Review Left Alive: Sebuah Lelucon Kejam!
Tertinggal Satu Generasi

Buruk, tidak ada lagi kata yang lebih tepat untuk menjelaskan keseluruhan pengalaman yang ditawarkan oleh presentasi oleh Left Alive ini, terutama dari sisi visual. Bahkan artwork super keren yang diracik oleh Yoji Shinkawa tidak akan mampu menyelamatkannya. Left Alive terasa seperti sebuah game yang dirilis, terlambat satu atau bahkan – dua generasi. Sebuah game yang seharusnya Anda nikmati di era Playstation 2 atau Playstation 3.
Terdengar brutal? Percaya atau tidak, fakta inilah yang Anda telan sebagai pil pahit ketika menikmati game survival stealth yang satu ini. Anda akan bertemu dengan begitu banyak tekstur resolusi rendah yang “menyapa” Anda dari semua sudut desain kota yang ada, dari bebatuan hingga Wanzer – mecha yang seharusnya menjadi daya tarik visual game yang satu ini. Efek visual yang seharusnya membuat segala sesuatunya lebih dramatis, dari cahaya yang muncul dari kegelapan hingga efek api yang muncul saat lemparan molotov juga ditangani dengan begitu buruk. Secara sederhana, Left Alive mengusung visual yang seharusnya akan memesona Anda jika dirilis, mungkin 10 tahun yang lalu. Ada kesan yang kuat bahwa game ini dikembangkan dengan budget yang rendah.


Model karakter yang ditawarkan juga demikian. Walaupun terlihat memukau pada saat cut-scene berjalan, namun kualitas detail yang sama tidak terlihat ketika Anda memainkan mereka secara langsung saat gameplay. Anda juga akan bertemu dengan banyak momen dimana tekstur baru akan muncul setelah sepersekian detik Anda memasuki sebuah area. Namun menunggu tekstur ini ke-load sekalipun tidak lantas menjamin pengalaman visual lebih baik, dimana ia tetap terlihat seperti game yang tertinggal generasi. Hal yang sama juga terjadi pada ragam efek cuaca yang alih-alih membuatnya semakin memesona, justru menghasilkan efek yang sebaliknya.

Namun salah satu bagian paling menggelikan Left Alive dari sisi presentasi sepertinya terletak pada animasi gerak itu sendiri. Walaupun harus diakui bahwa di beberapa bagian, terutama saat bertemu dengan Wanzer yang sedang melakukan patroli dalam kota berhasil meninggalkan kesan sebuah mesin yang tangguh dan berat dari pergerakan, sebagian besar animasi game ini berujung kaku dan terasa tidak nyaman. Dari gerakan karakter saat bermain yang tidak mencerminkan produk modern, hingga sensasi menggunakan Mecha / Wanzer yang terasa berantakan. Sistem animasi gerak, animasi serangan, animasi terkena damage, hingga animasi menggunakan senjata terasa seperti produk yang ketinggalan zaman. Lebih parahnya lagi? Mereka bahkan tidak bisa menangani efek cahaya senter dengan baik. Alih-alih menembak ke depan selayaknya senter normal, menyalakan alat penerang ini justru membuat Anda berjalan dalam lingkaran cahaya yang sama sekali tidak membantu. What the..


Hal yang sama juga sayangnya, terjadi di sisi audio. Untungnya, OST yang menemani Anda, terutama di menu utama bisa dibilang cukup memuaskan dan efektif membangun atmosfer yang hendak ditawarkan oleh Left Alive. Namun untuk sisi yang lain? Berada di bayang-bayang kualitas yang sama. Suara efek dari derap kaki, serangan, senjata, hingga voice acts yang seharusnya memperkuat sisi cerita tidak bisa dibilang memenuhi standar kualitas yang ada. Tetapi untuk urusan terakhir – voice acts, ia masih berada dalam tahap yang bisa ditoleransi.
Maka dengan kesemua kombinasi ini, presentasi Left Alive harus diakui mengecewakan. Bahwa terlepas dari ide besar mereka untuk membangun sebuah “arena bermain” yang berfokus pada situasi perang urban yang kacau dan penuh kehancuran, tidak ada satupun sisi presentasi tersebut yang memukau. Kualitas visual dan audio tertinggal generasi justru mengesankan kuat bahwa proses pengembangannya benar-benar terikat budget yang kecil. Ini adalah game yang mungkin akan terlihat memukau 10 tahun yang lau, bukan sekarang.
Konsep yang Sebenarnya Memukau

Sebelum kita terjun lebih dalam untuk membicarakan Left Alive dan mengapa kami selayaknya binasa dan tidak dibiarkan hidup, sepertinya lebih berimbang jika kita juga berbicara soal apa yang berhasil dilakukan oleh game ini. Karena percaya atau tidak, seperti proses menambang emas dimana Anda mencari secuil logam berwarna kuning berkilauan bersama dengan segenggam tanah yang tidak bernilai sama sekali, Left Alive sebenarnya punya konsep yang baik. Sebuah konsep yang di mata kami, jelas akan memesona jika ia bisa ditangani dengan lebih sempurna dari proses eksekusi elemen yang mendukungnya. Sebuah konsep yang sebenarnya, bisa memukau.
Konsep apa itu? Bahwa ia dibangun sebagai sebuah game survival stealth di tengah tema perang urban yang memang mengesankan, sebuah invasi yang seharusnya. Ketiga karakter yang Anda gunakan memang tidak akan mengusung banyak hal berbeda kecuali senjata yang bisa mereka dapatkan dalam perjalanan. Namun Left Alive berhasil meracik sebuah kondisi yang tepat untuk mengesankan ketiganya memang tengah terjebak di dalam situasi pelik di luar kendali mereka dan tidak ada yang bisa mereka lakukan selain bertahan hidup dan menolong sebanyak mungkin survivor yang ada. Left Alive berhasil melakukan hal itu.


Untuk membangun pondasinya, ia diposisikan sebagai game survival stealth. Game ini tidak didesain dengan memosisikan Anda sebagai seorang karakter overpowered yang bisa menghabisi sebuah area seorang diri. Anda akan bertemu dengan lusinan pasukan yang menjaga satu area bersama dengan Wanzer ataupun tank yang menemaninya dengan posisi Anda sebagai karakter yang begitu rentan. Idenya adalah dengan cepat memahami bahwa Left Alive tidak meminta Anda untuk terus terlibat dalam pertempuran yang intens. Anda justru direkomendasikan untuk menghindari sebanyak mungkin konflik dengan pasukan-pasukan ini, mencari jalan alternatif lebih aman, dan hanya menghabisi mereka yang harus dihabisi.
Kesemuanya dibalut dengan elemen survival yang kental, dimana resource yang Anda temukan bisa terhitung terbatas dan memang didesain sedemikian rupa, hingga tidak mungkin Anda bisa menghabisi semua musuh yang Anda temui. Tersebar di beragam tempat dengan indikator yang jelas dan sistem berat yang akan menentukan kuantitas yang bisa Anda bawa, ada pula proses crafting yang akan memungkinkan Anda untuk meracik beragam perlengkapan untuk bertahan hidup dan melawan. Dari patch untuk menghentikan efek pendarahan, bom asap untuk mengecoh perhatian musuh dan proses infiltrasi lebih mudah, hingga bom molotov untuk efek api yang bertahan cukup lama. Proses mengumpulkan resource dan crafting adalah bagian tidak terpisahkan dari Left Alive.



Alih-alih sebuah sistem pergerakan linear yang meminta Anda untuk bergerak dari satu area ke area lain dalam garis lurus, Left Alive bisa disebut sebagai sebuah game open-world, seperti yang ditawarkan oleh Metal Gear Solid V: The Phantom Pain misalnya. Bahwa “taman bermain” Anda adalah Novo Slava untuk sebagian besar scene yang Anda lewati, termasuk terowongan bawah tanah dan gedung-gedung yang bisa Anda masuki. Di dalamnya, lewat sistem peta yang jelas, Anda juga tidak selalu hanya bisa menyelesaikan misi utama saja. Ada juga misi sampingan yang terkadang meminta Anda untuk menyelamatkan para survivor yang terjebak di dalam kota, yang biasanya meminta item tertentu untuk bertahan hidup atau meminta Anda melakukan misi escort untuk membawa mereka ke shelter aman terdekat. Tentu saja, ekstra kerepotan Anda akan dihadiahi dengan sistem reward yang sepadan, dari resource crafting, peluru, hingga kemungkinan pengaruh pada scene yang Anda dapatkan.
Tidak cukup? Sisi cerita Left Alive juga tidak berjalan begitu saja. Beberapa cut-scene untuk misi utama dan NPC untuk misi sampingan yang Anda temui biasanya akan hadir dengan pertanyaan yang juga menyediakan opsi respon. Untuk misi utama, pilihan yang Anda ambil juga bisa mempengaruhi kira-kira objektif utama seperti apa harus Anda kejar. Sementara untuk misi sampingan, bergantung pada respon yang Anda ambil, ia bisa berujung gagal atau berhasil. Sebagai contoh? Kami sempat bertemu dengan seorang NPC yang depresi dan tidak lagi punya semangat juang untuk bertahan hidup di Nova Slava itu sendiri. Terlibat dalam percakapan panjang penuh opsi respon, pilihan kami untuk menyediakan jawaban yang realistis dan logis ternyata berujung membuat NPC yang sama mengakhiri hidupnya sendiri. Ia berujung membuat misi tersebut, gagal.


Maka dengan semua kombinasi ini, Left Alive bisa disebut sebagai game yang tidak mudah untuk ditundukkan. Ia akan secara konsisten untuk menuntut Anda bermain pintar menghadapi setiap situasi yang memang seolah didesain dengan Anda sebagai “korban” dan bukannya pahlawan. Memahami rute yang rasional untuk bergerak aman ke arah objektif sembari meminimalisir konfrontasi yang membuat Anda harus membuang resource untuk sesuatu yang signifikan menjadi keharusan.
Secara konsep yang Anda baca di atas, jelas ada sesuatu yang hendak ditawarkan Square Enix di Left Alive ini. Pondasinya sebagai sebuah game survival stealth dalam sebuah dunia terbuka yang bisa Anda eksplorasi adalah sesuatu yang ingin kami lihat lebih banyak diimplementasikan di masa depan. Konsep yang mungkin terasa mirip dengan MGS V: The Phantom Pain, namun terasa lebih menantang dan lebih menuntut kehati-hatian.
Lantas, jika memang Left Alive punya konsep dengan kelas seperti ini, mengapa ia dicaci maki? Mengapa kami memilih sub-judul di atas? Cara sederhana menjelaskannya adalah fakta bahwa pada akhirnya, hanya itulah yang ia tawarkan. Left Alive adalah sebuah game dengan konsep memesona yang dibungkus eksekusi buruk di semua sisi yang lain.









