JagatPlay: Menjajal The Last of Us Part II – Berburu Nora!

Tinggal menghitung minggu dan semua gamer Playstation 4 akhirnya berkesempatan untuk menjajal The Last of Us Part II, game ambisius terbaru dari Naughty Dog. Eksistensi seri ini memang terhitung cukup mengejutkan, apalagi dengan konfirmasi lewat beragam screenshot dan trailer yang dilepas, dua karakter utama dari seri pertama – Ellie dan Joel dipastikan kembali. Banyak yang melihat bahwa seri pertama The Last of Us sudah berakhir dengan ending yang sempurna, hingga ada kekhawatiran bahwa seri kedua ini justru akan menghancurkan hal tersebut. Namun seiring dengan banyak informasi yang dilepas, bersama dengan sosok Ellie yang menua, The Last of Us Part II kini membuktikan diri sebagai game action yang serupa, tetapi di begitu banyak aspek yang lain, terasa lebih ambisius.
Jika Anda mengikuti ragam informasi terkait seri yang satu ini, maka Anda sepertinya sudah mengetahui hal baru apa saja yang ia usung. Di atas kertas, gerakan baru seperti kemampuan untuk melompat manual, melakukan prone, atau memecahkan kaca terdengar seperti pertambahan mekanik yang begitu sederhana dan tidak signifikan. Padahal, perluasan mekanik seperti ini berarti memberikan kesempatan bagi sang developer untuk menawarkan desain level yang lebih luas secara vertikal, membuka jenis design “puzzle” yang tidak bisa ditempuh di seri pertamanya, dan menawarkan pendekatan stealth baru yang menawarkan tantangan dan cita rasa yang baru. Sebuah perubahan signifikan yang akhirnya bisa kami jajal secara langsung.
Sesi preview awal kali ini difokuskan untuk satu misi saja – “Finding Nora!”, sesi gameplay sama yang sempat Anda lihat di potongan pendek gameplay di sesi terakhir State of Play minggu lalu. Dalam misi balas dendan yang menjadi motivasi Ellie di seri kali ini, informasi yang ia butuhkan terletak pada sosok Nora yang merupakan bagian dari faksi militia – WLF (Washington Liberation Force), yang hadir dengan senjata berat, skill terlatih, dan pasukan anjing yang mematikan. Di dalam proses mengejar Nora ini pula, Anda akan bertemu dengan kelompok lainnya bernama Seraphites aka Scars yang berperan tak ubahnya sebuah cult menyeramkan di dunia yang sudah dipenuhi dengan Infected ini.
Lantas, apa yang ditawarkan dari sesi gameplay berburu Nora ini? Apa saja hal menarik yang kami temukan di sesi gameplay yang satu ini? Inilah impresi sekaligus preview awal kami terkait The Last of Us Part II:
Playstation 4 di Bentuk Maksimal

Satu hal yang mau tidak mau harus diakui dari The Last of Us pertama, adalah bagaimana eksistensinya di penghujung umur Playstation 3 di kala itu berhasil memberikan highlight fantastis soal performa apa yang masih “tersisa” dari konsol yang menua tersebut. Tujuh tahun setelah seri pertamanya dirilis, The Last of Us Part II kini kembali menjadi salah satu game yang dilepas di penghujung usia sebuah generasi – yang notabene kini, merupakan Playstation 4. Maka seperti apa yang berhasil mereka capai dengan Playstation 3 di seri pertamanya, The Last of Us Part II juga terasa seperti sebuah seri yang pada akhirnya, berhasil menemukan cara untuk memeras semua kemampuan yang bisa ditawarkan Playstation 4 terutama untuk Playstation 4 Pro.
Karena menyebut game ini sebagai salah satu game eksklusif terindah Playstation memang tidak berlebihan. Berbasiskan engine sama yang membangun Uncharted 4, sepertinya sisi presentasi visualnya berada dalam kapasitas yang bisa Anda banggakan – baik ketika Anda menikmati cut-scene sinematik yang juga dipenuhi dengan voice acting yang menawan ataupun ketika Anda menikmati sisi gameplay yang ada. Jika Anda merasa ekspresi wajah di Uncharted 4 sudah memesona, maka apa yang diusung The Last of Us Part II seolah membawanya ke level yang baru. Semua detail yang ia usung benar-benar membuat Anda merasakan emosi seperti apa yang tengah dirasakan oleh sang karakter dan karenanya, berujung menghasilkan empati ataupun simpati. Ditambah dengan ekstra efek grain dan tata cahaya dramatis di sana-sini, maka cita rasa sinematik yang hendak ia kejar bukanlah omong kosong belaka.

Satu hal fantastis lainnya dari sisi presentasi juga berangkat dari sisi desain dunia yang seolah menggabungkan kehancuran dan keindahan di satu ruang yang sama. The Last of Us Part II mengambil timeline 25 tahun setelah pandemi Cordyceps terjadi, atau 5 tahun setelah apa yang terjadi di The Last of Us I. Dengan mengambil Seattle sebagai setting utama, yang notabene memiliki curah hujan tinggi, alam seolah kembali menguasai hutan beton ini jauh lebih cepat. Bersama dengan reruntuhan bangunan yang akan Anda temukan dengan kendaraan yang berserakan, The Last of Us Part II membangun atmosfer post-apocalyptic dalam kapasitas yang seharusnya, apalagi jika kita bicara soal vegetasi yang tersebar luas dan terasa begitu tebal. Sementara dari skala desain dunia? Ia memang harus diakui jauh lebih luas dan terbuka dibandingkan seri sebelumnya, yang tentu saja bisa dieksplorasi menggunakan mekanik baru yang ia usung. Sesuatu yang akan kita bahas di sesi selanjutnya.
Hal lain yang membuat The Last of Us Part II memesona juga mengakar pada sikap tanpa kompromi untuk memperlihatkan kekerasan dalam bentuk sementah mungkin. Anda yang sudah melihat aksi Ellie yang menusuk “sang pemilik PS Vita” di ajang State of Play kemarin mungkin sudah mendapatkan gambaran soal itu.
Namun brutalitas tersebut tidak hanya terjadi di cut-scene saja. Kekerasan “super indah” ini akan dipresentasikan juga di sisi gameplay, yang membuat setiap aksi pembunuhan yang Anda lakukan memang memiliki dampak emosional yang lebih kuat. Anda bisa melihat bagaimana tembakan peluru ke kepala juga diikuti dengan visualisasi lubang peluru yang menganga di belakang kepala, genangan darah yang realistis di sekitar tubuh mayat, musuh yang memiliki identitas berkat nama yang diteriakkan oleh teman-temannya, hingga yang paling brutal – suara sesak cengkeraman kematian setiap kali Anda menghujamkan pisau ke leher musuh yang ada. Tidak ada kompromi untuk urusan kekerasan dan karenanya, membuat The Last of Us Part II mampu mewakili kesan sebuah dunia tanpa rasa ampun. Di sisi lain? Ia membuat semua aksi yang Anda eksekusi, apalagi ketika Anda menggunakan shotgun atau anak panah peledak, meninggalkan kepuasan tiada tara.
Dan pada akhirnya, sesi pendek berburu Nora ini juga memberikan gambaran jelas soal kualitas musik seperti apa yang Anda dapatkan, yang bisa Anda antisipasi dari sebuah seri The Last of Us. Musik pelan penuh dengung menemani setiap momen intense, dengan gitar pelan mengalun untuk menemani momen lain yang lebih tenang dan emosional. Suara juga memainkan peran penting dalam gameplay, dari sekedar dijadikan tumpu informasi soal apakah Anda berhasil membersihkan semua musuh di area atau sekedar mengetahui jenis-jenis Infected apa saja yang tengah menginvasi satu jenis ruangan. Tenang saja, suara Clickers yang kini juga mewakili apa yang tengah mereka lakukan akan siap untuk membuat bulu kuduk Anda merinding.