Review Stifled: Horror Kreatif!
Keunikan Lewat Suara

Sekilas Stifled memang terlihat seperti game horror pada umumnya yang tidak memungkinkan Anda untuk melawan sama sekali. Bahwa sama seperti formula yang ditawarkan oleh produk lebih populer seperti Outlast ataupun Amnesia, dasar pengalaman mencekam yang ia usung didasarkan pada fakta bahwa Anda di sini hanya bisa berlari dan bersembunyi tanpa ada kesempatan untuk menghancurkan sumber ancaman yang ada. Kekhawatiran bahwa nyawa Anda bisa berakhir karena satu atau dua keteledoran kecil, terutama karena Anda berujung tidak waspada pada posisi sumber ancaman misalnya, juga memainkan peran penting di sini. Lantas, apa yang membuat Stifled istimewa? Apa yang membuatnya kami menyebutnya sebagai game horror kreatif?
Sebagian besar pengalaman Anda bermain Stifled akan diisi dengan dua aktivitas: bergerak dari satu titik ke titik lainnya untuk melanjutkan cerita, dan tentu saja, menyelesaikan ragam puzzle yang ada. Sebuah formula yang sepertinya sudah sering Anda temukan di begitu banyak produk video game horror selama ini. Namun Stifled hadir dengan satu pendekatan unik baru yang menjadikannya berbeda – yakni elemen suara. Berbeda dengan kebanyakan game horror yang menjadikan suara ini tidak lebih dari sekedar clue atau elemen untuk membangun atmosfer mencekam yang dibutuhkan, Stifled menjadikannya sebagai bagian dari gameplay.


Dibagi ke dalam dua skema dunia besar: dunia realistis yang biasanya difokuskan untuk memberikan penjelasan pada sisi cerita dan sebuah dunia hitam-putih berbasis poligon yang digunakan sebagai “ruang horror” yang harus dilewati, Stifled menjadikan “echolocation” sebagai mekanik permainan utama untuk dunia yang kedua ini. Bahwa satu-satunya cara untuk memberikan gambaran soal dunia seperti apa yang Anda hadapi adalah dengan bersuara. Seperti sebuah sonar kapal selam, gelombang suara yang Anda hasilkan akan otomatis terpantulkan pada ragam objek yang ada untuk memperlihatkan rupanya. Seperti kemampuan superhero milik Daredevil misalnya, namun dalam skala yang lebih tidak intens. Stifled menawarkan satu tombol ekstra untuk mengakses fungsi ini, namun untuk pengalaman lebih imersif, Anda tentu harus menikmatinya menggunakan microphone.
Benar sekali, fungsi echolocation ala sonar ini bisa Anda akses dengan menggunakan mic yang ada, untuk menghasilkan pengalaman horror yang lebih imersif. Kerennya lagi? Game ini juga menawarkan proses kalibrasi mic di awal untuk menentukan tiga tingkat suara: diam, lemah, dan kuat. Kalibrasi pertama tentu saja untuk memastikan bahwa suara latar belakang tidak berujung sebagai sonar di dalam game. Suara lemah didesain untuk menangkap suara bisik yang bisa Anda akses untuk menciptakan sonar dalam lingkup lebih kecil, sementara suara keras, seperti yang bisa diprediksi akan menciptakan lingkup sonar lebih besar. Benar sekali, skala besar atau kecilnya sonar Anda akan bisa ditentukan oleh seberapa keras Anda bersuara. Anda akan memanfaatkan setiap tingkat suara ini untuk permainan yang ada.


Mengapa suara ini harus dibagi ke tiga tingkat yang berbeda? Karena musuh yang akan memburu Anda juga menjadikan suara sebagai basis bereaksi. Setiap dari mereka didesain sebagai makhluk pemburu yang tidak bisa melihat Anda, tetapi bisa menangkap posisi Anda berdasarkan suara yang Anda hasilkan. Jika Anda berteriak terlalu keras misalnya dan sonar tersebut sampai ke telinga mereka, maka mereka akan langsung mengejar dan berusaha memburu Anda. Jika dalam proses berjalan di dalam game, Anda tidak sengaja menimbulkan riak air yang tentu juga menghasilkan suara, mereka akan mengejar Anda juga. Dengan dunia gelap yang baru akan terlihat jika Anda bersuara, memanfaatkan level suara ini tentu memainkan peran yang penting. Anda tentu tidak ingin berteriak kencang seperti orang tolol ketika monster-monster ini berada di dekat Anda. Berita baiknya? Tingkat kesulitan game ini tidak terlalu brutal, mengingat Anda biasanya diberi kesempatan kedua untuk lari dari cengkeraman musuh alih-alih langsung berhadapan dengan layar Game Over.
Salah satu yang menarik juga muncul dari desain varian musuh yang berbeda-beda setiap kali Anda kembali masuk ke dunia poligon yang gelap ini. Di awal, musuh hanya sekedar berjalan dan bergerak mengikuti suara yang ada, termasuk yang muncul dari mic Anda. Namun begitu progress cerita bergerak, Anda akan bertemu dengan varian musuh yang berbeda-beda. Ada “monster” yang tidak kasat mata dan tidak terlihat eksis hingga pada titik Anda tidak sengaja bersuara, dan mereka akan otomatis muncul dan mengejar Anda. Ada monster pula yang hidup di air dan bereaksi pada riak air yang tidak sengaja Anda ciptakan ketika bergerak. Untungnya selain bersuara dan berlari, sang karakter utama juga punya kemampuan untuk mengambil objek dan melemparkannya ke beragam arah sebagai pengalih perhatian.


Konsep gameplay menggunakan mic ini memang menjadi konsep kreatif yang tidak pernah kami tahu, bisa dieksekusi manis di dalam sebuah game horror. Jadi sebuah keunikan tersendiri ketika selama permainan Anda terus berjuang untuk berteriak dan berbicara sendiri demi menciptakan sonar yang jauh, namun terkadang, berbisik dengan konten tidak jelas untuk meracik sonar yang lebih kecil agar tidak terdeteksi monster yang kian bergerak mendekat. Clue visual dan warna merah yang jelas memperlihatkan posisi musuh juga akan sangat membantu. Satu hal yang juga menurut kami pantas untuk diacungi jempol juga mengarah pada kemampuan Stifled untuk membangun suasana mencekam tidak lewat jump-scare murahan, tetapi lebih lewat representasi suara yang dihasilkan dari ragam sudut yang ada. Teriakan, erangan monster, hingga sekedar bisikan cukup untuk membuat nyali Anda menciut ditawarkan di sini.
Lebih Baik dengan Playstation VR

Stifled juga menawarkan kesempatan untuk menikmati tingkat imersif tersebut ke level yang berbeda dengan mode VR yang juga mereka sertakan di sini. Kami sendiri menikmatinya dengan menggunakan Playstation VR yang juga memiliki sebuah mic kecil di perangkat yang ada, membuat kombinasi menikmatinya dalam format VR + mic untuk sonar menjadi pengalaman definitif Stifled itu sendiri.
Dari sisi visual atau gameplay, tidak banyak yang berbeda. Anda masih “terkunci” pada level interaktivitas yang minim dengan ragam objek yang ditawarkan di sini. Namun setidaknya, PSVR memungkinkan Anda untuk menggerakkan kepala Anda untuk mengakses informasi yang tidak bisa Anda lakukan dengan format konvensional pada umumnya, seperti melihat ke beragam sudut untuk memerhatikan sumber ancaman misalnya. Berita baiknya? Ia hadir dengan sistem perputaran kamera berbasis sudut yang setidaknya untuk kami adalah format terbaik untuk mencegah rasa pusing. Strategi sama seperti yang ditawarkan oleh Resident Evil 7.


Dengan mic kecil yang cukup sensitif untuk menangkap suara Anda, lemah ataupun keras, menikmati Stifled dengan Playstation VR menghasilkan sensasi yang lebih natural, seperti Anda memang tengah terperangkap di dalam dunia poligon yang misterius. Namun sayangnya, presentasi bagian dunia nyata-nya sendiri tidak sesolid yang dibayangkan. Beberapa area terasa terlalu penuh kabut dengan detail tekstur dan warna yang tidak menarik, membuatnya sulit untuk dinikmati di Playstation VR itu sendiri. Agak mengecewakan memang jika harus melihat bahwa sesi yang paling tidak menarik VR, justru datang dari bagian yang harusnya esensial untuk sisi cerita itu sendiri.










