Review The Last Guardian: Calon Kuat Game Terbaik Tahun Ini!
Berpikir di Luar Kotak

Lantas, bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan The Last Guardian itu sendiri? Secara sederhana, untuk mereka yang familiar, Anda bisa menyebutnya sebagai kombinasi antara ICO dan Shadow of Colossus. ICO karena ia memuat sedikit elemen escort di dalamnya, dan Shadow of Colossus karena ukuran Trico memang membuat Anda harus memanjatnya untuk kesan pertama. Namun jika berbicara soal genre, The Last Guardian memang lebih cocok untuk dikategorikan ke dalam sebuah game platformer puzzle. Karena bukan action dan lusinan musuh yang akan menantang Anda di sini, tetapi justru puzzle yang harus Anda selesaikan. Kemana Anda harus melangkah, apa yang harus Anda lakukan untuk bisa bergerak ke tempat selanjutnya, dan apa saja yang bisa Anda manfaatkan.
The Last Guardian cukup untuk membuat banyak gamer merasa frustrasi, itu yang pasti. Karena tak seperti desain game modern pada umumnya yang biasanya akan langsung memberikan clue pasti, baik secara visual ataupun informasi tertulis apa yang harus Anda lakukan untuk bergerak ke tempat selanjutnya, game ini melepas Anda begitu saja. Tak ada informasi apa yang bisa dan harus Anda lakukan, tak ada penunjuk jalan dalam bentuk icon kemana Anda harus melangkah selanjutnya, bahkan tak ada clue soal apa yang bisa dan tak bisa Anda lakukan. Maka seperti game klasik di masa lalu, intinya adalah mencoba segala sesuatu yang bisa Anda coba, terlepas dari betapa tak masuk akalnya solusi tersebut di otak Anda. Ini adalah game yang mendorong Anda untuk berpikir di luar kotak.


Karena seperti halnya Anda, kami juga termasuk gamer yang mulai “dimanjakan” oleh desain game modern dimana segala sesuatu tantangan sekarang punya solusi jelas yang terlihat depan mata, baik sekedar dalam bentuk highlight atau clue kamera. Dan ketika dihadapkan pada The Last Guardian? Sang kreator – Fumito Ueda seolah menghancurkan hal tersebut dan membawa Anda kembali pada rasa frustrasi game klasik yang butuh usaha tersendiri untuk ditundukkan, tetapi selalu meninggalkan rasa kepuasan yang mendalam setiap kali berhasil melakukannya. Bahkan rasa puas itu akan sering Anda temukan dari hal-hal kecil, seperti sekedar menemukan solusi untuk bergerak ke tempat yang lebih tinggi, misalnya.
Satu yang pasti, game ini mendorong Anda untuk melupakan semua pakem yang Anda tahu soal desain game modern saat ini dan mulai menemukan kembali sebuah perspektif yang berbeda. Seperti halnya Anda, kami juga terbiasa memosisikan karakter utama sebagai solusi untuk semua puzzle dan masalah yang ada. Bahwa si Anak seharusnya bisa melakukan segala sesuatunya sendiri untuk memastikan Anda bisa bergerak ke tempat selanjutnya. Namun tidak di The Last Guardian ini, karena seperti tema utama yang ia usung, ini adalah perjalanan Anda bersama dengan Trico, dan ia adalah companion sejati yang Anda butuhkan untuk menyelesaikan rangkaian puzzle yang ada.


Pola pikir tersebut pun seolah diputarbalikkan dan dirombak dengan desain gameplay seperti ini. Seringkali kami berakhir tak bisa melakukan progress sama sekali dan mentok untuk waktu yang lama di satu area karena terperangkap pada mindset bahwa si Anak seharusnya bisa melakukan segala sesuatunya. Kami lupa menyertakan Trico dalam format solusi apapun yang kami pikirkan, dan ia ternyata, berakhir jadi katalis untuk jawaban yang selama ini kami cari. Salah satu contoh paling jelas ada di salah satu adegan dimana si anak tersangkut di atas pohon yang super tinggi. Insting gamer kita tentu akan langsung menggoyang-goyangkan si anak supaya ia jatuh, dan kemudian memprediksi, akan ada cut-scene di sana. Kami menjajalnya, tak berhasil. “Oh, mungkin harus menggerakkannya lebih gila dengan sedikit tombol arah”, tetap tak berhasil. Rasa frustrasi mulai masuk ke dalam raga dan umpatan hampir keluar dari mulut dan menuduh bahwa ini adalah bug menyebalkan yang gagal dibasmi oleh The Last Guardian sebelum rilis final. Kami lupa soal Trico.
Dan kerennya, setiap desain puzzle yang Anda temukan di game ini sendiri juga terhitung cerdas dan membuat Anda harus punya logika yang cukup kuat, tak sekedar bergerak dalam satu baris solusi yang terlihat jelas di layar. Seperti saat kami terjebak di dalam air misalnya. Anda tahu bahwa ada sebuah switch raksasa terletak di atas untuk membuka pintu utama, namun tak ada tangga di sekitar. Si anak yang mengapung juga tak akan bisa melompat cukup tinggi dan Anda sudah berenang cukup lama untuk mencari objek apapun yang ada di sekitar Anda, namun tak ada yang bisa digunakan sebagai pijakan. Puzzle yang satu ini bahkan cukup untuk membuat kami mematikan game, beristirahat sejenak, makan, sebelum otak tiba-tiba terbesit sebuah “ide gila”. Bagaimana jika kami meminta Trico untuk melompat dari tempat tinggi, menciptakan gelombang air cukup besar, hingga kami yang mengapung bisa ikut naik ke atas tanpa tangga? Dan voila! memang itu solusinya!
Si anak memang diperkuat dengan kemampuan untuk memberikan perintah kepada Trico. Namun genDESIGN – sang developer sepertinya memang sengaja untuk tak memberikan tutorial atau penjelasan lebih detail soal apa yang dilakukan oleh tombol perintah dengan kombinasi R1 + tombol utama ini. Ia didesain untuk mendorong Anda menjajal sendiri perintah ini sendiri dan melihat konsekuensi yang muncul darinya. Dan seperti halnya seekor binatang di dunia nyata, tak ada jaminan pula bahwa Trico akan langsung mengikuti perintah yang Anda inginkan. Anda harus terus melemparkan perintah untuk bisa ia mengerti, setidaknya hingga di titik cerita tertentu.

Satu hal yang lebih menarik? Desain beberapa level juga tidak mengharuskan untuk hanya menempuh satu solusi saja. Kami sempat menemukan beberapa titik permainan dimana Anda ternyata bisa menyelesaikannya dengan atau tanpa bantuan Trico sendiri. Misalnya? Ketika Anda berusaha mencapai tempat tinggi. Tak sedikit tempat tinggi yang hadir dengan desain platform kecil yang memungkinkan Anda untuk sedikit mendaki dan mencapai apapun yang berada di atas. Namun ketika di atas, Anda ternyata menemukan bahwa Trico ternyata bisa berdiri dan menyandarkan kakinya ke tempat tersebut untuk berakhir jadi “tangga” instan yang bisa Anda naiki tanpa perlu bersusah payah mendaki. Jika Anda sempat terpikirkan untuk melibatkan Trico di sini, Anda akan mendapatkan perjalanan yang lebih mudah. Pertanyaannya kini, sempatkah Anda memikirkannya?
Satu hal yang berhasil dilakukan The Last Guardian dengan gameplay seperti ini, apalagi lewat fakta bahwa Anda juga terkadang harus mencari makanan untuk Trico, adalah memastikan bahwa hubungan emosional antara si anak dan Trico bukanlah sesuatu yang muncul secara pasif lewat cerita saja. Anda akan merasakannya sendiri lewat desain gameplay yang ada. Dan pelan atau pasti, Anda akan merasa bahwa diri Anda di dunia nyata juga ikut berusaha membangun rasa percaya tersebut pada sosok Trico itu sendiri. Dari seorang gamer yang terus berusaha menyelesaikan segala sesuatunya seorang diri, menjadi seorang gamer yang mulai berusaha memanggil Trico di setiap kesempatan untuk melihat apakah ia punya solusi yang berbeda atau baru. Menarik, memang.
Trico – Binatang Terhidup di Sejarah Industri Game

Satu yang pasti, sulit untuk tak jatuh hati pada sosok Trico sendiri. Memang sulit melihatnya dari sekedar gambar statis yang Anda temukan di review kali ini, namun kami sendiri tak ragu untuk menyebut bahwa Trico, adalah binatang terhidup yang pernah kami temukan di video game manapun, setidaknya dari game-game yang sempat kami mainkan selama ini. Acungan empat jempol atau berapapun jempol yang bisa kami temukan di sekitar untuk Ueda dan tim pengembang AI untuk monster “imut” yang satu ini. Karena jika pun Anda bukan termasuk gamer yang senang dengan puzzle atau game dengan konten aksi yang minim, Anda tetap akan mengakui pencapaian kualitas yang berhasil mereka torehkan via sosok Trico.
Kita berbicara soal seekor binatang besar dengan kemauan, tingkah lucu, dengan begitu banyak detail yang memesona. Dari hal kecil, seperti kesenangannya memainkan rantai besi yang menjuntai ketika Anda memanjatnya seperti seekor kucing yang tertarik pada benang. Atau raungan manja dan penuh rasa takutnya ketika Anda memintanya untuk melompat masuk ke dalam air. Atau ketika ia tak bisa melepaskan pandangannya dari burung merpati yang melintas ketika pertama kali melihatnya. Terkadang Anda juga bisa melihat ia begitu iseng mmainkan makanan dalam bentuk tong yang Anda sodorkan. Ia biasanya mencakarnya terlebih dahulu, mendorongnya ke sana sini, sebelum melahapnya. Namun di saat yang lain, ia juga terkadang terlihat begitu lapar dan tak ragu untuk langsung memakan tong yang Anda lemparkan.


Ada begitu banyak detail yang membuat Anda jatuh hati dengan Trico, dan semakin membuat keinginan kami agar para programmer yang mengerjakan AI untuk Trico mendapatkan apresiasi yang sepantasnya. Bukan hanya sekedar soal binatang saja, tetapi juga detail yang memang mengesankan bahwa ia memang sebuah makhluk besar manis yang bernapas. Kita bicara soal binatang yang siap buang air jika memang ia butuh, yang akan menutup matanya secara reflek jika Anda memanjat terlalu dekat ke matanya, dan terkadang manja dan butuh dibelai seperti terlihat merindukan kehadiran Anda. Untuk respon terakhir, seperti binatang peliharaan Anda, hati kami cukup luluh untuk terus membelainya hingga beberapa menit. Menikmati momen yang terasa personal seperti ini.
Namun di sisi lain, desain seperti ini juga memang mempengaruhi progress gameplay Anda itu sendiri. Seperti yang sempat kami bicarakan sebelumnya, Trico adalah seekor binatang. Si anak memang punya kemampuan untuk melemparkan perintah namun Trico juga punya kebebasan, untuk tidak mengikuti sama sekali perintah tersebut. Maka yang Anda temukan, adalah sebuah rasa frustrasi tersendiri. Seperti ketika Anda meminta Trico menyelam misalnya, ketidakjelasan perintah apa yang harus Anda lemparkan dari keempat perintah utama yang bisa Anda berikan, berkontribusi pada rasa frustrasi itu sendiri. Namun bagi kami sendiri, ini adalah daya tarik The Last Guardian itu sendiri.

Bahwa fakta Trico tak selalu mentranslasikan perintah Anda dengan tepat dan berujung membuat Anda tak punya indikator pasti apakah perintah yang Anda lemparkan memang tepat atau tidak, justru berkontribusi pada sensasi bahwa Anda memang tengah berhadapan dengan sebuah binatang besar. Bahwa ini bukanlah kuda di game-game open-world misalnya, yang bergerak kemanapun analog kiri Anda bergerak dan berlari jika Anda perintahkan. Bahwa ia juga bukan sekedar karakter pendamping dengan visual binatang saja, yang kemudian berakhir jadi “robot” yang bisa Anda kendalikan begitu saja. Maka seperti anjing atau kucing peliharaan Anda di rumah yang sering mengacuhkan dan butuh diperintah beberapa kali untuk mengerti, demikian pula Trico.
Dari sekedar sifat dan tingkah laku, genDESIGN juga pantas mendapatkan acungan jempol untuk animasi gerak dan suara Trico yang keren. Bahkan design visual yang membuat setiap bulunya bereaksi pada angin atau lingkungan sekitarnya memang mengundang decak kagum tersendiri. Namun sayangnya, ia juga berkontribusi pada masalah utama The Last Guardian itu sendiri.