Review Free to Play: Mimpi itu Tidak Selamanya Indah!
Seperti Bercermin

Jujur dan lugas, inilah pesona Free to Play sebagai sebuah film dokumenter. Ia tidak hanya menjual semua hal manis yang bisa dicapai dengan gaming professional, tetapi juga semua hal buruk yang bisa terjadi karenanya, terutama dari fakta bahwa “pekerjaan” ini bukanlah hal yang mainstream di masyarakat awam, apalagi mereka yang berasal dari generasi tua. Video game masih dilihat sekedar sebagai permainan yang tidak memberikan efek positif apapun. Dan betapa mengejutkannya, bahwa stigma seperti ini bahkan masih melekat untuk para gamer yang sudah beranjak menuju level selanjutnya.
Menonton Free to Play tak ubahnya bercermin dengan sebuah kaca besar yang selama ini tidak pernah kita sadari. Bercermin bahwa terlepas dari budaya, agama, ataupun ras yang disandang, kehidupan mereka yang menyandang status sebagai seorang gamer ternyata harus melewati proses serupa, dilihat sebagai kelompok “main-main” yang tidak memiliki hidup yang signifikan di masyarakat. Apa yang terjadi pada Hyhy dan reaksi keluarga yang meliputi semua aksinya di kancah professional sangat merepresentasikan status kita sebagai gamer, professional maupun amatir, khususnya di Asia. Fokus yang begitu besar pada pencapaian di sisi akademis dan tuntutan untuk terus melanjutkan pendidikan tanpa boleh “bermimpi” di luar jalur mainstream selalu menjadi tantangan dari generasi tua. Mimpi kita untuk menjadi gamer professional seringkali runtuh bahkan jauh sebelum dimulai karena absennya dukungan dari orang-orang terpenting di hidup kita.

Perjalanan Fear dan Dendi juga terasa begitu “dekat” dengan apa yang sebagian besar kita alami, faktor pendorong yang akhirnya membawa kita memasuki dunia game dan menyandang status sebagai seorang gamer tidak selalu berasal dari keinginan untuk mengejar sekedar kesenangan. Tidak sedikit dari kita yang mulai mengenali industri ini sebagai pelarian dari masalah sehari-hari yang terlalu sulit untuk ditundukkan dan diatasi dengan cepat. Video game menjadi tempat “beristirahat” yang begitu nyaman untuk memberikan ekstra energi dan waktu bagi otak – tubuh untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi, lalu hidup dan berusaha menyelesaikannya. Bukan lari dari masalah, tetapi memberi ruang eksklusif yang selama ini memang terasa begitu “mahal”. Kehilangan ayah di usia yang muda, baik Fear maupun Dendi menjadikan DOTA 2 sebagai sarana pelarian yang kemudian diseriusi menjadi sebuah karir yang tidak pernah diprediksi sebelumnya.
Terlepas dari asal mereka yang tersebar di tiga penjuru dunia yang berbeda – Amerika Serikat, Ukraina, dan Singapura, apa yang terjadi dengan kehidupan Hyhy – Dendi – Fear sebenarnya tidak banyak berbeda dengan banyak hal yang terjadi dengan kita sebagai gamer. Yang membedakan kita dan mereka? Dedikasi dan pengorbanan yang berani dilakukan untuk mengejar sang mimpi, sementara sebagian dari kita lebih memilih untuk tunduk pada ketakutan bahwa jalan karir seperti ini akan berakhir buruk di masa depan.
Diracik dengan Luar Biasa

Selain cerita yang memang menarik untuk disimak dan membantu kita mendapatkan pengalaman yang lebih personal dengan kehidupan gaming professional di balik DOTA 2, Free to Play menjadi film dokumenter yang sangat bisa dinikmati karena kemampuan Valve meracik semua formula yang tepat. Atmosfer sinematik yang kentara berkat angle kamera yang dibangun dengan sangat baik menjadi salah satu nilai jual film ini. Namun daya tarik utama tentu saja terletak di beragam CGI yang disuntikkan oleh Valve sebagai dramatisasi dari beragam event utama yang terjadi di ajang The International pertama. Beberapa momen epik yang menentukan keberhasilan masing-masing player kini dibangun ulang menggunakan CGI, membantu visualisasi pertempuran tersebut dari kacamata orang ketiga. Sesuatu yang belum Anda bayangkan sebelumnya.



Valve juga menyuntikkan begitu banyak konten ekstra di Free to Play via fitur “Bonus Features” yang ada. Berisikan beberapa scene yang tidak berhasil masuk ke versi rilis finalnya, Anda bisa melihat sisi personal yang lebih mendalam dari Hyhy – Dendi – Fear, terutama dari lingkungan hidup di sekitar mereka. Tidak hanya itu saja, Bonus Features ini juga memuat beberapa proses teknis di balik penciptaan Free to Play itu sendiri, termasuk musik dan proses motion capture dari beragam CGI yang disuntikkan di dalamnya.