JagatPlay NgeRacau: Hal yang Dipelajari Gamer dari 2015!
Bahagia Ngelihat Indonesia Mulai Dilirik

Indonesia, perlahan namun pasti, apalagi dengan mulai banyaknya gamer yang mulai berjuang buat at least punya 1-2 game ori, mulai diperhitungin sebagai pasar yang enggak bisa lagi dipandang remeh begitu aja. Dimulai dari Steam, tentu aja, yang mastiin game-game ditawarin terlebih dahulu dengan mata uang Rupiah dengan harga-harga game baru yang juga disesuaiin di sana. Tahun 2015 adalah tahun dimana Sony akhirnya paham kalau penggemar Playstation 4 di tanah air itu banyak dan mulai ngelirik buat ngasih dukungan lebih baik sama pasar kita yang lumayan gede. Mereka mulai ngerilis trailer game eksklusif pakai bahasa Indonesia, bahkan mulai ngasih cover bolak-balik yang salah satunya muat deskripsi game secara penuh di bahasa Indonesia. Pas JagatPlay ketemu sama bos Sony di ajang GameStart 2015, mereka juga berjanji buat enggak sekedar pertahanin dukungan macam ini, tetapi juga naikin ini ke level selanjutnya.
Kita memang enggak harus kelewat bangga karena status kita saat ini memang masih enggak lebih dari sekedar konsumen di mata Sony atau Valve, misalnya. Tapi dengan status yang makin naik dan popularitas game ori yang makin tinggi, bukan enggak mungkin kalau lebih banyak publisher raksasa bakalan singgah dan ngasih support yang lebih. Siapa tahu, suatu saat di masa depan, kita bisa nikmati game AAA rilis terbaru dengan subtitle bahasa Indonesia resmi dari sono, atau bahkan dapat dubbing bahasa Indonesia langsung. Sementara buat developer lokal, siapa tahu mereka juga bisa dapat perhatian ekstra dan punya ruang lebih besar buat jabat tangan sama publisher kelas dunia karena ini. Mimpi memang mimpi, tapi bukan berarti enggak mungkin terjadi.
Mudah Luluh
Salah satu tren yang menurut gua lumayan menarik di Indonesia selama tahun 2015 kemarin adalah hadirnya banyak “gamer” cewek yang langsung ngeraih popularitas di media sosial, terutama Facebook. Beberapa bahkan berani buat nge-declare diri sebagai tim professional walaupun jumlah scene kompetitif yang diikutin dipertanyakan. Beberapa bahkan secara jelas muncul sebagai “brand ambassador” brand peripheral tertentu yang memang targetnya jelas, buat bikin perhatian gamer Indonesia, terutama yang cowok buat mantengin mereka terus dan terekspose dengan lebih banyak iklan yang mungkin akan membuat mereka tertarik jadi konsumen. Ini jadi tren yang gua lihat lumayan efektif di tahun 2015 kemarin, karena jelas, bahwa seperti sebuah bunga yang baru saja mekar, ini strategi berhasil bikin kita semua kayak kumbang-kumbang kelaparan yang kagak pernah lihat bunga sebelumnya. Bunga bermadu atau bunga karnivora yang siap mangsa lu? Kita enggak peduli, yang penting, bunga mannnnnnnn… Kalau ngelihat seberapa efektifnya ini strategi di sepanjang tahun kemarin, gua enggak akan kaget kalau banyak vendor produk peripheral di Indonesia mulai ngumpulin massa dengan cara yang serupa, nyari satu “gamer” cewek cakep buat nangkep perhatian.
Dan..
Nemuin fakta, bahwa apapun yang udah terjadi di tahun 2015 silam, tampaknya akan banyak terjadi lagi di tahun 2016 ini. Kalau kita akan ketemu lagi sama game-game overhype yang ternyata gagal buat nawarin kualitas mumpuni, game multiplayer yang komunitasnya mati dalam waktu singkat, film adaptasi game yang ternyata enggak memuaskan, sama fakta bahwa banyak brand yang akan gunaiin “gamer” cewek buat gaet lebih banyak gamer cowok di Indonesia sebagai konsumen. Tapi sekali lagi gua ingetin, bahwa pada akhirnya, kekuasaan untuk menentukan arah gerak industri game bekerja akan tergantung pada kita, konsumen yang punya uang. Kita selalu punya kekuatan untuk menyetir dengan menggunakan uang kita sendiri. Enggak suka? Jangan beli. Enggak yakin? Jangan lirik. Enggak setuju dengan kebijakan yang mereka ambil? Lu yang punya kuasa untuk enggak ngedukung itu. Semuanya bergantung sama pilihan kita pribadi.
Gua berharap sih tahun 2016 ini akan berakhir jadi tahun yang menyenangkan untuk kita semua. Sebuah tanggung jawab kita bersama.












