Review Get Even: Cita Rasa Misteri ala Biskuit Wafer!
Presentasi yang Hambar

Di tengah terjangan game-game rilis generasi terbaru yang hadir dengan kualitas visualisasi yang mumpuni, presentasi mungkin jadi salah satu kelemahan yang cukup besar di Get Even. Walaupun Bandai Namco ikut campur tangan sebagai publisher, namun sulit rasanya untuk mengesampingkan fakta bahwa presentasi yang ia tawarkan memang terlihat seperti sesuatu yang lahir dari developer indie. Tidak istimewa, namun tidak hingga batas pantas untuk dikritisi. Get Even sendiri memilih Unreal Engine 3 sebagai basis, namun berujung gagal menghadirkan kualitas visualisasi seperti developer lain yang mampu mengoptimalkan engine generasi sebelumnya ini dengan sangat baik. Beberapa scene memang cukup terlihat foto realistis, namun tak jarang, Anda menemukan lokasi dengan detail seperti game beberapa tahun sebelumnya.


Berita buruknya? Detail teknis yang tak istimewa hanyalah masalah di permukaan untuk presentasi dan desain game secara keseluruhan yang memang tidak memanjakan mata. Memang Anda akan mulai merasa bahwa pendekatan seperti ini memang mengikuti tema besar Get Even itu sendiri, namun sulit untuk menikmati sebuah game yang secara visual, memang hambar. Hampir sebagian besar wilayah yang Anda kunjungi terasa begitu gelap, suram, dengan warna dominan yang tak akan membuat Anda tercerahkan. Anda akan berhadapan dengan dinding rusak yang kusam, gedung tua dengan pepohonan yang tak teratur, rongsokan di beragam sudut, bahkan wilayah hutan dengan pohon-pohon yang tak terlihat hijau cerah. Get Even seolah mendasarkan pengalamannya pada satu kata – depresi.


Anda mungkin bisa berargumen bahwa pendekatan artistik seperti ini memang untuk memperkuat atmsofer dari tema utama Get Even itu sendiri. Namun di mata kami, kondisi seperti ini bisa membuat banyak gamer angkat tangan sejak awal mencicipinya. Apalagi kesan “indie” ini juga menyeruak lewat desain animasi gerak yang juga tak bisa dibilang halus. Gerak terasa kaku dengan sempat beberapa kali kasus kami terjebak bergerak di sudut tanpa alasan yang jelas tentu saja pantas untuk dipertanyakan. Mengingat ini juga game dari perspektif orang pertama, beberapa kondisi juga membuat kami merasa bahwa FOV kamera berada di posisi yang terlalu dekat. Apalagi ketika Anda harus melakukan melakukan observasi untuk sebuah objek dekat atau berlari. Tanpa bermaksud berlebihan, namun aksi Cole di “klinik” milik Red yang sempit dan penuh koridor berliku sempat membuat kami merasa mual.
Dari sisi presentasi, Get Even memang bukan sebuah game yang bisa diacungi jempol. Anda masih bisa merasakan “kasar”nya beberapa detail yang ada jika dibandingkan dengan game-game rilis terbaru. Berita baiknya? Bukan elemen seperti inilah yang akan membuat Anda bertahan untuk mencicipinya.
Walking-Action-Thriller-Simulator

Sulit memang untuk menjelaskan sebenarnya seperti apa gameplay yang Anda dapatkan dari Get Even. Secara sederhana, Anda bisa melihatnya sebagai kombinasi dari beragam genre di dalam satu ruang yang sama, dengan masing-masing mempertahankan elemen yang membuat genre tersebut “bersinar”. Semuanya dibagi ke dalam proporsi gameplay tersendiri dan menjadi fokus dari segmen yang ada. Namun jika harus membaginya ke dalam proporsi tertentu dan menentukan mana yang lebih dominan, maka sepertinya “Waking Simulator” akan menjadi porsi terbesar dari Get Even itu sendiri.
Gameplay Get Even sepertinya bisa dibagikan ke dalam tiga kategori besar. Ketika Black memasuki memorinya untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Grace, Anda akan mendapatkan konten aksi yang lebih dominan. Di sesi ini, biasanya Anda akan dibekali dengan dua jenis senjata api dan beragam musuh yang menjaga satu area yang ada. Black sendiri dibekali dengan sebuah teknologi bernama CornerGun yang memungkinkan senapan apinya untuk dibengkokkan, sehingga memungkinkannya untuk menembak dan membunuh musuh yang tengah berpatroli lewat sudut-sudut sulit. Yang menarik? Anda tidak harus menghabisi setiap dari mereka. Anda selalu punya opsi untuk menundukkan mereka secara stealth, atau bahkan melenggang begitu saja tanpa menyentuh mereka sama sekali. Untuk opsi terakhir ini, ada “keuntungan” yang akan Anda dapatkan. Sayangnya, kami tak bisa berbicara banyak tanpa menjadikannya sebagai spoiler yang cukup signifikan.


Sementara sensasi thriller yang kuat akan mengalir di kondisi “sekarang”, dimana Black tengah dikurung Red di sebuah fasilitas mental dengan Pandora yang terus ia kenakan. Berhadapan dengan sebuah bangunan tua yang sudah hancur berantakan, fasilitas untuk sakit mental ini juga dipenuhi oleh pasien-pasien lain yang kesemuanya juga “hidup” di dalam simulasi Pandora mereka masing-masing. Walaupun tak dihiasi jump-scare murahan untuk membuat Anda takut, tempat ini cukup untuk membuat bulu kuduk Anda merinding. Apalagi rasa bersalah yang menghinggapi Black secara konsisten terus membuatnya melihat Grace di beberapa kesempatan. Pelan tapi pasti, Anda pun akan menemukan bahwa tempat ini ternyata tak seperti yang Anda bayangkan.
Selama berada di fasilitas ini, berbeda dengan sesi memori Black, Anda memang akan lebih banyak berjalan dan mencari jalan, porsi gameplay “Walking Simulator” yang sempat kami bicarakan sebelumnya. Walaupun sesekali harus bertarung melawan pasien lain yang tak lagi waras, sesi yang cukup menyeramkan ini memang lebih difokuskan untuk mencari informasi soal apa yang sebenarnya terjadi. Lewat beragam objek yang bisa Anda teliti, dari laporan penelitian, foto, hingga sekedar kertas koran, Anda akan dituntut untuk menghubungkan benang merah antar objek yang ada dan tentu saja, berusaha memahami apa yang akan terjadi. Namun tenang saja, cerita tetap mengalir secara eksplisit, walaupun harus diakui, memang didesain dengan cukup banyak pertanyaan yang baru akan Anda dapatkan hampir di akhir permainan.


Satu yang menarik, walaupun lebih banyak dihabiskan berjalan dan mencari clue, sesi ini juga dipenuhi dengan banyak puzzle sederhana yang beberapa di antaranya, memang cukup untuk membuat kami kagum. Walaupun tak sedikit puzzle “malas” yang meminta Anda untuk menyusuri kabel dan mencari sumber listrik, misalnya, beberapa puzzle yang lain memang membutuhkan kemampuan deduksi sederhana dari Anda. Seperti mencari makna tersembunyi dari gambar atau angka yang berujung jadi sebuah password untuk pintu ke area selanjutnya. Lagipula, Anda juga akan punya bantuan perangkat mobile pintar milik Black yang serba guna.


Sesi ini memang minim penggunaan senjata, namun Anda tetap akan sibuk untuk memanfaatkan peringkat pintar ponsel Anda. Tak seperti ponsel pada umumnya yang hanya bisa digunakan untuk mengambil foto atau video saja, ponsel milik Black ini memiliki fungsi hampir lengkap untuk membantu perjalanannya. Ia bisa memuat peta dengan posisi gerak Anda yang diwakili secara real-time, ada fungsi sinar ultraviolet untuk melihat beragam jejak tak kasat mata, thermal untuk melihat gelap dan panas, hingga sekedar scanner yang bisa memberikan ekstra informasi soal orang atau objek kepada Anda jika diarahkan dengan tepat. Menggunakan mode ponsel yang tepat akan membantu Anda menemukan jalan dengan lebih mudah atau bahkan, menarik alternatif solusi darinya.
Seiring dengan progress permainan dan semakin jauh Anda mengenal siapa itu Black, maka Anda juga akan mendapatkan mekanik gameplay yang juga berbeda. Sayangnya, atas nama untuk memastikan Anda tak mendapatkan spoiler yang signifikan, kami tak bisa berbicara banyak soalnya. Hanya saja, Anda masih akan bertemu dengan sesuatu yang “menyegarkan” mendekati akhir permainan.










