Review When The Past Was Around: Perban Luka Hati!
Cheesy?

Ketika membaca deskripsi produk ini di Steam dan menemukan bahwa di satu titik konflik milik Eda, sebuah kisah romansa akan tercipta, kami langsung membangun rasa skeptis yang cukup kuat bahwa WPWA akan mampu mengeksekusi elemen yang satu ini dengan baik. Ada begitu banyak kisah cinta diceritakan lewat beragam media dan harus diakui, alih-alih berujung jadi sesuatu yang manis dan menyentuh, tidak sedikit dari mereka berujung klise dan “terlalu manis” untuk bisa dicerna. Untungnya, kami tidak merasakan hal tersebut dari WPWA. Kisah romansa yang dibangun untuk Eda dan Owl berada dalam proporsi yang seharusnya dan karenanya, pantas untuk diacungi jempol.
Ada beberapa alasan yang membuat kami menikmati kisah cinta ini. Pertama? Keputusan untuk menyajikan cerita tanpa menggunakan voice acting sama sekali. Rentan menjadi salah satu sumber masalah, terlepas apakah Mojikan memutuskan untuk menggunakan bahasa Inggris ataupun Indonesia sebagai pengantar, keputusan untuk menyajikan kisah WPWA dalam format “diam” adalah keputusan terbaik yang bisa mereka ambil. Karena konsep seperti ini, usaha untuk memahami apa yang terjadi lebih difokuskan pada ekspresi emosi tiap karakter dan karenanya, menyajikan detail yang lebih bermakna daripada sekadar kata-kata. Kami cukup yakin rasa apresiasi kami mungkin akan sedikit lebih berkurang jika misalnya, ada voice acting di game ini.
Kedua? Kisah romansa antara Eda dan Owl juga hadir dalam kapasitas yang seharusnya, dimana ia tidak didesain “terlalu manis” untuk dicerna. “Terlalu manis” dalam skala yang sama ketika Anda menikmati film drama Korea dan menemukan banyak cerita cinta dimana pasangan yang dijadikan fokus, datang dengan aksi dan kata-kata seolah dunia bersinar hanya karena kasih sayang yang mereka ekspresikan satu sama lain. Di WPWA, interaksi keduanya terasa natural, seperti seharusnya dua pihak yang memadu kasih dalam situasi yang normal, dan tidak terasa seperti sebuah film drama. Anda mengerti mereka menyukai satu sama lain, peduli satu sama lain, dan menginginkan satu sama lain, namun tanpa mendapatkan kesan bahwa hanya hal inilah yang mereka pedulikan. Gaya bercerita dengan alur maju-mundur yang juga menyediakan ruang bagi konflik internal dan psikologi milik Eda juga memberikan “ruang rehat” untuk membuat kisah romansa mereka lebih bisa dicerna.
Ketiga? Terlepas dari karakter Owl yang seperti kami bicarakan sebelumnya, memancing banyak tanda tanya, apa yang hendak disajikan Mojiken via kisah cinta WPWA adalah sesuatu yang mungkin beresonansi dengan apa yang sempat kita rasakan di kehidupan nyata kita. Bahwa banyak dari kita yang karena cinta, berakhir dengan hati yang luka, dan membutuhkan waktu banyak untuk menemukan ruang untuk memulihkan diri. Bahwa hati yang luka ini terkadang tidak terbatas hanya pada hubungan antar manusia saja, tetapi juga semua hal yang ikut terasosiasi di dalamnya. Bahwa pantai yang sempat Anda kunjungi bersama, minuman boba yang Anda bagi, sepeda ontel yang sempat Anda naiki, hingga parfum yang sempat menemani setiap pertemuan, kini meninggalkan ingatan berdua yang pada akhirnya – sama membuka luka. WPWA mengeksplorasi hal ini dengan cukup elegan.
Maka berita baiknya untuk Anda, yang seperti halnya kami, tidak terlalu menyenangi kisah cinta yang terlalu cheesy, WPWA tidak akan membuat Anda merasa ingin “jungkir balik” karena rasa manis romansa antara Eda dan Owl. Semuanya disajikan secara proporsional.
Kesimpulan

Acungan dua jempol dan tepuk tangan memang pantas untuk diarahkan kepada Mojiken Studio dan Toge Productions untuk apa yang berhasil mereka capai dengan When the Past Was Around. Ia memang bukan tipe game yang diracik untuk orang awam dan lebih ditujukan untuk pasar yang terhitung niche – mereka yang menyenangi cerita, khususnya romansa sebagai daya tarik utama. Namun di luar apakah ia masuk ke dalam radar Anda atau tidak, kami masih takjub bahwa di satu titik – studio lokal Indonesia sudah mampu meracik game seperti ini. Game yang memesona dari sisi presentasi, datang dengan sistem puzzle cerdas dan menantang, menawarkan kisah cinta yang lumayan menyentuh, musik yang keren, dan pada akhirnya – pengalaman bermain yang cukup membekas di otak dan hati.
Namun tentu saja, game ini tidak bisa dibilang sempurna. Satu-satunya keluhan kami, seperti yang kami bicarakan sebelumnya, memang mengakar pada sosok Owl yang harus diakui – meninggalkan lebih banyak tanda tanya daripada jawaban. Situasi yang entah terjadi karena kami yang terlalu “dangkal” untuk mencerna apa yang berusaha didorong Mojiken dengan WPWA ini atau memang sesuatu yang rasional untuk dikeluhkan karena permasalahan di sisi penyajian cerita. Namun di luar kelemahan ini, hampir tidak ada yang bisa dikeluhkan. Untuk sebuah game yang memang secara kreatif didesain untuk menjadikan cerita dan karakter sebagai daya tarik utama, WPWA menjalankan tugas tersebut dengan begitu manis.
Maka, kami akan secara terbuka untuk merekomendasikan Anda yang menyukai kisah romansa dengan visualisasi unik nan memanjakan mata untuk menjajal When the Past Was Around – sebuah game lokal yang memang pantas diapresiasi. Tentu saja, Anda harus datang dengan ekspektasi yang rasional – mengingat ia menawarkan waktu gameplay singkat tanpa banyak replayability di dalamnya. Namun untuk waktu yang super singkat itu, Anda akan menemukan kisah yang cukup menyentuh. Bahwa seperti halnya aksi Anda mencari perban untuk luka hati Eda, game ini bisa jadi berujung jadi perban untuk luka hati Anda.
Kelebihan

- Kualitas visualisasi memanjakan mata
- Musik memorable yang juga dijadikan sebagai media bercerita
- Kisah romansa yang tidak “cheesy”
- Puzzle yang cerdas dan menantang
- Konsep cerita tanpa voice-acting / dialog yang berkontribusi positif
Kekurangan

- Posisi karakter Owl yang membingungkan
- Minim replayability
Cocok untuk gamer: yang menyenangi produk game lokal, menyukai game dengan artwork keren
Tidak cocok untuk gamer: yang menginginkan waktu gameplay panjang, tidak senang memutar otak