Review Beyond – Two Souls: Penutup Generasi yang Manis!
Sayangnya, Minim Pilihan Moral yang Menggugah

Jika harus dibandingkan antara keduanya, kami pribadi tidak segan memilih Heavy Rain sebagai proyek yang mampu menghasilkan pengalaman gaming yang jauh lebih baik dan menggugah, dibandingkan dengan Beyond: Two Souls ini sendiri. Apa pasal? Karena pada dasarnya, Heavy Rain menawarkan lebih banyak konflik moral dan hati nurani di sepanjang permainan dibandingkan Beyond ini. Berapa banyak dari Anda yang sempat tertegun, sedih, trauma, atau bahkan kebingungan ketika salah satu chapter di Heavy Rain meminta Anda untuk memotong jari sang karakter utama – Ethan Mars sebagai ganti dari nyawa sang anak yang tengah diculik oleh Origami Killer? Konflik seperti inilah yang kurang dieksploitasi di Beyond: Two Souls.
Karena pada akhirnya, konflik moral seperti ini justru menjadi bagian paling memorable dan tidak terlupakan dari Beyond: Two Souls, alih-alih semua cerita paranormal, keindahan visual, atau sekedar akting Ellen Page yang memesona. Kami bertemu dengan dua titik skenario yang begitu menggugah yang mungkin terkesan remeh. Pertama, ketika si Jodie remaja harus berhadapan dengan bully yang begitu menyedihkan dan memalukan ketika tengah berada di pesta ulang tahun. Keterikatan emosional terbangun dan untuk alasan yang tidak jelas, Anda seolah bisa merasakan kesulitan yang tengah dihadapi oleh Jodie. Pilihan untuk membiarkan semua hal ini lewat atau membalas dendam dengan menggunakan Aiden menyentil moral dan hati nurani kita pribadi. Haruskah kita membalas dendam untuk semua perlakuan tidak menyenangkan ini? Atau ikhlas dan membiarkannya? Hell, we give the tastiest sweet of revenge!




Chapter kedua yang mampu menawarkan sensasi itu adalah ketika Jodie untuk pertama kalinya, mengudang Ryan – pria yang sudah lama menarik perhatiannya, untuk menghabiskan malam di apartemenya. Mempersiapkan apartemen, membersihkan ruangan, mencari resep masakan dan memasak, hingga memilih baju yang sesuai mungkin terdengar membosankan, namun benar-benar sangat membantu Anda membangun kerikatan emosional dengan karakter yang satu ini. Namun di sinilah, Anda justru menimbang perasaaan Jodie dari kacamata Aiden. Aiden yang tidak setuju dengan sosok Ryan sebenarnya memiliki banyak kesempatan yang terbuka lebar untuk menghancurkan kencan pertama ini. Menghancurkan perabotan, menakut-nakuti Ryan, atau memperlihatkan ketidaksenangan bisa Anda terapkan di sini. Lalu Anda mulai bertanya pada diri sendiri, apakah semua perlakuan ini akan membuat Jodie senang? Apakah Ryan memang buruk untuk Jodie? Dari keterikatan emosional sebagai Jodie, Anda juga bisa merasa simpatik dengan sudut pandang Aiden yang berusaha melindungi Jodie dari berbagai ancaman.
Sayang seribu sayang, hanya dua momen inilah yang benar-benar memerangkap kami dalam cerita yang berusaha disuntikkan Quantic Dreams di Beyond: Two Souls. Ada begitu potensi untuk menghadirkan sensasi serupa di sepanjang permainan, namun tidak dimanfaatkan dengan baik. Dengan usaha untuk menyuntikkan beragam genre dan sensasi, yang muncul dari Beyond: Two Souls justru perasaan inkonsisten, kegagalan untuk menawarkan pengalaman gaming yang benar-benar menggugah. Seandainya mereka bertahan dengan apa yang berusaha mereka tawarkan di Heavy Rain.
Performa Ellen Page yang Luar Biasa




Motion Capture adalah masa depan industri game, Quantic Dreams seolah membuktikan hal tersebut dengan memperlihatkan performa yang luar biasa lewat segudang artis yang mereka bawa di Beyond: Two Souls. Jodie Holmes membawa nama besar Ellen Page, sementara Nathan Dawkins dilahirkan dari sosok Willem Dafoe yang ikonik. Tidak hanya sekedar meminjam wajah dan tubuh mereka, Beyond: Two Souls dibangun tak ubahnya sebuah film Hollywood berbudget besar. Teknologi sudah memungkinkan proses pengembangan game menangkap semua ekspresi wajah, gesture dan animasi gerak, serta voice acts mereka secara langsung. Hasilnya? Luar biasa. Anda bisa menangkap rasa frustrasi Dafoe atau tangis dan rasa sakit yang harus dipikul oleh Page sebagai Jodie di setiap kesempatan cut-scene yang ada. Tidak perlu diragukan lagi, Beyond: Two Souls menjadi sebuah monumen pembuktian yang mungkin bisa menarik lebih banyak developer untuk menempuh hal yang sama.










