Review Left Alive: Sebuah Lelucon Kejam!
Sebuah Lelucon Kejam

Kualitas mengecewakan Left Alive tidak hanya terletak pada presentasi yang sudah kita bicarakan sebelumnya, yang notabene menguatkan kesan bahwa ia diracik dengan budget terbatas. Keluhan tersebut justru mengakar pada aspek yang seharusnya membuatnya memesona – gameplay. Karena percaya atau tidak, ada banyak desain di dalam game ini yang benar-benar terhitung tidak masuk akal.
Dari diskusi di atas, Anda tentu saja tahu bahwa Left Alive intinya adalah sebuah game survival stealth, dimana bersembunyi dan bergerak mengikuti jalur aman menjadi solusi rasional untuk banyak masalah. Sementara di sisi lain, sisi survival dihadirkan lewat konsep resource terbatas yang membuat Anda harus meracik item Anda sendiri dengan material yang ada atas nama keuntungan strategis. Kombinasi peluru senjata api dan ragam equipment hasil crafting ini seharusnya membantu Anda menavigasi Novo Slava dengan aman. Lantas, dimana salahnya Left Alive ini?
Permasalahan terbesar game ini adalah kesan kuat bahwa sang developer tidak mengerti cara meracik game stealth yang seharusnya. Game stealth yang menegangkan, tetapi di sisi lain terasa modern dan rasional untuk ditempuh. Yang ditawarkan oleh Left Alive saat ini adalah sebuah game stealth yang diracik dengan pendekatan game third person shooter dari sisi mekanik. Hasilnya adalah sebuah game yang secara desain, membingungkan dan tidak rasional.
Tidak perlu menyelam terlalu jauh. Percaya atau tidak, terlepas dari statusnya sebagai sebuah game berbasis stealth, Left Alive tidak memiliki sistem stealth takedown sama sekali. Benar sekali, Anda TIDAK BISA bergerak ke belakang lawan dan menghabisi mereka menggunakan fitur yang seharusnya terhitung “standar” untuk semua game punya elemen stealth ini. Bayangkan sebuah game stealth TANPA stealth takedown, jenius seperti apa yang punya pemikiran cemerlang untuk menghadirkan sistem seperti ini.

Permasalahan ekstra lainnya? Left Alive tidak menawarkan solusi alternatif apapun untuk menutup kekurangan absennya Stealth Takedown ini. Jika ada musuh yang menghalangi jalan Anda dan mustahil untuk Anda lewati tanpa memancing perhatian, Anda kini hanya punya 2 solusi saja: memukulnya menggunakan senjata melee atau menembaknya dengan senjata api Anda. Dua konsep yang sama-sama punya masalah tersendiri, lagi-lagi untuk mendukung Left Alive sebagai sebuah game yang punya identitas kuat di gameplay berbasis stealth.
Serangan berbasis melee tentu saja membutuhkan senjata melee. Permasalahan pertama, senjata melee di Left Alive bisa rusak setelah beberapa kali digunakan, membuatnya kehilangan efektivitas. Ini berarti, Anda tidak bisa menggunakan senjata melee untuk setiap situasi. Permasalahan kedua? Sistem crafting tidak memfasilitasi proses crafting senjata melee. Ini berarti jika senjata melee Anda rusak dan Anda tidak menemukan ekstra cadangan saat proses eksplorasi, opsi melee otomatis hilang. Tidak ada crafting untuknya. Permasalahan ketiga dan terbesar? Musuh tidak akan tewas dengan hanya satu kali serangan melee Anda, bahkan dari belakang sekalipun. Anda membutuhkan setidaknya tiga kali pukul (dengan Pipe) hingga mereka jatuh dan kemudian mengeksekusi mereka agar tewas. Lalu apa yang terjadi? Begitu Anda mengayunkan satu kali pukulan, ini berarti mereka menyadari posisi Anda. Jika pukulan kedua Anda karena masalah animasi, meleset misalnya, Anda terancam. Jika Anda memukulnya dekat dengan NPC yang lain, serangan ini akan menimbulkan suara, dan Anda akan terancam. Jika pada saat animasi pukulan terakhir, senjata melee Anda rusak dan animasi eksekusi tidak instan membunuh musuh, Anda terancam. Desain jenius.


Oke, bagaimana jika Anda mengandalkan senjata api misalnya? Selamat, karena Anda bertemu dengan elemen cacat lainnya yang juga punya masalah jika dibandingkan game berbasis stealth yang lain. Permasalahan pertama, tidak ada satupun senjata yang Anda dapatkan punya silencer. Benar sekali, tidak ada silencer ataupun senjata sunyi! Ini berarti jika Anda hendak membunuh musuh di depan mata, semua senjata Anda akan berbunyi dan posisi Anda ketahuan. Permasalahan kedua yang bahkan lebih berat lagi? Left Alive tidak mengusung sistem 1 headshot = 1 kill yang notabene merupakan standar untuk game-game berbasis stealth. Untuk membunuh 1 musuh saja, Anda bisa mengeluarkan 4-5 peluru headshot. Sistem tanpa kematian instan seperti ini membuat apapun yang Anda lakukan dengan senjata api milik Anda akan berujung menyulut perang terbuka, yang dengan sistem animasi kaku akan menjadi mimpi buruk lain.
Jika tidak ada stealth takedown, serangan melee butuh 3 kali serang, dan sistem senjata api hadir tanpa silencer, maka secara rasional Left Alive harusnya mengusung gameplay ala Gears of War – dimana Anda didorong untuk menembak membabi buta dan menghancurkan segala sesuatunya. Namun fakta bahwa ia berujung jadi game stealth yang tidak memfasilitasi gameplay stealth sama sekali adalah salah satu lelucon paling kejam yang pernah kami temui di industri game.
Permasalahan lain juga mengakar pada semua perlengkapan lain yang bisa Anda crafting dengan menggunakan resource yang ada, yang di dalamnya juga memuat senjata-senjata “dahsyat” di game survival lain seperti molotov dan bomb peledak rendah. Kasus yang serupa dengan senjata melee dan api di atas kembali terjadi. Bom molotov misalnya, tidak akan secara instan membunuh musuh yang Anda lemparkan. Api yang muncul lebih difokuskan untuk menciptakan efek stun agar Anda lebih mudah menembak dengan senjata api sembari menghasilkan damage overtime yang tidak fatal. Jadi melemparkan molotov tanpa melakukan aksi ekstra berarti membuka informasi pada musuh bahwa ada Anda di dekat mereka. Hal yang sama juga terjadi pada bomb peledak kecil yang bisa Anda craft. Butuh 2 bomb / musuh untuk bisa membunuh mereka, yang notabene berarti membuang resource dan menyediakan informasi posisi Anda.
Kesemuanya dibalut dengan sistem AI yang bisa disimpulkan, tidak konsisten. Terkadang sulit untuk memprediksi apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan. Di satu situasi, Anda yang berjalan menunduk misalnya bisa melewati mereka dari jarak dekat tanpa mereka sadari sama sekali. Tetapi di situasi lain, AI musuh tiba-tiba menjadi begitu sensitif dan responsif hingga bisa menyadari posisi Anda dari jauh. Bagian terparahnya adalah saat Anda berhadapan dengan Sniper yang memang menempati lokasi tinggi. Pertama, Anda tidak punya senjata standar yang bisa menjangkau dan menghabisi mereka dari jauh. Kedua? Mereka punya mata begitu tajam untuk membidik Anda dari kejauhan dan menginformasikan lokasi Anda, walaupun Anda sudah bermain seaman mungkin. Rentang suara yang bisa didengar NPC juga tidak konsisten, dimana terkadang mereka diam mendengar senjata api Anda dari jarak dekat, sementara di kondisi lain langsung mengerubungi Anda ketika Anda menembaknya dari kejauhan. Hanya cenayang saja yang bisa memprediksi tingkah laku AI di game ini.


Masih belum cukup buruk? Left Alive juga menghadirkan tipe-tipe musuh yang bahkan membawa cacat desain ini ke level lebih tinggi. Dua contoh utama? Drone dan pasukan dengan shield. Drone seperti yang kita tahu, terbang. Mereka akan secara aktif bergerak di jalur spesifik yang ditentukan sebelumnya, yang terkadang berada di jalur yang hendak Anda lewati. Sekarang bagaimana cara Anda menghancurkan mereka? Anda tidak mungkin menyerang secara melee karena Anda tidak bisa terbang. Solusi terbaik? Menembak mereka dengan senjata api yang jelas punya bunyi dan berpotensi untuk memanggil perhatian di sekitar. Musuh dengan shield juga hadir dengan dilema serupa. Untuk sebuah game yang punya resource terbatas, termasuk peluru, menghabiskannya untuk satu musuh yang melindungi mereka dengan sebuah perisai besar adalah sebuah langkah bodoh. Sesuatu yang harus Anda lakukan karena pada dasarnya, Anda tidak punya banyak solusi yang lain. Senjata-senjata spesial seperti sniper misalnya, akan diposisikan sebagai senjata “istimewa” yang harus Anda buang ketika pelurunya habis.
Kombinasi-kombinasi elemen ini membuat Left Alive berujung jadi game stealth dengan mekanik yang berantakan. Sebuah game stealth tanpa dukungan mekanik stealth adalah sebuah desain amatir yang membuat Anda penasaran dan terus melemparkan pertanyaan, “Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh sang desainer?”.
Kesimpulan

Seperti sebuah lelucon yang kejam, tidak ada lagi kalimat yang lebih jelas untuk menjelaskan apa yang ditawarkan Square Enix dengan Left Alive. Pada dasarnya, Anda bisa melihat potensi soal konsep yang hendak ia tawarkan. Sebuah game survival berbasis gameplay stealth di tengah perang urban yang memang membutuhkan kecerdasan dan strategi tertentu untuk diselesaikan. Bahwa di tengah kekacauan ini, Anda berkesempatan untuk tidak hanya menentukan cerita Anda dari sisi opsi dan konsekuensi saja, tetapi juga berperan sebagai pahlawan yang menyelamatkan para survivor yang terperangkap di sana. Semua konsep tersebut dibalut dalam semesta Front Mission yang selama ini memang dibalut penuh dengan intrik dan konflik politik negara-negara fiktif yang keren. Apalagi Square Enix juga menjanjikan kesempatan untuk menggunakan Wanzer yang beberapa di antaranya, memang tertinggal begitu saja. Namun sayangnya, segala sesuatunya berujung jadi bencana besar. Left Alive hadir dengan kualitas seolah ia ditangani oleh developer amatir dengan budget yang terbatas.
Seperti sebuah kepingan puzzle yang melewati proses salah desain dan gagal untuk saling melengkapi satu sama lain, Left Alive hanya meninggalkan rasa haus dan penasaran apa yang bisa dicapai jika ia memang ditangani dengan seharusnya. Pondasi konsepnya gagal bersinar karena begitu banyak hal-hal mengecewakan yang menyertainya.
Jika Anda merasa itu semua masih belum cukup buruk, Left Alive juga mengusung sistem checkpoint super kejam yang siap untuk membuang jauh progress begitu Anda salah langkah, apalagi mengingat ia tidak punya sistem “Save Anywhere” yang biasanya begitu esensial untuk game seperti ini. Anda juga harus berhadapan dengan situasi dimana sistem notifikasi AI-nya akan secara konsisten memperingatkan Anda soal posisi musuh lewat suara. Mengingat musuh berada di hampir semua lokasi, Anda akan berakhir dengan suara AI repetitif yang menolak diam. Di luar konsep, satu-satunya hal yang kami sukai sepertinya hanya berpusat pada OST, yang untungnya, hadir dengan komposisi yang merepresentasikan sebuah game AAA. Termasuk OST lagu dari band Jepang – Man with A Mission yang hadir dengan kegaharan yang seharusnya.
Lantas, apakah Left Alive pantas untuk dilirik? Tidak sepertinya menjadi jawaban kami. Bahwa terlepas dari semua hal yang hendak ia tawarkan, ia terasa seperti game ketinggalan zaman yang bingung dengan identitasnya sendiri. Ini mungkin jadi sedikit dari game yang berhasil menyita semangat dan energi kami untuk proses review sebelum kami angkat tangan dan menyerah untuk menyelesaikannya. Kami masih butuh kewarasan kami untuk game keren Maret 2019 yang lain.
Kelebihan
- Konsep & OST
Kekurangan

- Semua hal selain Konsep & OST
Cocok untuk gamer: masokis, punya fetish kuat pada game-game kaku dengan kualitas buruk
Tidak cocok untuk gamer: yang menginginkan game stealth berkualitas, ingin tetap waras