Review Destiny: Hype yang Tak Sepadan!
Desain FPS RPG Mainstream

Borderlands, kata yang satu ini tampaknya sudah cukup untuk menjelaskan keseluruhan mekanik gameplay seperti apa yang ditawarkan oleh Destiny, karena kemiripan elemen yang sebenarnya sudah serupa. Anda akan diminta untuk memilih satu dari tiga kelas yang tersedia di awal permainan – Titan, Warlock, dan Hunter. Berbeda dengan game “RPG” lain yang mungkin membedakan ketiganya dari implementasi equipment senjata hingga atribut status, Destiny tidak menawarkan mekanik sekompleks itu. Dapat menggunakan senjata yang sama tanpa terkecuali, yang membedakan ketiganya hanyalah beragam skill yang bisa digunakan dalam pertempuran, dan tidak lebih. Destiny juga menyediakan tiga varian ras, yang semuanya juga berfungsi sekedar kosmetik, tanpa perk apapun.


Anda tentu saja punya kesempatan untuk mencari kesimpulan dari cerita yang ada dengan memainkan Story Mode yang ditawarkan dalam bentuk chapter ke chapter. Dipaparkan dalam peta skala kecil Bima Sakti, Anda bisa berpetualang ke Bumi, Bulan, Venus, dan Mars untuk memasuki beragam chapter yang ditawarkan di dalamnya untuk perlahan namun pasti, memahami garis besar cerita yang ada. Begitu Anda menyelesaikan misi utama di satu planet, maka Anda akan membuka planet untuk cerita selanjutnya, sebuah mekanik mainstream yang tentu saja, tidak lagi terasa asing. Menariknya? Anda selalu punya kesempatan untuk memasuki kembali chapter manapun yang Anda ingikan, berhadapan dengan ancaman yang persis sama, walaupun ada kesempatan untuk menjajalnya di tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Untuk apa? Kita akan bahas itu nanti.


Sebagai sebuah game FPS RPG, mekanik utama Destiny memang tidak berbeda dengan cara Anda memperlakukan game-game FPS pada umumnya. Selain satu senjata utama, setiap karakter juga akan diperkuat dengan satu senjata Special dan satu senjata Heavy untuk damage yang lebih masif, yang tentu saja, masing-masing di antaranya membutuhkan jenis ammo tersendiri. Setiap damage yang Anda lemparkan akan divisualisasikan lewat angka yang bertebaran di atas tubuh musuh. Kesempatan untuk melakukan damage critical juga terbuka jika Anda bisa mengenai titik kelemahan musuh, yang sebagian besar, berkisar di atas kepala. Sebuah mekanisme yang tentu akan terasa sangat familiar.


Sistem experience points dan level juga diterapkan di Destiny ini. Untuk setiap musuh yang berhasil Anda tundukkan atau side-quest yang berhasil Anda selesaikan, Anda akan mendapatkan sejumlah experience points yang bisa berakhir pada kenaikan level. Menariknya lagi? Tidak ada atribut status untuk melihat seberapa signifikan pertumbuhan karakter Anda. Experience points hanya diarahkan pada dua elemen saja – Skill kelas Anda dan Equipment. Naik level berarti membuka kesempatan untuk mengambil alternatif skill yang lebih baik, sementara untuk equipment, ia berujung pada efek senjata yang lebih optimal – seperti menghasilkan damage yang lebih besar, atau menawarkan opsi scope yang lebih baik, misalnya.
Jika semua bergerak dalam koridor sebuahgame FPS RPG mainstream, lantas apa yang membuat Destiny terasa spesial? Bahwa ia menjadikan multiplayer sebagai kekuatan utama. Ada alasannya mengapa Bungie memutuskan untuk menjadikan Destiny sebagai sebuah game always-online, dan ini mengakar pada fakta bahwa ia bisa dinikmati bersama dengan gamer yang lain, baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan. Anda memang bisa membangun party bersama player lain yang sudah Anda kenal sebelumnya dan menempuh beragam misi yang ada, namun yang membuat Destiny menarik, adalah kesempatan untuk bertemu dengan gamer lain yang tengah berada di dunia yang sama. Anda bisa bertempur melawan bentuk ancaman yang sama, tanpa menjadi party, seolah Anda memang tengah terlibat dalam sebuah skema perang besar yang juga dihadapi oleh gamer lain. Anda bisa melihat player-player lain ini bertempur menempuh misi mereka masing-masing, namun sekaligus membantu Anda menghabisi beragam ancaman yang ada.


Bukankah ini mekanisme sama yang ditawarkan MMO? Sebagian besar Anda mungkin akan langsung menyimpulkan hal tersebut. Tetapi pantaskah Destiny disebut sebagai sebuah MMO, tunggu dulu, ada banyak elemen yang justru menjauhkannya dari kesan tersebut. Terlepas dari fakta Anda bisa bertemu dengan orang lain di dalam perjalanan, Destiny tidak menawarkan jumlah player se-masif itu. Anda memang bisa bertemu dengan setidaknya 3-4 player lain dalam satu map, namun hanya itu saja. Anda juga tidak bisa berkomunikasi langsung dengan mereka via voice chat atau message tanpa masuk ke dalam friend list terlebih dahulu. Hal yang sama juga terjadi di Tower, yang menjadi home base aman untuk semua player. Minimnya fitur untuk melakukan interaksi secara langsung, sekaligus beberapa fitur MMO standar yang hilang seperti trading, misalnya, sekaligus jumlah player yang minim, membuat Destiny belum pantas menyandang nama MMO. Ia lebih pantas disebut sebagai sebuah game FPS kooperatif, dan tidak lebih.

Sayangnya, di sisi lain, keputusan untuk menjadikan game ini always-online juga menyisakan masalah tersendiri. Jika Anda memiliki koneksi internet yang tidak stabil, Destiny akan menjadi mimpi buruk yang ingin Anda hindari. Putus koneksi berarti tertendang kembali ke Orbit, dipaksa untuk mengulang misi yang sama terus-menerus hingga Anda benar-benar menyelesaikannya, tanpa kesempatan untuk melakukan skip pada cut-scene. Anda harus memastikan bahwa internet Anda memang mampu menangani game yang satu ini.
Minim Konten dan Sangat Repetitif

Untuk sebuah game yang kabarnya dibangun dengan dana lebih dari setengah milyar USD, Destiny harus diakui menawarkan konten yang terhitung sangat minim, dengan variasi misi yang juga bisa disimpulkan, malas. Anda mungkin mendapatkan kesan bahwa Anda akan berpetualang di luasnya semesta, atau setidaknya menjelajahi galaksi Bima Sakti secara keseluruhan untuk menangkal invasi para Alien dan The Darkness. Namun yang Anda dapati ternyata hanya dua buah planet ekstra di luar bumi – Venus dan Mars, yang terlepas dari desain setting yang luar biasa, ternyata tidak menawarkan sensasi yang berbeda jauh. Sebagian besar misi juga hanya meminta Anda bergerak melewati atau menghadapi kerumunan musuh, lewat boss dengan darah tebal di akhir, dan selesai. Sama sekali tidak ada yang spesial.
Parahnya lagi? Kesan repetitif justru mengalir kentara dari setiap jengkal kaki yang Anda daratkan di mode cerita Destiny, dari satu chapter ke chapter lainnya. Jika bisa disimpulkan semua pengalaman Destiny Anda akan berakhir seperti ini: Bergerak ke titik A – Ghost (robot companion Anda) melakukan scan sesuatu – pintu terbuka – bergerak ke titik B – Ghost melakukan scan lagi – Ghost butuh waktu untuk memecahkan kode, kunci, atau apapun – Anda dipaksa untuk bertarung melawan musuh banyak dalam gelombang hingga yang terakhir – Ghost selesai – Anda tiba di titik B – melawan Boss dengan darah super tebal yang bisa makan waktu puluhan menit – selesai – ulangi lagi di misi selanjutnya. Anda akan seringkali menemukan misi seperti ini hingga cukup untuk membuat Anda muak dengan karakter Ghost-nya sendiri. Sebuah format yang membuat desain misi Destiny terlihat sangat malas. Tidak ada sesuatu yang berbeda, hanya hal inilah yang harus Anda lakukan hingga di akhir cerita.


Mimpi buruk yang sama juga terjadi di Strike Mission – yang menjadi misi kooperatif utama Destiny untuk mendapatkan kesempatan loot yang lebih baik. Hampir semua Strike Mission memberlakukan format gameplay yang sama. Bedanya? Anda biasanya akan bertemu dengan 1-2 mid boss di tengah perjalanan, sebelum bertarung dengan boss besar utama di akhir. Menariknya lagi, Strike Mission sama sekali tidak membutuhkan strategi sama sekali untuk diselesaikan, selain waktu dan ekstra tenaga untuk sabar menjajal misi yang bisa berdurasi 30 menit – 1 jam ini, tergantung level dan jenis equipment yang Anda miliki. Tantangan utama bukan hadir dari varian ancaman yang Anda hadapi, tapi sekedar Boss besar super tanky yang bisa menelan ribuan peluru yang Anda lontarkan tanpa masalah, dan fakta bahwa serangan mereka mampu menawarkan damage besar. Sesederhana itu.

Namun jika ada satu hal yang harus diacungi jempol adalah fakta bahwa Bungie berhasil mendesain setiap ras Alien yang menjadi musuh Anda cukup unik, yang membuat setiap dari mereka butuh strategi tertentu untuk ditundukkan. Sebagai contoh? Cabal yang menghuni Mars dan Vex yang menghuni Venus. Cabal dicitrakan sebagai ras alien dengan kemampuan militer kuat, yang terlihat lewat pasukan berbadan besar dengan kemampuan tanky yang lebih baik. Sementara di sisi lain, Vex, misalnya, mengandalkan kemampuan teleport jarak pendeknya untuk membuat Anda bingung dan kewalahan. Setiap ras menghadirkan varian tantangannya sendiri. Satu yang pasti, apapun ras-nya, selama ia memiliki shield, ia selalu menjadi ancaman terbesar yang harus Anda tundukkan secepat mungkin.