Review Shadow of the Tomb Raider: Justru Terasa Anti-Klimaks!
Kurang Segar
Tetapi di satu sisi yang lain, harus diakui, bahwa ada sensasi yang terasa “salah” dengan apa yang dilakukan Eidos Montreal di Shadow of the Tomb Raider itu sendiri. Dan untuk urusan yang satu ini, kita berbicara soal banyak hal, dari sekedar cerita hingga permasalahan teknis yang ada. Shadow of the Tomb Raider terasa seperti game yang kurang segar, kurang bersih, dan sepertinya tidak melewati proses pengujian kualitas yang mungkin, sepadan dengan seri-seri sebelumnya. Apa yang terjadi?
Ada banyak hal yang perlu kami bicarakan soal sensasi kurang segar yang satu ini. Hal pertama? Cerita. Shadow of the Tomb Raider memang diposisikan sebagai kisah akhir dari trilogi transisi Lara Croft menjadi sosok Tomb Raider yang selama ini kita kenal, alias Lara Croft lawas yang sudah menjadi karakter ikonik industri game itu sendiri. Namun cara mereka membawanya ke arah sana juga melahirkan sosok karakter protagonis yang sama sekali tidak simpatik, lebih buruk daripada dua seri Tomb Raider sebelumnya. Lara memang sudah lebih matang, namun di Shadow of the Tomb Raider, ia diproyeksikan sebagai sosok yang terasa egois dan tak punya nilai moral yang Anda harapkan dari seorang karakter protagonis. Ia menjadi alasan di balik sebuah sekuens kiamat berupa bencana alam yang sempat terjadi setidaknya dua kali selama permainan, dengan korban jiwa puluhan mungkin ratusan jiwa terbuang karena ia gegabah. Namun tidak memperlihatkan penyesalan atau rasa sedih yang seharusnya, Lara “bergerak maju” untuk terus memburu Trinity seolah ia tidak merasa bersalah ataupun bertanggung jawab atas kematian tersebut. Tidak ada momen yang membuat perjalanannya untuk mengejar dan memburu Trinity, terasa terjustifikasi dengan hilangnya ratusan nyawa yang ada. Dengan kondisi seperti ini, sulit untuk merasa simpatik pada Lara Croft di seri ini.
Di luar pendekatan gameplay yang memang tidak banyak berubah, Shadow of the Tomb Raider juga memuat beberapa masalah besar. Pertama? Serangan melee yang bahkan terasa lebih buruk dibandingkan dengan dua seri sebelumnya. Ketika Anda berada dalam kondisi terdesak dan berusaha menyerang musuh dengan kapak Anda, yang Anda dapatkan justru animasi membingungkan dengan sensasi seolah serangan Anda tidak masuk. Tiba-tiba di tengah kekacauan tersebut, Anda harus melihat tombol eksekusi dan mengetahui, bahwa memang serangan Anda masuk. Kedua? Hampir sebagian besar pasukan yang Anda temui, hadir dengan topeng / pelindung kepala, yang membuat mustahil bagi Anda untuk membunuh mereka dengan instan menggunakan busur panah. Kondisi yang mengecewakan, mengingat membunuh musuh dengan panah adalah salah satu sensasi yang paling memuaskan. Hasilnya? Ketika stealth terbongkar dan ketahuan, kami lebih banyak mengandalkan Shotgun dan Rifle, daripada mengandalkan panah.
Kondisi seperti ini kemudian menghasilkan konsekuensi lain yang lebih menyebalkan. Mengingat panah Anda tak banyak berguna dan pertarungan akan berjalan lebih efektif jika Anda menjajal konsep stealth sejak awal atau berakhir menggunakan senjata api untuk membunuh mereka lebih cepat, proses crafting menjadi tidak banyak berguna. Hasilnya? Aksi Anda mengumpulkan resource dan berusaha memungut sebanyak mungkin bahan yang ada justru sering berujung dengan monolog Lara soal daya tampung yang tak lagi mampu memuat bahan bahan tersebut. Terjadi satu atau dua kali? Anda bisa menoleransi hal tersebut. Namun terjadi begitu banyak kali? Anda akan mulai gampang terpicu setiap kali mendengar celotehannya. Kami bahkan berujung sering menjual bahan-bahan ini ke Merchant untuk ekstra duit dan usaha untuk tidak lagi mendengar celotehan Lara tersebut.
Jika celotehan soal resource penuh ini sudah cukup untuk membuat Anda merasa hendak mengamuk, tunggu hingga Anda menggunakan tombol “radar” milik Lara untuk melihat area yang menarik, kepingan puzzle apa yang harus Anda perhatikan, atau sekedar ingin mencari solusi dalam sebuah Tomb. Percaya atau tidak, setiap kali Anda menekan tombol radar ini, Lara selalu berkomentar! Parahnya lagi? Komentar yang ia lontarkan selalu sama, berulang-ulang, dengan intonasi yang sama hingga Anda memecahkan puzzle tersebut dan bergerak ke puzzle setelahnya.
Seperti mendengar sebuah kaset rusak yang hanya bisa memutar satu kalimat saja. Yang mengecewakan adalah fakta bahwa Eidos Montreal sebenarnya bisa membuat celotehan ini menjadi clue eksplisit soal apa yang harus Anda lakukan untuk menyelesaikan puzzle / tomb yang ada. Namun yang Anda dapatkan? Sebuah kalimat penjelasan dan keterangan yang tidak menjelaskan apapun dan justru mengulang sesuatu yang sudah tentu Anda tahu. Bayangkan jika Anda harus membuka pintu, dan Lara terus berceloteh, “AKU HARUS MEMBUKA PINTU!”, berulang-ulang, tanpa memberikan clue bagaimana caranya membuka pintu. Sekarang rasakan hal tersebut, puluhan kali!
Keluhan lain yang membuat pengalaman terasa kurang menyegarkan dan bersih juga terjadi di beberapa hal yang teknis. Dari sensasi menggunakan Lara yang kali ini terasa berat, hingga beberapa glitch yang menghancurkan pengalaman imersif yang seharusnya jadi bagian tidak terpisahkan dari seri ini. Salah satu yang seringkali terjadi adalah ketika Anda menghancurkan dinding rapuh yang tidak berhubungan dengan cerita yang ada, terutama saat berburu harta karun misalnya. Pada saat dinding ini seharusnya runtuh, terkadang ada animasi 1 detik yang memperlihatkan dinding ini utuh kembali, sebelum berakhi runtuh secara total. Keputusan dari sisi kosmetik untuk membuat sebagian besar lingkungan terasa gelap dan kelam juga terkadang membuat clue Anda untuk bergerak ke langkah selanjutnya terlihat tidak sejelas seri-seri sebelumnya. Mencari mana cat putih yang menandakan bahwa Anda bisa memanjatnya terkadang menyita waktu Anda lebih lama.
Maka dengan semua hal kecil dan menyebalkan yang muncul seperti ini, percaya atau tidak, ia secara akumulatif berhasil membuat pengalaman Lara Croft di Shadow of the Tomb Raider terasa tak sebersih dan semenyegarkan seri-seri Tomb Raider sebelumnya. Ia justru menjadi semacam testimoni tidak langsung bahwa Eidos Montreal, yang selama ini terkenal lewat seri Deus Ex mereka, memang butuh pengalaman lebih banyak untuk meracik game action third person shooter yang terasa “natural”.
Di sisi lain, memainkan Shadow of the Tomb Raider juga membuat kami untuk alasan yang tidak jelas, lebih mengapresiasi apa yang berhasil dilakukan Naughty Dog dengan Uncharted: The Lost Legacy yang notabene menjadikan karakter wanita sebagai tokoh protagonis utama juga. Karakter Chloe terasa jauh lebih natural dengan petualangan yang mudah membuat Anda merasa simpatik di luar statusnya sebagai karakter yang sebenarnya tidak punya moral kompas yang konsisten. Ada kisah yang jelas diceritakan di sana, kepribadian yang didorong lebih bersinar, dan sisi aksi yang begitu halus dan seru. Di Shadow of the Tomb Raider, ia justru terasa seperti sebuah seri penutup yang mengecewakan. Ia memang melemparkan homage atau jembatan ke seri original Tomb Raider yang selama ini kita kenal, hanya saja konflik dan hype yang sudah terbangun selama dua seri terakhir ini, di mata kami, terasa berujung anti-klimaks.
Psycho Lara
Namun pembicaraan terkait Shadow of the Tomb Raider setidaknya “bersinar” dari keputusan tepat untuk menyertakan Photo Mode di dalamnya, yang menyediakan beragam kesempatan bagi Anda untuk menangkap aksi ataupun pemandangan dunianya yang memanjakan mata. Namun kesempatan untuk mengatur ekspresi wajah pada saat dipotret juga membuka kesempatan untuk melahirkan meme baru ke dunia maya. Favorit kami? Menciptakan beragam skenario yang kami sebut sebagai Pscyho Lara.
Secara sederhana, Psycho Lara adalah potongan gambar yang kami ambil dan pilih untuk Lara Croft dimana ia terus melemparkan senyum dan tawa, di beragam kondisi yang seharusnya menakutkan atau memilukan. Senyum dan tawa yang membuatnya terlihat seperti sosok yang bahkan lebih menyeramkan dibandingkan dengan semua pasukan dan makhluk-makhluk yang sempat ia berantas sebelumnya. Cukup mengejutkan bagaimana hal sekecil senyum yang memang terlihat tidak natural tersebut, bisa membuat tone Shadow of the Tomb Raider terlihat seperti sebuah game horror dengan Lara Croft sebagai karakter “monster” yang sesungguhnya.
Dengan Photo Mode yang bisa Anda akses dengan sekedar menekan tombol pause ini, Anda punya kebebasan untuk mengatur banyak hal, dari mengatur sudut, depth of field, hingga menyuntikkan frame. Sulit rasanya untuk tidak menggunakan opsi untuk meracik sebuah skenario foto yang antara keren dan seru, atau gila dan menyeramkan. Anda yang memutuskan.