Review The Order 1886: Serba Tanggung!
Batman Begins

Salah satu kritik yang paling kuat mengarah pada The Order 1886 adalah waktu gameplay yang terasa begitu singkat. Untuk sebuah game yang dijual dengan harga USD 60, waktu gameplay 6 jam hingga tamat cerita memang tidak bisa ditoleransi secara logika, apalagi dengan absennya kesempatan untuk memainkan ulang game ini. Tidak ada New Game + , tidak ada mode multiplayer. Alasan Anda untuk menikmati game ini kembali hanyalah jika Anda mengincar Platinum Trophy atau sekedar ingin merasakan tingkat kesulitan yang lebih tinggi, itu saja. Kami sendiri cukup kecewa dengan keputusan Ready at Dawn untuk The Order 1886 ini, yang mungkin terasa tidak sepadan dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan. Namun ada satu hal yang membuat kami tidak secara otomatis membencinya, dan justru mengembangkan ketertarikan tersendiri untuk menantikan gebrakan Ready at Dawn selanjutnya di franchise ini. Cara sederhana mendeskripsikannya? The Order 1886 terasa seperti film Batman Begins dari Nolan.


Anda yang sempat menonton Batman Begins ketika dirilis beberapa tahun yang lalu tentu saja sempat terkejut dengan arah yang berusaha dibawa oleh Christopher Nolan di sana. Setelah Batman & Robin (1997) yang terasa begitu fiktif, Nolan membawa sosok Ksatria Kegelapan ini lewat kacamata yang lebih realistis. Mereka merombak setting, merombak sosok Batman yang lebih manusiawi, dan membangun pondasi untuk dunia Batman yang belum pernah Anda nikmati sebelumnya. Hasilnya? Luar biasa. Kritik pedas di seri awal, namun Nolan berhasil membuktikan visinya di dua seri – The Dark Knight dan The Dark Knight Rises. Ada kesan serupa di The Order 1886. Bahwa semua jalinan cerita, misteri, hingga mekanik gameplay yang dibangun di seri yang satu ini hanyalah awal, hanyalah sebuah pondasi untuk sesuatu yang luar biasa di masa depan. Seolah ada kesan yang kuat bahwa The Order akan tampil fantastis di seri sekuel selanjutnya.


Dalam waktu 6 jam permainan ini, The Order 1886 justru menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Namun di sisi lain, ada perasaan kuat bahwa semua hal yang misterius tersebut akan divisualisasikan dan diwujudkan ke dalam pusaran cerita yang lebih kuat, lebih masif, lebih epik di seri sekuel nantinya. Mengapa demikian? Ada banyak indikator yang mengarah ke sana. Di The Order 1886, Anda secara gamblang bisa melihat rivalitas klasik antara Tesla (yang notabene mendukung The Order) dan Thomas Alva Edison. Menariknya? Mereka belum memperlihatkan Edison sama sekali, tanpa peran jelas. Mereka juga memperlihatkan Vampire sebagai ras Half-Breed di luar Lycans, namun Anda sama sekali tidak melawan mereka. Sejak awal cerita pula Anda selalu disuguhkan bagaimana Half-Breed kini mati-matian berusaha pindah ke Amerika Serikat sebagai dunia baru dan membangun kekuatan lagi di sana. Bahkan salah satu musuh utama Anda masih terus hidup di sini. The Order 1886 adalah sebuah pondasi.

Jika mencari perbandingan di industri game, kami sendiri memperlakukan The Order 1886 tidak berbeda dengan seri pertama Assassin’s Creed. Pondasinya ada, mereka tahu keunikan gameplay seperti apa yang hendak diusung, mereka punya basis cerita yang lebih luas untuk dieksploitasi dan potensial untuk tampil epik, mereka tahu apa yang membuat mereka berbeda dengan game sejenis di pasaran. Jika kita butuh momen untuk menilai apakah franchise ini akan berakhir menjadi kegagalan atau kesuksesan di masa depan? Maka seperti halnya Batman Begins dan Assassin’s Creed, keputusan tersebut harus diambil ketika sang sekuel nantinya, dirilis. Namun apakah sebuah “pondasi” ini menarik uang banyak dari dompet Anda? Itulah yang jadi tanda tanya besar.
Kesimpulan

The Order 1886 menawarkan sebuah pengalaman sinematik, yang seringkali dilihat gamer, sebagai alasan “bodoh” untuk menyembunyikan kelemahan hardware yang tidak mampu mencapai framerate atau resolusi gameplay maksimal. Terlepas dari motif utama yang ada, Ready at Dawn berhasil membuktikan bahwa konsep seperti ini ternyata bisa berhasil untuk diwujudkan, dan The Order 1886 adalah pondasi tersebut. Secara visual, ia pantas disejajarkan sebagai salah satu produk terbaik di platform generasi terbaru, menggabungkan efek grain dan motion blur yang ternyata cukup efektif. Dari sisi action, sensasi gameplay third person shooternya juga luar biasa, dengan handling senjata dan efek yang pantas untuk diacungi jempol. Atmosfer yang mendukung, voice acts yang hidup, dan cerita yang cukup memancing rasa penasaran, dari sisi kosmetik, The Order 1886 menawarkan pengalaman gaming yang mungkin belum pernah Anda cicipi sebelumnya.
Namun sayangnya, game ini membawa beberapa permasalahan yang seolah menjadi bayangan besar yang menutupi semua keunggulannya. Sistem QTE yang tidak punya pengaruh besar, pertarungan melawan Lycan yang mekaniknya diulang di awal dan akhir permainan, third person shooter yang terasa tanggung, hingga cerita yang lebih banyak meninggalkan misteri daripada konklusi jadi catatan tersendiri. Namun masalah terbesarnya tentu saja mengakar pada tingkat harga yang ditawarkan ternyata tidak sebanding dengan konten yang Anda dapatkan. Untuk sebuah game yang dijual di kisaran harga USD 60 atau sekitar Rp 600.000,- di Indonesia, Anda hanya akan mendapatkan sebuah game berdurasi 6 jam di tingkat kesulitan Normal, tanpa replayability sama sekali.
Lantas, apakah The Order 1886 pantas untuk dijajal? Kami sendiri secara terbuka menjawab iya. Mengapa? Karena ia menawarkan sebuah pondasi yang potensial untuk tampil luar biasa di masa depan, sekaligus membuktikan bahwa game yang menjual “Cinematic Experience” itu memang mungkin, terlepas apakah Anda suka atau tidak. Kualitas visualisasi yang pantas untuk disebut sebagai yang terbaik di kelasnya juga tidak ragu kami berikan. Namun pantaskah Anda membayar harga penuh untuknya? Sayangnya tidak. Kami menyarankan Anda untuk membeli game 2nd atau menunggu tingkat harga lebih murah untuk menikmati The Order 1886 ini, setidaknya, untuk memberikan justifikasi lebih kuat perihal minimnya konten yang Anda dapatkan.
Kelebihan

- Kualitas visual memesona
- Cerita yang cukup mengundang rasa penasaran
- Voice acts yang kuat
- Pengalaman sinematik
- Atmosfer Victorian Steampunk yang luar biasa
- Detail karakter dan senjata yang keren
- Gun-handling yang nyaman
Kekurangan

- QTE yang tidak esensial
- Gameplay terasa repetitif dan linear
- Minim replayability
- Harga terasa mahal dibanding konten yang Anda dapatkan
- Chapter yang hanya berisikan cut-scene
- Desain cerita yang dari awal terlihat memang ditujukan untuk lebih banyak sekuel
Cocok untuk gamer: penggemar tema Steampunk, yang menikmati pendekatan sinematik
Tidak cocok untuk gamer: yang mengharapkan sekuens pertempuran epik ala Gears of War, yang membutuhkan waktu dengan durasi panjang.