Review DOTA – Dragon’s Blood: Fantasi dan Promosi!
Fantasi Solid
Apa yang ditawarkan oleh DOTA: Dragon’s Blood, sekali lagi, memang belum menyentuh banyak hal yang kita kenal dari pertempuran antara dua Ancients yang notabene menjadi inti game MOBA yang populer ini. Namun satu yang berhasil ia capai adalah membangun sebuah dunia fantasi yang solid. Bahwa dunia yang dibawa oleh DOTA adalah dunia penuh hal yang berada di luar nalar manusia, dari naga beragam ukuran, sihir, para dewa-dewi yang secara aktif terlibat dalam hidup para penyembahnya, para iblis yang punya rencana jahat, dan tentu saja para ras yang hidup “berdampingan” di dalamnya. DOTA: Dragon’s Blood melakukan tugas tersebut dengan fantastis.
Sayangnya, terlepas dari bangun dunia yang pantas diacungi jempol tersebut, DOTA: Dragon’s Blood datang dengan penyampaian cerita yang cukup membingungkan di beberapa titik. Ada begitu banyak informasi yang dilemparkan tanpa ada banyak waktu untuk mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Sebagai contoh? Hubungan antara Selemene dan Mene – dua dewi berbeda yang seharusnya jadi fokus cerita. Tidak pernah ada informasi lebih detail apa yang sebenarnya terjadi dengan keduanya terlepas dari fakta bahwa ia menjadi salah satu sumber konflik utama. Ini bisa saja terjadi karena dua hal: pertama, karena memang kelalaian dari sisi penyampaian cerita. Atau kedua? Sesuatu yang baru akan dibuka di seri selanjutnya mengingat kisah 8 episode pertama dipastikan hanya memuat chapter “BOOK 1” saja. Belum ada informasi soal berapa banyak “BOOK” yang akan kita dapatkan di masa depan.
Berita baiknya? Studio MIR berhasil melakukan tugas yang fantastis ketika kita berbicara soal dua hal: animasi aksi dan karakterisasi. Untuk urusan animasi sisi aksi yang ditawarkan, ia datang dengan kualitas yang pantas untuk diacungi jempol. Pergerakan mulus dengan dramatisasi yang tepat sasaran hadir di sini. Bagi gamer yang sudah familiar DOTA 2, ia juga memuat begitu banyak skill yang memang identik dengan masing-masing karakter yang dimaksud, yang diterjemahkan dengan baik dalam format visual dua dimensi. Penggunaan model karakter tiga dimensi yang membaur juga terlihat pantas, terutama jika kita bicara soal hadirnya para naga yang menjadi sumber ancaman.
Karakterisasi juga fantastis. DOTA: Dragon’s Blood memberikan cukup banyak ruang bagi karakter yang ada, baik utama ataupun sampingan, untuk bersinar. Bahwa tidak selalu satu dimensi, karakter-karakter ini juga punya konflik personal yang mau tidak mau harus mereka hadapi. Ada ketakutan di balik keberanian, keraguan di balik sebuah resolusi, cinta di balik ketidakpastian, yang kesemuanya menyelimuti ragam karakter yang ada. Bahkan bukan tidak mungkin bagi gamer DOTA 2 misalnya, berujung membenci satu karakter yang selama ini tidak pernah mereka ketahui lore di belakangnya. Tentu saja kita bicara soal Luna yang di DOTA: Dragon’s Blood ini, diposisikan bak tokoh antagonis yang haus darah dan kematian.
Satu yang menarik dari pendekatan DOTA: Dragon’s Blood adalah betapa bersahabatnya ia untuk mereka yang tidak familiar dengan DOTA 2 sama sekali. Tidak perlu ada pengetahuan mendasar terlebih dahulu soal semesta DOTA 2 untuk menikmati kisah fantasi yang ia usung. Namun untuk gamer DOTA 2, ada ekstra kenikmatan yang bisa Anda dapatkan lewat ragam easter egg yang diusung. Kita berbicara soal item ikonik seperti Gem of True Sight yang memperlihatkan jati diri dna gunanya di sini, hingga kemunculan sejenak ras karakter ikonik seperti Ogre milik Alchemist dan Bounty Hunter yang terlihat sekilas. Namun tentu saja, para gamer DOTA 2 juga harus bersiap dengan fakta bahwa tidak semua hal yang kita tahu dan melekat pada versi video game-nya akan diterapkan di sini dan begitu pula sebaliknya.
Rasa apresiasi ekstra juga pantas diarahkan kepada kualitas voice acting yang diusung. Tidak hanya tampil memesona dalam bahasa Inggris saja, kami juga memberikan acungan dua jempol kepada dub versi bahasa Indonesia yang dieksekusi cukup baik di sini. Valve sepertinya memahami betapa besarnya jumlah gamer DOTA 2 di Indonesia dan menawarkan kualitas VA yang memang memperjelas komitmen mereka untuk memastikan seri anime ini bisa dinikmati oleh gamer Tanah Air. Terlepas dari apakah Anda memilih menggunakan dub ini atau tidak, fakta bahwa dub ini tersedia sejak awal rilis menjadi semacam testimoni keseriusan tersebut. Kualitas dub terasa cocok di setiap karakter, dengan intonasi percakapan yang setidaknya, tidak sekaku film-film silat lokal masa lampau.
Maka dengan semua desain yang ia usung, DOTA: Dragon’s Blood tampil sebagai sebuah seri anime adaptasi yang untungnya, bisa dinikmati sebagai sebuah kisah fantasi solid yang terpisah dari DOTA 2. Tidak perlu pengetahuan soal DOTA 2 untuk menikmati cerita, dunia, dan karakter yang ia usung. Sementara untuk gamer yang familiar dengan semestanya, ada ekstra apresiasi di sana-sini.
Promosi yang Membingungkan
Pujian memang pantas diarahkan untuk Valve yang butuh waktu setidaknya 7 tahun untuk bisa memahami dan mengerti bahwa salah satu game kompetitif terbesarnya ini, memang butuh ekstra kerja keras promosi untuk menarik minat gamer pendatang baru. Bahwa untuk sebuah game yang memang sulit untuk dipelajari dan dikuasai, mengandalkan hanya komunitas untuk terus berbagi informasi dan rasa cinta dari mulut ke mulut tidak akan pernah cukup. Apalagi ketika gamer DOTA 2 mulai membandingkan soal keseriusan dan komitmen Riot Games saat mempopulerkan League of Legends ke kalangan orang awam. DOTA: Dragon’s Blood menjadi awal.
Valve memang sepertinya memahami betapa pentingnya posisi DOTA: Dragon’s Blood saat ini. Begitu film animasi yang satu ini dirilis, mereka langsung memasangnya di semua lokasi yang bisa mereka pasang untuk mempromosikannya. Kita bicara dari halaman Steam hingga antar-muka utama in-game DOTA 2 yang menjadikannya sebagai highlight. Berita lebih baiknya lagi? Mengetahui bahwa konten ini akan berpotensi membawa gamer-gamer pendatang baru di masa depan, mereka juga langsung menawarkan konten tutorial baru untuk membantu proses pembelajaran yang lebih efektif. Namun di mata kami, promosi ini terhitung membingungkan.
Mengapa? Karena sudah jadi rahasia umum bahwa DOTA: Dragon’s Blood didesain untuk menarik gamer pendatang baru untuk memeriksa dan semoga, berujung “terperangkap” di DOTA 2 yang memang butuh suntikan player baru. Namun sayangnya, konten ceritanya justru berpotensi membuat gamer pendatang baru yang hendak menjajalnya, kabur sejak detik pertama.
Alasan pertama? Cerita yang berfokus pada sosok seperti Dragon Knight, Mirana, dan tentu saja – Invoker. Mengingat hero-hero inilah yang diperkenalkan via kisah yang ia usung, tentu tidak akan aneh jika gamer pendatang baru familiar dengan mereka dan memilih mereka sebagai hero yang hendak mereka jajal lebih dulu. Sayangnya, dari tiga karakter tersebut, mungkin hanya Dragon Knight yang terbilang punya skill yang lugas, sederhana, dan mudah dikuasai. Sementara untuk Mirana dan apalagi Invoker? Ini adalah dua karakter yang mustahil untuk bisa digunakan oleh gamer pendatang baru di awal. Bayangkan jika gamer-gamer pendatang baru ini langsung menjajal Invoker atau Mirana di match online pertama mereka atau sekadar mempelajari mereka di mode demo dan berujung frustrasi.
Karena alasan inilah, kami selalu merasa bahwa ada karakter lain dengan lore tidak kalah menarik yang sebenarnya bisa dieksplorasi oleh Valve untuk dijadikan sebagai film seri perdana. Sebagai contoh? Dinamika hubungan antara Lina dan Crystal Maiden misalnya, yang sebenarnya menarik untuk dieksplorasi. Kedua karakter ini juga terhitung sebagai karakter yang tidak sulit untuk dikuasai di DOTA 2, membuat gamer pendatang baru yang menikmati keduanya akan jauh dari kata frustrasi. Keputusan karakter-karakter yang dibawa Valve di DOTA: Dragon’s Blood di mata kami, membingungkan.
Alasan kedua? Hampir semua karakter super keren di DOTA: Dragon’s Blood saat ini tidak tersedia di DOTA 2 sebagai hero ataupun karakter sampingan sama sekali. Seperti yang kita tahu, film animasi ini memang menawarkan beberapa karakter original yang terikat pada kisah utama yang diusung. Ada pelayan tunawicara milik Mirana yang super kuat – Marci, ada Dragon Knights legendaris yang sudah membunuh begitu banyak naga – Kaden, dan seorang Elf penyembah Mene yang mematikan – Fymryn. Semua karakter yang kami sebutkan di sini adalah karakter yang dicitrakan keren dan tangguh, yang tak sulit untuk mencuri hati gamer manapun saat menikmati aksi mereka di DOTA: Dragon’s Blood.
Bayangkan jika Anda jatuh cinta pada salah satu di antaranya, memutuskan untuk terjun ke DOTA 2 untuk bisa memainkan mereka, dan berujung menemukan bahwa tidak ada satupun dari ketiga karakter ini yang tampil sebagai hero. Kondisi ini tentu saja akan berujung membingungkan dan mengecewakan di saat yang sama. Mengingat Valve hanya menyuntikkan maksimal 2 hero baru per tahun, bahwa potensi bahwa hanya satu dari ketiga hero ini yang akan muncul sebagai hero di update selanjutnya akan tetap sama mengecewakannya. Bayangkan lagi jika mereka justru jatuh hati pada Selemene dan menemukan dewi yang cadas ini juga hanya eksis dalam bentuk dialog Mirana dan Luna di dalam game, tanpa wujud fisik sama sekali.
Maka kombinasi kedua masalah ini membuat kami melihat DOTA: Dragon’s Blood sebagai upaya promosi yang membingungkan. Cerita fantasi yang ia usung mungkin akan membuat banyak gamer pendatang baru penasaran dan tertarik menjajalnya. Namun sejauh mata memandang, beberapa keputusan yang diambil Valve ataupun Studio Mir justru berpotensi untuk membuat pengalaman perdana tersebut sulit untuk dinikmati, baik karakter hero yang sulit untuk dikuasai ataupun hero keren yang justru tidak tersedia di versi video game-nya. Ini tentu saja sangat disayangkan.