Review Call of Duty – Infinite Warfare: Tak Terasa Istimewa!
Melegakan

Ada satu tren dalam hal penceritaan di beragam media kreatif yang dipandang oleh beberapa pihak sebagai sesuatu yang positif, sementara yang lain negatif karenanya. Bahwa cerita sebuah film atau video game seringkali diposisikan untuk satu hal – menjadi pondasi untuk lebih banyak sekuel yang dirilis di masa depan. Jika ia berhasil dilakukan dengan optimal dengan konklusi cerita yang jelas di setiap serinya, maka semakin kecil pula kemungkinan Anda bertemu dengan metode cerita yang terasa setengah hati, buruk, dan tak menarik sama sekali. Namun jika dieksekusi begitu jelas untuk sebuah seri sekuel? Ada sensasi bahwa Anda baru berhadapan dengan episode pertama sebuah film seri yang tiba-tiba berhenti tayang untuk setidaknya dua atau tiga tahun ke depan. Salah satu contoh untuk kasus kedua ini tentu saja, adalah The Order 1886.
Maka seperti cerita seri-seri Call of Duty sebelumnya, Infinite Warfare juga menawarkan jalinan plot yang pantas untuk diacungi jempol. Totalitas untuk masuk ke dalam ranah sci-fi tanpa peduli lagi soal apakah ia masuk akal atau tidak adalah pendekatan yang memungkinkan mereka menciptakan beragam skenario yang sebelumnya, seperti terpasung atas nama kemungkinan di sisi realitas. Perang antara bumi dan koloni memang bukan tema baru di industri kreatif, namun tetap jadi sesuatu yang menarik untuk melihat seperti apa hasilnya jika otak Call of Duty dipercaya untuk menangani tema yang sudah muncul di begitu banyak film seri atau animasi ini. Hasilnya sendiri di mata kami, cukup luar biasa. Tak lagi berpijak pada perang dunia nyata memang membuatnya tak mudah untuk membangun ikatan emosional, namun Infinite Warfare memproyeksikan konsekuensi perang dengan lebih optimal. Bahwa terkadang di balik perjuangan untuk kepentingan yang lebih besar, ada sebuah harga pantas yang dibayar.


Dan pendekatan seperti ini, berakhir melegakan. Bahwa ada sebuah sinyal yang kuat bahwa Infinity Ward tak meracik cerita di Infinite Warfare atas nama pondasi untuk sebuah seri sekuel yang bisa mereka eksploitasi lagi di masa depan. Bahwa seperti seharusnya sebuah cerita, aksi dan konsekuensi (yang walaupun tak bisa Anda pilih) adalah sesuatu yang bergerak seperti lem yang menggabungkan semua elemen yang ada. Hasilnya? Mereka berani masuk ke dalam jalur yang cukup ekstrim jika dibandingkan dengan game-game Call of Duty yang selama ini Anda kenal. Kematian dan pengorbanan dimana-mana dan sejauh ini, cukup efektif untuk membuat Infinite Warfare terasa seperti sebuah seri yang punya tema lebih “berat”. Ada usaha untuk membuat sisi emosional Anda tergugah dari pendekatan seperti ini.

Di tengah tren dimana plot sebuah video game ataupun film dibangun untuk sebuah seri sekuel di masa depan, pendekatan Infinity Ward untuk Infinite Warfare terasa seperti sesuatu yang melegakan. Sisanya? Anda akan bertemu dengan gaya cerita ala Call of Duty. Linear dengan beberapa scene dramatisasi yang cukup untuk menundukkan film Hollywood sekalipun tetap ada, namun kini dihiasi dengan setting luar angkasa yang misterius tetapi juga memanjakan mata di saat yang sama.
Perang Luar Angkasa!

Jika ada satu hal yang muncul di benak kami ketika mencicipi mode single player Call of Duty: Infinite Warfare, adalah betapa bodohnya pendekatan yang dipilih Activision dan Infinity Ward untuk memperkenalkan seri ini untuk pertama kalinya kepada dunia beberapa bulan yang lalu. Bahwa tak seperti DICE dan Battlefield 1 yang langsung melebur beragam momen seru dan menegangkan perang dunia I dengan musik yang super keren, mereka memutuskan untuk menyuntikkan sesi gameplay pendek yang memperlihatkan aksi Reyes dkk di bumi ketika baru pertama kali hendak terbang ke luar angkasa. Padahal, ada begitu banyak momen menggoda dan lebih mendefinisikan pengalaman single player Infinite Warfare daripada itu.
Karena pada akhirnya, Infinite Warfare masih menyimpan daya tarik single player yang selama ini selalu melekat kuat pada Call of Duty sebagai sebuah franchise. Ada banyak momen epik yang sebenarnya bisa membuat gamer jatuh hati, dari ketika pertama kali mereka menginvasi markas di bulan hingga pertempuran di Merkurius yang begitu dekat dengan matahari yang terlihat seperti bola api raksasa yang menyala garang di gelapnya angkasa. Desain setting bisa dibilang menjadi salah satu kekuatan Infinite Warfare, dan kami sendiri pun cukup bingung mengapa Activison dan Infinity Ward tak lebih “menjual” konsep ini lebih jauh.


Namun dari sisi gameplaynya sendiri, Infinite Warfare secara sederhana bisa disebut merupakan peleburan dari beragam aspek gameplay yang sudah sempat ditawarkan Activision di beberapa seri COD bertema futuristik sebelumnya, termasuk pula konsep senjata di dalamnya. Anda masih bertemu dengan game FPS yang meminta untuk menghabisi semua musuh di dalam satu area sebelum bergerak ke area selanjutnya. Anda juga akan bertemu dengan perang tanpa gravitasi yang sudah ada di seri Ghosts, sedikit sesi gameplay dengan Grappling Hook ala Advanced Warfare, dan tentu saja – ragam senjata futuristik ala Black Ops 3. Kombinasi kesemuanya memang membuat Infinite Warfare terasa sangat familiar. Yang membedakannya? Anda kini diberikan opsi untuk membangun dan memodifikasi Loadout yang ada sebelum menempuh misi tertentu.
Walaupun demikian, bukan berarti game ini tak hadir tanpa sesuatu yang baru. Salah satu yang menarik adalah jembatan antara cerita dan gameplay yang pantas untuk diacungi jempol. Bahwa status Reyes sebagai Kapten tak hanya sekedar di cerita saja, tetapi juga mempengaruhi aspek gameplay yang ada. Alih-alih bergerak dalam satu cerita yang sudah ditentukan sebelumnya, Anda kini punya opsi untuk menempuh beragam misi sampingan yang akan ditawarkan dalam bentuk satu peta tata surya di ruang kendali Retribution itu sendiri. Misi sampingan ini biasanya berakhir dengan meminta untuk menghancurkan kapal perang milik SDF dan membunuh beberapa orang penting dari sana. Kerennya lagi? Ia juga diperkuat dengan cerita solid dan gameplay yang cukup berbeda satu sama lain. Ada satu misi yang meminta Anda untuk menghancurkan kapal tersebut dari luar, sementara ada pula yang berfokus pada gameplay stealth dimana Anda berakhir harus menyamar.


Pendekatan bahwa Anda bisa memilih misi sampingan memang jadi sesuatu yang baru. Namun signifikan? Sepertinya tidak. Sekedar perubahan format dari sebuah garis cerita yang linear ke dalam format yang memungkinkan Anda punya sedikit opsi, tak lebih. Mengapa? Karena sepertinya sudah akan jadi insting gamer untuk menempuh dan menyelesaikan semua misi sampingan seperti ini terlebih dahulu sebelum bergerak ke cerita utama. Yang dilakukan Infinity Ward ini hanyalah memberikan Anda kesempatan untuk menentukan misi mana yang mau Anda selesaikan lebih dahulu alih-alih memberikan ruang kepada Anda untuk benar-benar mengabaikannya dan hanya berfokus di cerita utama yang seharusnya bisa diselesaikan jauh lebih cepat tanpa misi-misi sampingan ini. Berita baiknya? Ada penghargaan yang pantas untuk setiap misi ini. Selain upgrade senjata dan perk, Anda juga bisa memperkuat pesawat tempur Anda – Jackal.


Dan ini jugalah yang jadi salah satu pendekatan gameplay unik dari Infinite Warfare – Jackal. Bahwa sesi pertempuran tak lagi akan Anda lewati sebagai prajurit saja, tetapi juga pilot pesawat luar angkasa yang bertemu di ruang vakum udara. Namun tak seperti seri-seri COD sebelumnya ketika desain gameplay seperti ini berakhir menjadi rail-shooter dimana Anda hanya mengendalikan posisi senjata dan menembak saja, Anda punya kendali penuh terhadap Jackal ini. Acungan dua jempol bagi Infinity Ward untuk membuat mekanisme kontrolnya terasa cukup nyaman untuk dikuasai, dengan sensasi arcade yang lebih kental. Jackal sendiri adalah pesawat dengan manuver yang luar biasa, dimana ia bisa bergerak cepat ke depan ataupun mundur sekalipun jika dibutuhkan, dengan sistem kunci serangan yang juga tak terlalu sulit. Infinity Ward berhasil membuat sensasi mengendalikan Jackal ini tak banyak berbeda ketika Anda mengendalikan karakter utama Anda sebagai manusia, namun dengan ekstra berat, jet pendorong, dan beragam senjata berat yang mampu menundukkan kapal luar angkasa yang ukurannya jauh lebih besar.
Namun sayangnya, ada sedikit kekecewaan ketika melihat opsi kustomisasi yang ia tawarkan. Sejak trailer pengenalannya, Infinity Ward selalu sesumbar soal bagaimana fitur kustomisasi seperti ini akan jadi bagian yang paling menarik dari Infinite Warfare. Untuk karakter Anda sebagai Reyes, alasan tersebut bisa diterima. Semakin banyak misi sampingan yang Anda selesaikan, semakin banyak senjata, perk, dan bagian senjata yang bisa Anda gunakan. Sayangnya, tidak demikan dengan Jackal itu sendiri. Selain kustomisasi kosmetik yang berisikan sekedar art untuk ditempel di bagian bawah pesawat, Jackal hanya punya tiga opsi kustomisasi untuk setiap kategori – senjata utama, senjata kedua, dan perk. Sementara untuk Retribution yang jadi “rumah” Anda di Infinite Warfare, kehidupan kru yang ada juga terlihat statis. Akan jauh lebih menarik jika ada kesempatan untuk memodifikasi Retribution dan melihat bagaimana aspek kehidupan kru yang ada terpengaruh olehnya, alih-alih sekedar modifikasi kecil untuk Jackal.


Dari sisi single player, Activision dan Infinity Ward memang terlihat jelas ingin menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda dengan Infinite Warfare namun tetap mempertahankan sensasi familiar di saat yang sama. Kehadiran sesi perang luar angkas dengan Jackal tak hanya berhasil menawarkan skenario pertempuran yang epik tetapi juga menjadi sebuah pengalih perhatian sementara dari cita rasa FPS yang bisa berakhir monoton tanpa konten alternatif apapun. Diperkuat dengan berat cerita dan dramatisasi yang ada, ini tetaplah sebuah mode campaign yang cukup untuk membuat adrenalin Anda terpompa. Namun cukup signifikan untuk membuatnya terasa istimewa? Sayangnya, tidak.