Review Legend of Zelda – Tears of the Kingdom: Tak Sesempurna yang Dibicarakan!
Tak Sesempurna yang Dibicarakan: Sebuah Pengakuan Dosa

Anda yang mengikuti kami JagatPlay selama setidaknya satu dekade terakhir tentu paham bahwa kami seringkali berusaha mengejar dan menyelesaikan artikel review secepat kami bisa setelah artikel preview game yang tak mungkin selesai dalam 20 jam misalnya dilepas. Niat itu jugalah yang sempat kami tanamkan di Tears of the Kingdom di awal rilisnya yang diikuti dengan sesi gaming yang intens. Sesi gaming yang kemudian terdistraksi dengan rilisnya Final Fantasy XVI, adiksi pada game indie yang saat ini masih dalam status early access – Halls of Torment, dan juga niat pushing rank DOTA 2 yang mendominasi. Berita paling buruknya? Niat kami untuk kembali ke Tears of the Kingdom, yang notabene kami beli dengan uang kami sendiri, tiba-tiba lenyap dan nihil.
Benar sekali, penantian Anda pada artikel review ini sayangnya tidak berisikan mimpi-mimpi indah bagaimana kami begitu berdedikasinya hingga kami ingin menyelesaikan semua hal di Tears of the Kingdom agar review ini menjadi super lengkap dan komprehensif. Bahwa penantian Anda pada artikel review yang sudah terlambat sekitar lebih dari dua bulan ini justru mengakar pada satu fakta misterius yang kami jadikan sebagai pondasi dari penilaian, bahwa kami MALAS untuk kembali ke Tears of the Kingdom dan menyelesaikannya.

Situasi ini tentu saja terhitung unik. Mengapa? Karena untuk sebuah video game yang ditempeli dengan skor sempurna di begitu banyak situs gaming raksasa dan embel-embel “Calon terkuat GOTY” yang sepertinya tidak terbantahkan, Tears of the Kingdom justru menimbulkan efek yang bertolak belakang seiring dengan panjangnya waktu kami meninggalkan dan mengabaikannya. Padahal sebagai seorang gamer, kami juga bersikukuh dan yakin bahwa adalah sebuah indikator yang jelas bahwa sebuah game “berkualitas” setidaknya untuk game single-player dengan cerita, adalah ia menyediakan cukup motivasi untuk membuat Anda terus bergerak dan pada akhirnya, menyelesaikannya. Ketika ia gagal menawarkan motivasi tersebut? Tentu ada sesuatu yang salah pada kami atau pada si video game itu sendiri. Penelahaan yang kemudian membuat sub-judul artikel reviewi di atas mengemuka.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kami sudah terlalu tua untuk terlibat dalam game yang sepertinya butuh waktu puluhan jam untuk diselesaikan ini? Namun di sisi lain, kami tidak pernah merasa bosan menghabiskan waktu sekitar 72 jam, secara berkesinambungan, untuk meraih platinum Final Fantasy XVI yang notabene dibutuhkan diselesaikan di tingkat kesulitan tertinggi. Apa karena kami sebegitu terdistraksi-nya hingga niat kami hilang? Namun sekali lagi, game yang berkualitas tinggi harusnya tetap bisa menjaga dan mendorong motivasi tersebut, bagaimanapun caranya. Di sebuah dunia utopia, sebuah dunia dimana review ini ditulis setelah kami menyelesaikan si game hingga akhir, Tears of the Kingdom harus menendang dan meremukkan sedikit pun niat untuk kembali dan kembali lagi ke Halls of Torment ataupun DOTA 2.
Maka tidak ada lagi kesimpulan yang lebih rasional, bahwa setidaknya di sudut pandang kami, Tears of the Kingdom bukanlah game yang sesempurna seperti yang dibicarakan banyak orang. Pertanyaan lanjutannya, apa yang membuat “ketidaksempurnaan” tersebut berubah menjadi rasa malas untuk kembali? Kami merenung dan berusaha mengenali apa yang menjadi pondasi masalahnya. Hasilnya?
Pertama, jika harus membandingkan, strukturnya sendiri benar-benar tidak berbeda dengan Breath of the Wild. Pada akhirnya game ini akan berkutat pada segudang Shrine yang bisa Anda selesaikan dan kebebasan eksplorasi sejak awal, dimana Anda bisa berpetualangan kemanapun Anda inginkan. Namun pada akhirnya, akan ada beberapa misi utama yang menuntut Anda menyelesaikan beragam Temple berbasis elemen penuh puzzle membingungkan di akhir. Terlepas dari semua hal baru yang ia usung, dari kekuatan hingga luasnya vertikal dunia yang ada, format ini tetap sama dengan apa yang sudah kami rasakan di Breath of the Wild sebelumnya.


Kedua? Harus diakui, misi menyelesaikan Temple yang notabene jadi bagian dari beberapa misi utama yang ada ini tidak menawarkan pengalaman yang sama menyenangkannya dengan proses eksplorasi, pencarian Shrine, dan aktivitas sampingan lainnya. Bahkan ini bisa dibilang menjadi salah satu misi utama kami malas kembali ke Tears of the Kingdom. Membayangkan bahwa akhir petualangan Anda harus diisi dengan aktivitas memutar otak panjang menyelesaikan beberapa puzzle pelik yang tersebar di sebuah Temple, yang kemudian ditutup dengan pertarungan boss yang tidak selalu seru, membuat kami berujung mengurungkan niat untuk menyelesaikannya. Tidak hanya karena konsep ini seperti terasa bertele-tele, ia juga terasa mengesampingkan aktivitas dari Tears of the Kingdom yang sebenarnya lebih menyenangkan- yakni aksi eksplorasi dan petualangan yang ia tawarkan.
Ketiga? Bukan luas dunia Tears of the Kingdom yang berkontribusi, namun begitu banyaknya misi utama dan misi sampingan yang kini tersusun rapi dalam daftar benar-benar membuat kami merasa kelimpungan dan lelah hayati bahkan sebelum berusaha menyelesaikannya lebih dulu. Membayangkan puzzle temple di awal memang sudah membuat niat ini turun, namun membayangkan bahwa aktivitas lain yang harus Anda selesaikan juga berkutat untuk mencari 10 pola raksasa di tanah dengan kolam kecil yang harus Anda kunjungi untuk memahami perjalanan Zelda jadi ekstra beban tambahan yang tidak pernah Anda tahu harus Anda pikul. Ini masih belum membicarakan beragam misi sampingan yang solusinya kadang-kadang tidak semudah yang Anda bayangkan. Ada yang meminta Anda untuk pergi lebih jauh ke area tertentu, mencari sesuatu, hingga yang lebih kompleks misalnya – terus menyelesaikan misi-misi yang disediakan oleh NPC spesifik yang bisa Anda temui di setiap Stable yang ada.


Keempat? Walaupun kami tidak tahu seberapa besar kontribusinya, namun melihat progress dari gamer-gamer di dunia maya justru membuat semangat kami bermain menurun alih-alih menyemangatinya. Perasaan tersebut tidak datang dari beragam kendaraan dan mecha super keren yang mereka racik, yang sejak awal kami sadari memang akan berada di luar kemampuan kreativitas kami. Yang membuat semangat kami turun justru datang dari sesuatu yang mungkin tak terasa signifikan – jumlah Zonai Batteries yang mereka miliki sebagai sumber tenaga untuk hal yang mereka bangun. Melihat bagaimana player-player ini memiliki baris demi baris Zonai Batteries sempat membuat kami bersemangat di awal untuk mendapatkan hal yang sama. Namun yang kami temukan? Adalah fakta pahit bahwa ternyata butuh waktu panjang dan grindy hanya untuk menambahkan satu bar kecil saja. Perbandingan ini “membunuh” lebih jauh niat kami untuk melanjutkan Tears of the Kingdom.

Pada akhirnya, kami juga harus mengakui bahwa rasa cinta kami yang berat dan super tulus untuk Breath of the Wild beberapa tahun yang lalu sayangnnya sulit untuk direka ulang di Tears of the Kingdom ini. Rasa cinta tersebut sepertinya datang dari rasa kagum untuk ide-ide gila dan orisinalitas Nintendo yang berhasil menawarkan dan mengeksekusi begitu banyak elemen baru yang tidak akan mudah kami temukan di game lain, sebuah apresiasi yang tidak lagi bisa lebih tinggi. Memasuki Tears of the Kingdom dan menemukan bahwa ada begitu banyak formula pengalaman yang serupa dengan Breath of the Wild alih-alih ide gila super radikal yang baru membuatnya tak semegah, seindah, dan semengagumkan seri pertamanya.
Kesimpulan

Tears of the Kingdom mungkin menjadi review teraneh kami karena alih-alih membicarakannya secara lengkap setelah proses permainan yang panjang, ia justru hadir sebagai justifikasi mengapa kami berujung tak ingin kembali mencicipi dan berujung melantarkannya begitu saja. Tears of the Kingdom tentu saja jauh dari kata buruk. Bahwa kami sendiri cukup setuju dengan sentimen banyak media dan gamer bahwa ia adalah salah satu game terbaik di tahun 2023 ini dengan kans meraih gelar “Game of the Year” yang sulit untuk dibantah begitu saja. Namun kami sendiri harus mengakui bahwa pengalaman yang ia tawarkan secara pribadi tak mewakili “kesempurnaan” seperti yang dirasakan banyak gamer yang lain.
Kami tentu saja jatuh hati pada bagaimana game seluas ini bisa berjalan di Nintendo Switch, yang di atas kertas terdengar seperti kemustahilan. Atau bagaimana kekuatan baru yang ia usung kini mendorong energi kreativitas Anda selangkah lebih jauh dibandingkan seri sebelumnya, sembari mermpertahankan interaksi berbasis physics yang bahkan dijadikan solusi pintar untuk ragam puzzle yang ia usung sendiri. Namun di sisi lain, “kemalasan” kami untuk kembali mencicipinya juga bagi kami menjadi sebuah indikator yang jelas bahwa ada sesuatu yang kurang di Tears of the Kingdom. Sesuatu yang entah bersumber dari kami atau memang menjadi indikasi bahwa ada sebuah hal yang mencederai.
Namun di luar hal tersebut, kami tetap tidak ragu merekomendasikan Tears of the Kingdom untuk semua pemilik Nintendo Switch, terlepas apakah mereka familiar dengan seri Zelda atau tidak sebagai sebuah franchise. Pengalaman Anda mungkin akan berujung fantastis, unik, dan menyenangkan di saat yang sama. Tetapi pertanyaan selanjutnya juga akan berkutat pada satu hal yang tak kalah esensial – seberapa banyak waktu yang bisa Anda investasikan untuknya.
Kelebihan

Luas dunia horizontal dan vertikal yang mengagumkan
Desain puzzle masih dibangun cerdas, terutama untuk ragam Shrine yang ada
FUSE dan ULTRAHAND jadi kekuatan baru yang menyegarkan sekaligus mendorong kreativitas
Segudang misi sampingan yang seru untuk diselesaikan
Petualangan kini akan ditemani para Sage yang berkontribusi besar
Eksplorasi tetap terasa menyenankan dan memuaskan
Pertarungan tetap menawarkan tantangan tersendiri dan butuh kehati-hatian
Kekurangan

Jumlah misi utama dan misi sampingan bisa membuat Anda terasa kelabakan
Level Temple sebagai dungeon tidak semenarik sensasi eksplorasi yang ada
Sulit untuk mengabaikan pencapaian teknis lebih nikmat jika saja Nintendo Switch lebih kuat
Cocok untuk gamer: yang menikmati Breath of the Wild, mencari game dengan sensasi petualangan yang kuat
Tidak cocok untuk gamer: yang ingin pengalaman yang cepat dan lugas, mudah merasa kelimpungan dengan begitu banyak tugas dan puzzle