Review Ryse – Son of Rome: Pertempuran Memanjakan Mata!
Gameplay yang Tidak Seberapa Menarik

Crytek adalah visual, asosisasi yang satu ini harus diakui, tidak berlebihan. Bercermin dari apa yang mereka tawarkan di Crysis 2 dan 3, serta beragam pernyataan yang dilontarkan oleh petinggi mereka di beberapa kesempatan yang ada, developer yang satu ini memang selalu menjadikan visual sebagai fokus utama pengembangan. Dan hasilnya, selalu luar biasa. Beberapa game yang mereka racik bahkan menjadi standar visualisasi tersendiri, yang tidak akan mudah ditundukkan oleh game lain dengan engine andalan mereka masing-masing. Namun sayangnya, fokus seperti ini harus dibayar mahal. Game-game racikan Crytek tidak pernah berujung menjadi sebuah produk yang menjunjung inovasi di mekanik gameplay atau sekedar kekuatan cerita yang akan terus membuat Anda terpesona. Hal yang sama juga terjadi di Ryse: Son of Rome.


Jika kita harus membicarakan gameplay, Ryse: Son of Rome jatuh pada game action mainstream yang akan terasa sangat familiar, tanpa inovasi yang signifikan. Marius akan punya tiga serangan utama untuk berhadapan dengan sebagian besar ancaman yang ada. Serangan biasa yang jika ditekan secara beruntun akan menghasilkan combo serangan, serangan perisai untuk menghasilkan efek mini stun atau membuka pertahanan lawan, serta blocking dengan perisai untuk “mematikan” sebaigan besar serangan yang dilancarkan oleh lawan. Usaha Crytek untuk menciptakan sensasi gameplay yang sinematik dan memanjakan mata terlihat jelas di gameplay ini. Untuk setiap musuh yang berhasil Anda tundukkan, Anda akan berkesempatan untuk mengeksekusi QTE singkat yang memperlihatkan aksi brutal Marius dengan gaya membunuh yang super keren. Sayangnya, seiring dengan tingginya frekuensi Anda melakukan gerakan pemungkas ini, semakin rendah pula daya tariknya. Ketika Anda sudah melihat semua gerakan yang mungkin terjadi, animasi QTE ini menjadi sekedar rutinitas. Marius juga memiliki kemampuan khusus untuk melambatkan waktu.


Bagian teraneh? QTE seharusnya menuntut Anda untuk menekan tombol seperti yang diperintahkan di layar secara tepat agar animasi bergerak dan misi Anda tercapai. Namun hal tersebut tidak terjadi di Ryse: Son of Rome. Terlepas apakah Anda menekan tombol yang salah atau bahkan tidak menekan tombol sama sekali, animasi gerak membunuh dari Marius tetap berjalan tanpa ada konsekuensi yang fatal. Semuanya berjalan secara otomatis. Satu-satunya konsekuensi yang dihadapi dari salah menekan tombol atau mengabaikannya begitu saja hanyalah jumlah Valor yang lebih sedikit, daripada jika Anda mengeksekusi semua tombol runtut ini dengan benar. Valor adalah mata uang yang bisa Anda gunakan untuk memperkuat sosok Marius, dari memperluas animasi gerakan eksekusi hingga meningkatkan statusnya secara spesifik. Jumlah Valor ini sendiri tidak terasa terlalu signifikan mempengaruhi progress permainan Anda.


Selain untuk mengumpulkan nilai Valor, Anda juga bisa memilih perk yang bisa didapatkan dari setiap eksekusi yang berhasil Anda lakukan. Anda bisa memilih apakah setiap QTE ini akan berujung pada pemulihan sebagian porsi health, menambah jumlah damage yang dihasilkan selama beberapa detik, meningkatkan jumlah Focus untuk memastikan Anda bisa mengakses serangan spesial lebih sering, atau sekedar meningkatkan jumlah EXP yang dihasilkan dari setiap pertempuran yang ada. Sejauh Anda bisa memastikan setiap musuh dihabisi dengan QTE, hampir tidak ada kesempatan Anda akan hancur berantakan karena game ini. Karena tidak hanya sistem sederhana yang mudah dikuasai, tingkat kesulitan yang harus Anda hadapi juga tidak terlalu tinggi.
Selain para boss yang memang menuntut Anda untuk mempelajari dan mencari celah untuk melawan balik, Ryse: Son of Rome tidak banyak menawarkan tantangan di setiap pertempuran “kecil” yang Anda jalani. Sebagian besar musuh Anda akan terbagi menjadi empat varian yang terlepas dari perbedaan wujud yang diusung, mengusung gaya serangan dan kelemahan yang sama. Ada prajurit biasa dengan satu pedang yang bisa dieksekusi dengan mudah, prajurit bongsor dengan ekstra pelindung yang juga harus di-counter dengan serangan perisai terlebih dahulu, prajurit lincah dengan dua pedang yang mustahil dihadapi dengan serangan biasa secara frontal, dan satu prajurit tinggi yang tidak hanya memiliki darah yang tebal, tetapi juga serangan yang tidak bisa di-block. Anda mungkin akan bertemu dengan beberapa “bentuk” mereka, namun pada dasarnya, semua musuh yang Anda hadapi berkisar dalam format yang sama. Ciri-ciri senjata yang mereka bawa akan mempermudah Anda menentukan strategi seperti apa yang harus diusung.


Crytek sebenarnya juga menyuntikkan mekanisme permainan yang lain di Ryse: Son of Rome selain pertarungan senjata untuk memberikan sedikti variasi. Pertarungan pedang dengan sistem yang sama terus-menerus tentu saja berpotensi meninggalkan rasa bosan. Sekaligus untuk memperkuat kesan sosok Marius sebagai seorang pemimpin, beberapa titik cerita menuntut Anda menjadi komandan legion yang bergerak secara terstruktur ke dalam jantung pertahanan musuh. Bergerak dalam formasi militer lawas dan bersenjatakan tameng, Anda hanya harus memastikan pasukan Anda selamat. Caranya? Hanya tinggal memerintahkan mereka untuk kapan mengangkat tameng, atau kapan menyerang balik dengan melemparkan tombak yang ada. Ada sedikit momen epik di awal, namun tidak lagi banyak menarik di momen setelahnya. Di beberapa titik Anda juga diminta untuk menggunakan panah raksasa – Scorpion untuk menghalau puluhan Barbarian yang menyerang. Sebuah mekanisme mainstream yang juga tidak sebegitu menarik.

Ryse: Son of Rome sebenarnya punya potensi untuk hadir sebagai sebuah game action yang jauh lebih menarik daripada sekedar menjual sisi sinematik dan visual yang memesona. Dasarnya sebenarnya sudah terimplementasikan dengan baik di sana, walaupun pada akhirnya, berujung pada level kedangkalan yang sama. Kami tengah membicarakan soal pilihan. Di beberapa titik permainan, Anda diberi kesempatan untuk memilih satu di antara dua rute yang berbeda, masing-masing menawarkan skenario pertempuran yang berbeda. Namun sayangnya, terlepas dari variasi tantangan yang harus Anda hadapi, tidak banyak konsekuensi yang bisa dihasilkan darinya. Apapun pilihan yang Anda ambil, Anda akan berhadapan di ujung yang sama.
Multiplayer yang Unik

Satu hal yang menarik, tidak hanya sekedar menawarkan kesempatan untuk menjalani hidup seorang Marius, Crytek juga menyuntikkan sebuah mode multiplayer untuk Ryse: Son of Rome. Mengambil fokus kehidupan para Gladiator yang dikala itu menjadi semacam profesi ikonik tersendiri, mode multiplayer yang satu ini terhitung unik. Anda tidak akan berhadapan dengan sebuah game multiplayer yang mampu memuat player dalam jumlah masif dalam mode kompetitif layaknya sebagian besar game yang dirilis saat ini, tetapi justru sebaliknya. Ryse: Son of Rome hadir dengan mode multiplayer kooperatif dan hanya memuat 2 pemain saja.


Pada dasarnya, Anda berperan sebagai seorang gladiator yang dituntut untuk bertahan hidup sembari menundukkan musuh-musuh yang datang secara bergelombang. Hadir dalam arena yang tak ubahnya Colliseum, bersama dengan satu gamer lain sebagai teman, Anda harus bahu-membahu menundukkan misi yang dilemparkan kepada Anda. Terlepas dari beragam mode yang ditawarkan, garis besar misi yang disuntikkan hampir serupa satu sama lain. Mekanik pertempuran dasar yang diusung juga tidak banyak berbeda dengan mode single player yang ada, dengan sistem menyerang, bertahan, dan QTE yang sama. Yang berbeda? Alih-alih menggunakan sistem perk untuk mendapatkan keuntungan tertentu setelah animasi eksekusi, Anda kini harus memilih salah satu Dewa sebagai pelindung Anda sebelum terjun ke arena. Dewa yang Anda pilih akan menentukan perk yang Anda dapatkan. Mendapatkan experience points dan uang, Anda bisa memperkuat karakter Gladiator Anda dengan membeli beragam equipment dan senjata yang disediakan.


Dengan kualitas visual yang serupa dengan misi single playernya, serta desain level yang pantas untuk diacungi jempol, mode multiplayer Ryse: Son of Rome memang cukup mudah dinikmati, apalagi jika Anda yang cukup merasa senang dengan gaya sinematik yang ditawarkan oleh Crytek di dalamnya. Berita buruknya? Tidak mudah untuk menemukan gamer lain untuk menempuh tantangan ini bersama. Walaupun sudah mengusung mode matchmaking otomatisnya sendiri, mencari satu teman ekstra lain untuk bertarung bersama bisa memakan waktu lebih dari setengah jam. Itupun jika teman Anda tidak serta-merta “gila” dan memutuskan untuk keluar di tengah pertempuran. Tidak jelas alasannya. Apakah memang sistem matchmaking yang disuntikkan Crytek sendiri belum sempurna? Ataukah memang sedikit gamer yang tertarik dengan mode multiplayer-nya? Atau memang karena Ryse: Son of Rome itu sendiri sepi peminat?

Sebuah easter egg yang cukup mengejutkan juga disuntikkan Crytek di mode ini. Anda yang sudah bosan berperan sebagai gladiator bisa berperan sebagai karakter ikonik yang gambarnya kami sertakan di atas ini. Tentu saja, Anda tetap harus berperang dengan menggunakan pedang dan perisai, dan bukannya plasma rifle. Sekedar kosmetik, Anda juga tidak akan bisa mengakses kemampuan nanosuit ini sama sekali. Cloak disengaged!