Review Transistor: Eksekusi Nyaris Sempurna!
RPG Isometrik Unik

Membicarakan game-game RPG yang mengambil sudut kamera isometrik, maka Anda akan bertemu dengan game-game sekelas Diablo, Baldur’s Gate, atau Dragon Age: Origins yang sebagian besar memang cukup kentara mengintegrasikan elemen game action ke dalamnya. Alih-alih seperti game RPG Jepang yang berjalan bergiliran dengan mekanik yang bahkan terhitung kompleks, game action RPG isometrik seperti ini memberikan kesempatan bagi Anda untuk menyerang dan melontarkan semua skill aktif yang diinginkan secara langsung, tanpa hambatan. Alur pertarungan super cepat yang membutuhkan respon gerak lebih baik menjadi tuntutan utama. Secara garis besar, genre ini jugalah yang menjadi kekuatan utama Transistor itu sendiri.
Namun berbeda dengan game bergenre serupa yang membedakan serangan biasa dan skill ke dalam dua kategori yang berbeda, Transistor mengintegrasikan keduanya ke dalam satu ranah yang sama. Setiap serangan (disebut Functions) yang bisa Anda sematkan ke dalam bar di bawah akan secara otomatis menjadi serangan “biasa” Anda, yang bisa Anda picu secara terus-menerus tanpa perlu menghabiskan resource tertentu. Transistor menyediakan empat slot Functions yang bisa Anda gonta-ganti sesuai dengan kondisi pertempuran yang Anda hadapi.


Tidak hanya sekedar bertarung secara real-time, Red juga bisa memicu satu kondisi bernama “Turn” yang akan secara otomatis menghentikan waktu dan membawa Anda ke dalam sebuah gaya gameplay RPG yang berbeda total. Dibagi dalam dua fase – perencanaan dan eksekusi, Turn bisa disebut sebagai implementasi konsep turn-based yang lebih modern. Masuk ke dalam mode ini, waktu akan berhenti, dan Anda bisa meminta Red bergerak atau menyerang musuh secara bebas. Namun jumlah gerakan yang bisa Anda picu akan dibatasi sebelum akhirnya dieksekusi. Konsep seperti ini mungkin terdengar terlalu sederhana dan membuat gameplay menjadi terlalu mudah. Untungnya, tidak. Untuk setiap Turn yag Anda picu, Anda harus berhadapan dengan konsekuensi yang fatal – tidak bisa menyerang dan mengakses Functions hingga bar aksi Anda kembali penuh. Anda mungkin bisa melemparkan damage besar dengan Turn, namun ia akan membuat Anda rentan untuk diserang selama beberapa detik ke depan. Mengetahui kapan bermain dengan Turn atau sekedar menyerang biasa, akan menjadi kunci Anda untuk menundukkan Transistor.


Namun dari semua keunikan gameplay yang ditawarkan oleh Transistor, kehadiran Functions boleh dibilang sebagai identitas yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Tidak hanya sekedar “skill” yang biasa Anda temukan di game-game action RPG, Functions dikembangkan sebagai sistem serangan yang jauh lebih kompleks. Apa pasal? Karena alih-alih sekedar menggunakannya, Anda bisa mengkombinasikannya dengan Functions yang lain dan melahirkan sebuah varian Functions dengan efek yang jauh berbeda. Sebagai contoh? Anda bisa menggabungkan Functions yang bisa menghasilkan kemampuan Stun dengan Divide dan Poison. Hasilnya? Setiap serangan yang Anda luncurkan akan menghasilkan efek tersebut. Tidak lagi efektif utnuk pertempuran yang Anda jalani? Anda bisa membongkar Functions ini dan mengintegrasikannya kembali dengan Functions lain dan menciptakan sebuah Functions baru. Dengan ratusan kombinasi yang bisa Anda hasilkan, apalagi dengan kemungkinan untuk menyematkannya sebagai skill pasif juga, Anda punya kebebasan yang hampir absolut untuk menyelesaikan Transistor dengan gaya Anda sendiri. Limitasi Functions yang bisa digunakan lewat kuota bernama “Memory” juga memaksa Anda untuk bermain secara efektif.

Hasilnya? Anda akan secara konsisten dipicu untuk terus bereksperimen dengan serangkaian Functions yang Anda dapatkan di sepanjang permainan untuk mencari satu serangan yang benar-benar efektif untuk menetralisir setiap ancaman yang ada. Bongkar, pasang, dan sesekali tewas karena serangan yang ternyata berujung pada nol besar akan menjadi pemandangan yang seringkali terjadi. Namun, semua proses tersebut akan mematangkan Red dan Transistor itu sendiri. Namun Anda harus berhati-hati, karena Function juga berfungsi tak ubahnya “nyawa kedua” Anda di dalam permainan. Ketika bar HP sudah mencapai angka nol, Red akan hidup kembali secara instan dengan mengorbankan salah satu Functions di dalam bar sebagai tumbal. Sang Functions akan hancur dan tidak bisa digunakan hingga Anda mencapai jumlah checkpoint tertentu. Semakin memaksa Anda untuk bermain dengan lebih hati-hati.


Bagaimana jika pada akhirnya, Anda akhirnya berhasil menemukan sebuah kombinasi Functions mumpuni yang cukup untuk menghancurkan apapun, terlepas dari varian The Process yang menghalangi perjalanan Anda? Supergiant Games menyuntikkan sebuah elemen gameplay baru bernama “Limiters” yang berfungsi tak ubahnya modifikator tingkat kesulitan namun dengan kompensasi yang menggoda. Memasang Limiters akan menghasilkan efek tertentu yang akan membuat perjalanan dan pertempuran Anda semakin sulit, namun menawarkan persentase jumlah EXP yang lebih besar di akhir. Setiap Limiters ini menghasilkan efek yang cukup merepotkan, apalagi jika Anda terjebak dalam kuantitas musuh yang luar biasa besar. Anda juga akan disuguhkan dengan beragam tantangan ekstra dalam bentuk “Test” yang juga menyumbangkan sejumlah besar experience points.
Nilai Estetik yang Luar Biasa!

Terlepas dari kualitas gameplay yang super unik, ada lebih banyak alasan untuk jatuh cinta dengan Transistor, terutama dari nilai estetik yang ia tawarkan. Seperti kekaguman yang sempat kami rasakan ketika mencicipi Bastion untuk pertama kali, Transistor juga menawarkan sensasi visualisasi dan audio yang membuat setiap pengalaman berjalan dalam kualitas paling optimal. Hampir tidak ada alasan untuk tidak jatuh cinta dengan game yang satu ini.


Sebuah setting ala Steampunk dan permainan warna kontras penuh efek partikel memang membuat Transistor hadir dengan kualitas visualisasi yang memukau. Desain sang senjata utama – The Transistor itu sendiri, karakter protagonis dan antagonis dibangun ciamik. Tidak hanya itu saja, audio yang ditawarkan juga tidak kalah luar biasa. Seperti halnya Bastion yang disuguhkan dengan narasi yang tampil begitu baik, pemilihan suara dan akting yang ditawarkan oleh si Transistor sendiri – si pedang yang rajin berbicara ini – pantas untuk diacungi jempol. Setiap kalimat yang dilontarkan disusun dengan rapi dan dilemparkan dengan intonasi suara yang penuh emosi dan meyakinkan. Rasa kagum juga pantas dilayangkan untuk pemilihan soundtrack yang juga sama memukaunya. Dari sisi estetika, ia nyaris sempurna.
And the story? Equally awesome..