Review Rambo – The Video Game: Pilihan Bodoh!
Menyedihkan!

Menyedihkan, ini mungkin kata perdana yang akan meluncur dari mulut Anda ketika menjajal Rambo – The Video Game ini untuk pertama kalinya. Bukan salah kita untuk mengantisipasi kehadiran seri Rambo yang pantas untuk dijajal, mengingat bagaimana industri game berkembang begitu pesat dan mengarah pada usaha untuk menciptakan lebih banyak konten yang menggugah. Kita membicarakan kualitas seperti The Last of Us, Journey, GTA V, Bioshock Infinite, hingga Spec Ops: The Line yang begitu tampil optimal. Sebuah format sebenarnya pantas untuk disuntikkan ke dalam legenda seperti Rambo, sebuah jaminan kesuksesan yang bisa dipastikan. Dan Rambo – The Video Game hadir ke pasaran. Ketika kita berharap game ini hadir sesuai dengan kita inginkan, yang kita dapatkan, justru format terburuk yang bahkan tidak terbayangkan.
Ketika industri game mulai beralih untuk menawarkan gameplay, cerita, musik yang lebih kompleks, Teyon justru mendorong Rambo – The Video Game ke arah yang sangat sederhana, jika tidak ingin disebut primitif. Beberapa screenshot awal yang dirilis memang sempat mengindikasikan sudut pandang orang pertama yang mungkin bisa langsung disimpulkan sebagai sebuah game FPS, dengan sedikit cita rasa third person shooter ketika tengah melakukan cover atau aksi stealth. Namun yang kita dapatkan? Jauh dari hal tersebut. Rambo – The Video Game adalah sebuah game rail-shooting.


Benar sekali, di tahun 2014 ini, ada developer yang berani mengeluarkan sebuah game rail-shooting di industri yang mulai beralih ke next-gen. Seperti halnya game-game seperti House of the Dead, Time Crisis, Virtua Cop, atau segudang game FPS yang bisa Anda temukan di mesin arcade, Rambo – The Video Game mengusung cita rasa yang sama. Semua pergerakan Rambo berjalan otomatis, dari satu titik ke titik yang lain. Satu-satunya hal yang bisa Anda kendalikan adalah senjata yang berada di tangan dan timing reload untuk membuat pertempuran berjalan lebih cepat. Tugas Anda sederhana, membunuh semua musuh yang berdiri diam di depan Anda sembari menembaki Anda tanpa arah yang jelas, sebelum bisa bergerak ke area selanjutnya. Sama sekali tidak ada yang kompleks di dalamnya.
Anda bisa mengatur waktu timing reload, mekanisme sama yang diusung oleh Gears of War, untuk mendapatkan peluru yang lebih banyak dan waktu reload yang lebih singkat. Ini berarti, Anda bisa melompat kembali ke pertempuran dengan lebih cepat. Dengan sebuah bar berwarna kuning, Anda juga bisa mengakses mode Wrath – yang memberikan kesempatan bagi Anda untuk menembak tanpa perlu memperdulikan jumlah peluru, sekaligus mengisi bar health Anda. Rambo – The Video Game juga hadir dengan sistem experience points, yang jika terisi penuh, memberikan 1 Skill Points yang bisa disematkan di serangkaian perk yang ada. Dari memperkuat health hingga senjata yang bisa Anda gunakan.



Rail-shooting sudah terdengar buruk? Maka semakin dalam Anda menyelami Rambo – The Video Game, semakin terlihat hancur pula game yang satu ini. Tidak hanya rail-shooting yang berarti menihilkan potensi Anda untuk menggerakkan sosok Rambo sama sekali, semua sisi action lain seperti pertempuran tangan kosong juga ditawarkan dalam mode QTE. Semua sekuens akan berjalan secara otomatis, dan yang perlu Anda lakukan hanyalah menekan tombol tombol di layar. Sama sekali tidak ada kesempatan untuk menggerakkan Rambo sama sekali. Di saat seperti inilah, Anda akan mulai bertanya, “GAME MACAM APA INI?!!”.
Berita lebih buruknya lagi adalah bahwa Teyon merilis game ini justru untuk PC, Playstation 3, dan Xbox 360 terlepas dari formatnya yang sebenarnya akan jauh lebih cocok jika diimplementasikan di mesin-mesin arcade (sebelum dibakar massa dalam waktu singkat, tentunya). Alternatif lain adalah merilisnya via Kinect atau Playstation Move. Mengapa? Karena terlepas dari game yang sudah sangat begitu sederhana ini, mereka masih belum bisa mengeksekusi elemen sisa yang lain dengan benar. Memainkan game ini dengan mouse menjadi sumber frustrasi tersendiri, karena sensitivitas gerakan yang tidak akan terasa adaptif dengan apa yang Anda inginkan. Mimpi buruk.
Desain yang Terlambat 20 Tahun!

Dengan mekanik gameplay di bawah standar seperti ini, Teyon dan Reef Entertainment seolah tidak memperhatikan tren seperti apa yang tengah terjadi di industri game saat ini, apa yang masih terhitung “pantas” untuk ditawarkan dan format seperti apa yang justru hanya akan mendulang makian dan cacian secara beruntun. Dengan semua mekanik seperti ini, sangat jelas, bahwa Rambo – The Video Game akan mendulang lebih banyak cacian dan tawa daripada gamer yang benar-benar merasa bahwa game ini dibangun lewat dedikasi dan keseriusan yang tinggi. Rambo – The Video Game mungkin akan tampil luar biasa jika Anda merilisnya di awal tahun 1990-an bersama dengan tren mesin Arcade yang masih booming. Namun merilisnya sekarang? Seperti sebuah surat bunuh diri atau pengunduran diri dari industri game.


Karena terlepas dari gameplay sederhana yang sangat sulit untuk dinikmati, hampir tidak ada elemen lain yang mampu mengkompensasi keburukan tersebut. Yang ada, justru semua elemen ini kian menghancurkan pengalaman yang ada. Tidak perlu jauh, kita bicarakan saja sosok fisik karakter Rambo di Rambo – The Video Game ini sendiri. Jika kita membicarakan Rambo, maka kita tentu membicarakan sosok Sylvester Stallone yang sangat berhasil memproyeksikan karakter fiktif tersebut dengan sangat baik. Namun Rambo yang Anda temukan di game ini sama sekali tidak mewakili ciri-ciri fisik Stallone sama sekali. Anda justru seolah tengah terjebak dengan sebuah film porno parodi Rambo, dengan aktor porno pria yang setengah mati didandani mirip dengan si karakter utama. Di kesempatan lain, Anda seperti tengah menggerakkan seorang manusia purbakala yang baru pertama kali melihat cahaya. Datar, kaku, dengan voice acts kacangan, tidak ada yang bisa dinikmati dari sisi visual dan audio.


Masalah lebih besar juga terjadi dari sisi audio yang ditawarkan. Menjadikan senjata sebagai poin utama dalam permainan, game ini juga tidak dapat mengeksekusi elemen tersebut denganbaik. Tidak jarang, yang Anda temukan justru suara senjata-senjata berat yang mirip dengan senjata mainan lima ribuan yang bisa Anda temukan di pasar pagi. Beberapa suara latar belakang seperti sirine mobil polisi yang secara konsisten terdengar keras selama lebih dari 5 menit gameplay di salah satu chapter juga seolah menjadi siksaan neraka. Dipadukan dengan gerak kamera yang terasa canggung dan membingungkan, hanya tinggal tunggu waktu, hingga game ini membuat mata dan telinga Anda mengeluarkan darah di saat yang sama. Jika Tuhan memang menciptakan neraka, maka neraka adalah mengikat Anda di sebuah kursi dan meminta Anda untuk memainkan game ini selama 24 jam berturut-turut. I’ll take the hell fire anytime, as long as i don’t need to play this game anymore..