempuran terbuka dengan jauh lebih efektif. Bagian terbaiknya? Peluru-peluru ini bahkan diposisikan sebagai mata uang di dunia Metro: Last Light. Peluru berkualitas tinggi yang langka ini akan menjadi daya tarik transaksi, tidak hanya ketika Anda membeli item-item untuk bertahan hidup, atau sekedar peluru, tetapi juga melakukan modifikasi untuk memperkuat senjata-senjata utama yang tengah Anda bawa.
Berbeda dengan sebagian besar game bertema sama yang mungkin merepresentasikan dunia post-apocalyptic dari sekedar desain lingkungan yang ditawarkan, Metro: Last Light mengintegrasikannya ke dalam sisi gameplay – terutama lewat mekanisme topeng gas dan peluru sebagai mata uang yang berharga. Konflik perang melawan para mutant dan pasukan bersenjata tentu saja menjadi bumbu super manis untuk menikmati game yang satu ini. Anda akan dibawa untuk terlibat dalam sebuah dunia penuh kehancuran yang memesona.
Sistem Moralitas yang Tersembunyi
Kesempatan untuk tumbuh bersama dengan karakter utama memang akan membantu gamer membangun keterikatan emosional dengan game yang mereka mainkan, sebuah konsep yang memang tidak asing lagi di industri game. Beberapa game RPG Barat bahkan secara terang-terangan memberikan kebebasan untuk menentukan moralitas sang karakter utama lewat serangkaian pilihan dan konskuensi yang ada. Sebuah konsep yang juga ternyata diterapkan oleh 4A Games secara “tersembunyi” di dalam Metro: Last Light yang satu ini. Sebuah “rahasia” yang mungkin tidak diketahui oleh sebagian besar gamer yang bahkan sudah menyelesaikannya dalam waktu singkat.
Terselubung sempurna dalam keseluruhan gameplay yang Anda mainkan, 4A Games memang tidak secara jelas memperlihatkan opsi dan misi apa saja yang akan mempengaruhi tingkat moralitas dari karakter Arytom yang tengah Anda gunakan. Diintegrasikan dalam gameplay dengan begitu tersembunyi, beberapa dari aksi dan misi ini bahkan tidak terlihat signifikan. Ia bahkan tidak memuat indikator jelas untuk mengindakasikan apapun. Anda mungkin akan secara tidak sengaja bertemu dengan NPC yang tengah tertangkap dan menyelamatkannya, atau mengembalikan sebuah boneka beruang untuk anak kecil, atau sekedar meaminkan sebuah alat musik. Namun siapa yang menyangka bahwa semua tindakan ini ternyata memiliki konsekuensi moralitas tersendiri.
Ada beberapa misi kecil, acak, dan tindakan yang akan membentuk Arytom ke arah sisi moral yang baik, termasuk menginfiltrasi beberapa misi tanpa membunuh siapapun atau apapun, mendengarkan cerita NPC yang ada, hingga memberikan peluru berharga Anda untuk pengemis di salah satu kota. Lantas konsekuensi apa yang membuat semua “side quest” yang satu ini menarik untuk dikejar? Fakta bahwa Metro Last Light ternyata memiliki dua ending yang berbeda. Mengacuhkan sebagian besar misi ini, maka Anda kemungkinkan besar akan mendapatkan bad ending untuk Metro: Last Light. Berhasil menyelesaikan sebagian besar darinya, maka Anda akan mendapatkan akhir cerita dari pertempuran post-apocalyptic ini yang sebenarnya.