Review Playstation VR2: Masa Depan di Depan Mata!
VR Generasi Selanjutnya

Anda tentu saja tidak bisa membicarakan sebuah perangkat generasi baru seperti Playstation VR2 tanpa membicarakan video game yang didesain untuk memanfaatkan semua fitur yang ia tawarkan. Sayangnya pada saat review ini ditulis, patch untuk dua game rilis andalan yang seharusnya bisa dijadikan tolok ukur – Resident Evil Village dan Gran Turismo 7 belum tersedia. Namun bukan berarti game-game yang kami jajal berujung tak terasa istimewa.
Dengan hanya mengandalkan Playstation 5 sebagai sumber tenaga yang secara menakjubkan bisa terfasilitasi dengan hanya menggunakan satu kabel USB-C saja untuk transfer data visual dan power di saat yang sama, Playstation VR2 tentu hadir dengan kemampuan untuk mempresentasikan visual yang jauh lebih tajam dibandingkan generasi pertamanya. Kualitas visual untuk setiap lensa kini terasa lebih jelas, tajam, dan tentu saja menawarkan detail yang lebih baik. Bahwa untuk sebuah headset VR generasi terbaru, ia berhasil menawarkan game-game VR yang jelas lebih baik dari segala aspek. Framerate lebih tinggi dan stabil juga menjamin kenyamanan bermain lebih asyik sembari meminimalisir rasa pusing yang mungkin terjadi.
Mengingat tak seperti iterasi pertama dimana Sony menyediakan sebuah software khusus yang berisikan demo-demo untuk memamerkan kemampuan sang VR secara optimal, ini tentu saja membuktikan optimisme Sony bahwa software “emas” andalan mereka di hari pertama rilis – Horizon Call of the Mountain akan mampu memenuhi tugas tersebut dengan baik. Hasilnya? Fantastis. Untuk sebuah software yang dirilis di hari pertama, ia memamerkan semua hal yang bisa dilakukan Playstation VR2 dan Playstation VR2 Sense Controller. Kita bicara dari kualitas visual fantastis, sensasi haptic dan adaptive trigger yang imersif, 3D audio yang bisa Anda nikmati dari teriakan para mesin, hingga tracking gerakan bola mata dimana Anda kini bisa memiilih opsi tanpa perlu menggerakkan kepala Anda sama sekali.


Daya tarik utama dari Horizon Call of the Mountain juga datang dari opsi main dimana Anda bisa menggunakan satu di antara dua posisi: duduk atau berdiri. Jika Anda memilih untuk berdiri, berdasarkan luas ruangan dimana Anda bermain dan luangnya, Anda bisa menikmatinya juga dengan sedikit pergerakan. Lucunya lagi? Selain memanfaatkan kontroler dengan analog, Anda juga bisa memilih opsi kontroler dengan gesture dimana Anda benar-benar harus menggerakkan tangan Anda seperti berlari misalnya jika Anda ingin bergerak. Tentu saja, semakin banyak pergerakan berarti potensi untuk lebih cepat lelah dengan keringat yang mengucur dari headset yang tetap saja didesain tertutup untuk bocornya cahaya.
Walaupun demikian, sensasi menggunakan panah dan busur Horizon Call of the Mountain dengan adaptive trigger yang ada ternyata tak seseru ketika kami menikmati Star Wars: Tales froom Galaxy’s Edge: Enhanced Edition yang memungkinkan Anda untuk memanfaatkan beragam blaster sebagai senjata utama. Anda bisa merasakan getaran mikro untuk setiap laser yang keluar dari senjata Anda, baik yang berbentuk bak pistol ataupun senapan mesin sekalipun. Dikombinasikan visual tajam dan juga audio yang fantastis, Anda akan benar-benar merasa di dunia Star Wars. Perspektif yang lebih unik juga ditawarkan game seperti Moss Book II yang alih-alih datang dari kacamata orang pertama, meminta Anda mengawasi dan mengendalikan seekor tikus ksatria dari perspektif bak dewa pengawas, yang tentu saja menawarkan tantangan tersendiri.


Sementara untuk urusan merasakan getar di bagian headset yang kini juga salah satu fitur Playstation VR2 untuk sensasi lebih imersif, ia banyak dimanfaatkan oleh Thumper yang kini tersedia native untuk Playstation 5. Setiap kali Anda berhasil mengeksekusi nota yang didesain untuk menyerang boss atau berhasil mengeksekusi kombo tertentu, Anda akan merasakan getar cukup hebat di headset Anda yang membuat serangan-serangan ini terasa lebih imersif. Terasa nyaman dan seru, kami tidak bisa bohong bahwa kami merasa fitur ini perlu dimanfaatkan lebih optimal lagi oleh Sony. Kami bahkan tak berkeberatan jika di masa depan jika Playstation VR2 menyediakan mode “PIJAT KEPALA” yang memungkinkan headset ini terus bergerar dalam beragam intensitas untuk membuat kepala Anda lebih rileks.


Pada akhirnya, melalui Kayak VR Mirage, kami menikmati sensasi game VR yang lebih damai dan terasa bak demo-demo game VR masa lampau yang eksperimental. Dengan menggunakan VR2 Sense Controller yang tetap akan bergetar setiap kali dayung Anda terkena air yang super jernih yang mengelilinginya, ini adalah game VR yang siap untuk menenangkan jiwa dan raga Anda, apalagi ketika Anda menikmati musik tenang yang ia tawarkan via earphone bawaan yang mampu mengunci suara dari luar dengan fantastis. Selama Anda tidak takut atau phobia dengan luasnya lautan kosong, game ini akan membantu Anda lebih rileks.
Maka lewat game-game seperti ini, yang kami yakin akan jauh lebih fantastis lagi di Resident Evil Village dan Gran Turismo 7 nantinya, Playstation VR2 menunjukkan tajinya. Visual datang lebih tajam, lebih halus, dan lebih indah yang kini juga dibalut dengan beragam teknologi di kepala, telinga, dan tangan yang siap untuk membuatnya terasa lebih imersif.
Akan Tetapi..
Akan tetapi harus diingat bahwa kehadiran Playstation VR2 tidak lantas menyelesaikan masalah-masalah klasik yang sempat terjadi di Playstation VR iterasi pertama sekaligus menimbulkan masalah yang baru. Bahwa terlepas dari semua perbaikan dan penyempurnaan yang ia tawarkan di segala sisi, ia setidaknya memuat dua “masalah” yang menurut pantas kami bicarakan.
Pertama, ia tidak lantas secara otomatis menghapus rasa pusing yang sering Anda temukan di game-game VR terlepas dari fakta bahwa ia menawarkan visual lebih tajam, kesempatan untuk melakukan kalibrasi jarak lensa, hingga framerate lebih tinggi. Jujur saja, kami sempat mencicipi Horizon Call of the Mountain di awal dalam mode berdiri. Namun rasa pusing dan hendak jatuh langsung terpicu begitu sekuens memanjat harus dilakukan dalam posisi kepala yang mendongak ke atas. Kami langsung menyerah dan memutuskan untuk memainkannya dalam mode duduk. Toleransi untuk rasa pusing memang lebih baik di mode ini, namun tetap saja, kami hanya bisa mencicipinya hingga maksimal 45 menit sebelum butuh beristirahat.
Tetapi perlu diingat pula bahwa rasa pusing ini tentu saja bukan sesuatu yang “PASTI TERJADI”. Ia akan sangat bergantung pada toleransi masing-masing gamer, yang tentu saja levelnya bisa saja berbeda. Anda akan menemukan yang jauh lebih sensitif yang bahkan tak lagi mampu mencicipi game VR di menit pertama, namun tidak sulit juga menemukan mereka yang bisa menikmatinya dalam periode berjam-jam tanpa kesulitan. Yang ingin kami bicarakan di sini adalah fakta bahwa kehadiran Playstation VR2 tidak lantas menganulir masalah pusing ini secara instan untuk semua orang.


Masalah kedua yang cukup disayangkan? Backward Compatibility. Ketika Sony memastikan Playstation VR2 tidak akan bisa dimainkan di game-game Playstation VR pertama dalam mode backward compatibilty sekalipun, kami termasuk gamer yang memahami situasi ini. Dengan skema kontrol yang jauh berbeda dan juga spesifikasi teknis yang diusung, ini menjadi pengorbanan yang terdengar rasionaol. Namun ada satu kasus yang membuat kami mengernyitkan dahi.
Bukan sebuah video game, melainkan sebuah konten konser VR yang tersedia di sesi media, kami tidak bisa lagi lebih girang membayangkan apa yang bisa ditawarkan Playstation VR2 dengan konser VR milik Utada Hikaru –Laughter in the Dark yang tersedia untuk Playstation 4 di masa lalu. Ingat ini bukanlah sebuah video game, melainkan sekadar konser pasif dimana level interaktivitas yang bisa Anda lakukan hanyalah memilih jenis kamera dan kedekatan Anda dengan Utada Hikaru yang tengah menyanyi di atas panggung. Bayangkan betapa kecewanya kami ketika konser ini ternyata dihitung sebagai “game Playstation 4” dan satu-satunya cara untuk menikmatinya adalah dengan kembali menghubungkan Playstation VR generasi pertama. Kami kehilangan Mbak Utada Hikaru bersama dengan upgrade ini….



Hal ekstra lain yang tetap terjadi, yang untungnya tak bisa dihitung sebagai “kekurangan” adalah fakta bahwa dengan Playstation VR2 sekalipun, Sony tetap tidak bisa menangkap pengalaman VR yang seharusnya hanya dengan gambar-gambar pasif. Screenshot game yang Anda lihat di artikel ini memang sudah menggunakan aspect ratio 16:9, namun tetap gagal menangkap keseluruhan gambar yang Anda lihat secara langsung di headset VR Anda. Hal lainnya? Ada banyak fitur lain seperti opsi kalibrasi lensa yang user-interface-nya hanya bisa Anda lihat di layar VR Anda, yang notabene tidak bisa dipotret mengingat si Playstation VR2 cukup pintar untuk menggelapkan konten layarnya sendiri ketika dijauhkan dari kepala Anda. Hal ini juga berlaku untuk mode Cinema bak layar bioskop jika Anda menikmati konten-konten non-VR dengannya. Sulit untuk memamerkan apa yang sebenarnya dilakukan Playstation VR2 dalam kondisi seperti ini, hal yang sama yang juga terjadi di Playstation VR pertama.










