JagatPlay NgeRacau: Hidup ini Bukan Games!
Dari Cerdas Menjadi Terbelakang

Okay, kita masuk ke dalam ranah yang lebih serius. Gua mungkin termasuk salah satu saksi yang ngelihat dengan jelas bahwa main game secara berlebihan memang bisa bikin prestasi akademis lu hancur berantakan. Gua lupa gua pas SMP atau SMA, sempet ngelihat temen gua yang prestasi akademisnya bagus di jenjang sebelumnya jadi kacau balau karena keseringan nginep di warnet karena satu nama – Ragnarok Online di kala itu. Secara akademis, video gaming secara berlebihan (ingat, BERLEBIHAN) memang bisa ngacauin prestasi lu di sekolah. Namun dari cerdas menjadi terbelakang? Tunggu dulu. Ini argumen yang berbeda.
Di dalam KBBI, cerdas tidak pernah soal prestasi akademis. Cerdas didefinisikan sebagai sempurna di perkembangan akal budi (untuk berpikir dan mengerti), sesuatu yang justru ditonjolkan sebagai salah satu aspek utama gaming. Video game selalu berputar pada masalah demi masalah dan berakhir pada menguji kemampuan kita untuk menyelesaikannya. Dari beragam puzzle sulit, menemukan hubungan antar beragam clue yang ada, hingga “sekedar” menentukan strategi untuk menundukkan musuh sulit tertentu. Semua hal yang harus kita pakai dengan cara “mempelajari” dan “memahami”. Banyak penelitian juga yang berakhir menyetujui hal tersebut, bahwa kita menjadi problem solver yang cukup efektif karena terus dilatih di aspek ini. Apakah materi di sekolah pernah menguji Anda hingga seperti video game melakukannya? Tidak, kita dilatih jadi mesin penghafal teori dan rumus. Sesuatu yang didefinisikan sebagai “cerdas” di kalimat ini.
Jikalaupun, di skenario terburuk, video game menghancurkan prestasi akademis kita, apakah kita langsung pantas disejajarkan dalam kategori “terbelakang”? Sang motivator bisa jadi menggunakan kata ini untuk mengkategorikan Anda sebagai kelompok yang tidak bisa tampil sama optimalnya dengan kelompok yang dianggap lebih “serius”. Tapi kalau sampai harus masuk ke ranah terbelakang? Agak sedikit berlebihan. Setiap orang punya minat yang berbeda, kemampuan akademis yang berbeda, motivasi yang berbeda pula. Berharap bahwa semuanya akan bergerak dengan kecepatan sama dan punya sarana pelepas stress yang dianggap “produktif”, agak kurang rasional. Lagipula, selalu ada kelompok “terbelakang” sebagai konsekuensi dari sebuah grup. Di sebuah kelas berisi 40 orang, dengan 30 orang mendapatkan nilai 10, seorang anak yang setengah mati belajar selama dua hari berturut-turut dan berakhir mendapat nilai 7.75 di kelasnya, tetaplah “terbelakang”.
Hidup ini bukan Games? Miskin?

“Hidup itu bukan games, karena terbukti kemiskinan itu pedihnya nyata bagi orang yang menelantarkan masa mudanya”
Kalimat ini begitu ambigu dan “indah”, hingga kami rasa, kami perlu mendobraknya satu per satu. Hidup itu bukan games, ya ya ya, ini udah jadi ucapan yang sering banget kita dengar dari beragam penjuru, dan banyak dari kita yang mengamini.
Hidup itu bukan permainan? Oke, setuju. Tapi pertanyaan selanjutnya, lantas, apa itu hidup? Pertanyaan ini agak dalam, tapi bikin cukup bikin penasaran. Seperti apa kita harus melihat hidup? Sebuah medan perang? Sebuah track lomba lari? Sebuah kompetisi dimana harus ada yang kalah dan yang menang? Ini yang gua bingungin. Setidaknya, ada satu hal yang bisa gua tangkap dalam status gua sebagai seorang gamer. Begitu gua melihat hidup sebagai sebuah games, gua yakin gua akan menikmati setiap momen di dalamnya, seperti gua menikmati video game pada umumnya. Selalu ada puzzle yang sulit, selalu ada monster yang susah dibunuh, selalu ada equipment yang sulit didapat, tapi kita semua ngerti, bahwa enggak ada yang enggak mungkin di video game asalkan kita punya dedikasi dan komitmen buat ngelakuin. Hidup itu bukan games, lantas apa?
Pemikiran bahwa banyak bermain game sama dengan kemiskinan adalah logika yang bahkan lebih absurd daripada semua kalimat di atas. Mengapa? Kalimat ini kerasa keluar dari orang-orang yang besar di masa lalu yang enggak pernah mengerti gimana pergeseran arah perkembangan zaman saat ini, dimana semuanya mulai digital. Lantas, mengapa video games = kemiskinan? Apakah karena dianggap video games itu bikin anak jadi malas ngelakuin banyak hal dan akhirnya berujung jadi manusia “gagal” di masa depan? Begitu? Logika ini di tengah masuknya industri game sebagai industri hiburan mainstream saat ini dengan perputaran uang yang besar di dalamnya, bisa dibilang, enggak lagi valid. Yang dilakukan video game saat ini adalah membuka ketertarikan untuk sesuatu yang lebih besar di masa depan.
Semua orang yang tertarik melukis dan berakhir menjadi pelukis, dimulai dari mencintai lukisan atau melukis itu sendiri, bukan? Semua orang yang tertarik memasak dan berakhir menjadi koki tenar, dimulai dari mencintai masakan atau makanan, bukan? Hal yang sama sebenarnya bisa dilihat dari video game. Buat beberapa anak, video game mungkin dilihat sebagai sekedar sarana pelepas stress, yang juga bisa dimaklumi. Namun miskin? Jangan salah dulu. Sama seperti halnya kasus koki atau pelukis di atas, video game bisa ngasih anak opsi soal ketertarikan dan masa depan karirnya di industri game sendiri. Entah berapa banyak kasus programmer atau developer ngetop di industri game sekarang yang semuanya mulai tertarik masuk dan berkarir di dalamnya, karena memainkan Sonic atau Super Mario di NES dulu. Programmer, artist, reviewer, atau atlit e-Sports, video game kini adalah bisnis ratusan juta USD. Ini bukan lagi zaman dimana semua orang harus Sarjana Ekonomi untuk sukses. Ini adalah zaman lima anak muda dengan skill gaming luar biasa, bisa memenangkan hadiah USD 10 juta tiap tahunnya.
Lagipula, enggak pernah ada yang namanya data jelas yang benar-benar ngebuktiin bahwa video game berlebihan selalu berujung pada kemiskinan. I mean, kita bisa melihat Indonesia. Entah berapa banyak orang yang terjebak di garis kemiskinan saat ini, yang kayaknya, presentasenya lumayan besar. Silakan di-survey dengan cermat, berapa banyak dari mereka yang jatuh miskin karena terlalu banyak main game pas mereka muda. Jika memang semua yang hidup di garis kemiskinan ini mengiyakan, bahwa video game = kegagalan menjadi premis yang enggak bisa dibantah. Tapi sekarang? Ucapan hanya tinggal ucapan.
Mengapa Video Game?

Dari semua pembicaraan kita bareng-bareng di atas, gua masih belum punya kesimpulan pasti mengapa video game yang menjadi fokus? Apa mungkin karena kita masih terlalu muda sehingga miskin pengalaman dan gagal ngelihat apa yang dilihat sang motivator, yang notabene, sudah pasti lebih banyak makan asam garam? Atau mungkin justru karena sang motivator yang sudah terlalu tertinggal informasi sehingga gagal paham bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi “kemiskinan” dan “kegagalan akademis” anak di luar video game? Entahlah, yang pasti, pertanyaan gua masih belum terjawab saat ini. Post gambar itu di-like 50.000 orang dan dibagi 3.300 orang lainnya, yang kini punya pemikiran “baru” dan “dangkal” soal video game. Yang bagi kita gamer, sebuah pekerjaan berat untuk kembali meluruskannya.
Gua rasa, suara gua mewakili banyak gamer yang di luar sana, yang sekarang mungkin sudah berkeluarga, bisa hidup sendiri tanpa merepotkan orang lain, dan sejauh ini merasa fine-fine saja dengan hidup yang dimiliki sembari terus gaming atau bahkan memperkenalkan video game ke generasi selanjutnya. Oke, gua atau mereka mungkin enggak naik Ferrari atau sering jalan-jalan keluar negeri buat dipajang di Facebook, but you know what, Life is a game, and for a gamer like us, it’s fun..