Review Resident Evil 7: Awal Baru yang Menjanjikan!
Arah Baru, Engine Baru

Anda tahu bahwa sebuah developer game benar-benar berniat untuk menghadirkan sebuah seri game yang optimal untuk mendukung apapun yang hendak mereka kejar, ketika mereka memutuskan untuk menciptakan engine mereka sendiri, alih-alih menggunakan engine pihak ketiga. Proses yang lebih kompleks ini biasanya dikejar untuk memfasilitasi fitur yang baru, atau mengejar sebuah nilai jual di format teranyar yang berbeda dibandingkan proyek mereka sebelumnya. Hal inilah yang dilakukan Capcom dengan Resident Evil 7 ini. Alih-alih menggunakan engine yang sudah ada sebelumnya, mereka memutuskan untuk menciptakan sebuah engine baru bernama RE Engine yang berakhir memesona.


Sekilas, Anda mungkin akan langsung teringat pada betapa mumpuninya Fox Engine yang disuntikkan Kojima di P.T. yang difokuskan untuk menciptakan kualitas visualisasi dalam ruangan yang lebih realistis. Dan hal inilah, yang berhasil dikejar oleh RE Engine ini. Atmosfer dalam ruangan terlihat lebih mencekam lewat detail objek-objek yang pantas untuk diacungi jempol, serta kualitas tata cahaya yang membuat tiap ruangan menjadi lebih dramatis. Detail objek terlihat luar biasa ketika diselidiki dari dekat, termasuk beragam senjata yang Anda gunakan. Efek visual lain seperti blur dan depth of field menghasilkan efek yang lebih dekat ke dunia nyata. Singkat kata, dari presentasi, hampir tak ada yang bisa dikeluhkan dari engine terbaru Capcom yang sepertinya memang didesain untuk game-game dari kacamata orang pertama ini.
Model karakter yang Anda temui juga sama baiknya, walaupun masih belum terhitung sempurna. Dua keluhan terbesar mungkin kualitas rambut yang masih tak baik dengan tracking mata model karakter yang masih tak bisa membaca kemana Anda tengah bergerak, membuat mereka terkadang berbicara menghadap ruang kosong. Sesuatu yang tentu saja aneh, untuk sebuah engine game modern. Namun yang menurut kami jadi kelemahan utama dari sisi presentasi adalah betapa absurd dan tak masuk akalnya karakter-karakter ini ditulis.


Kami tentu saja tak mempermasalahkan seberapa “realistis” sebuah game yang secara jelas menjadikan fiksi sebagai pondasi cerita utama. Hanya saja, sulit untuk tak memerhatikan bahwa reaksi beberapa karakter, dari animasi hingga voice acts berasa tak natural di akhir. Seperti contohnya? Ketika Ethan pertama kali bertemu Mia di ruang bawah tanah Baker Family. Reaksi normal seperti apa yang bisa Anda pikirkan untuk seorang suami yang sudah tak bertemu dengan istrinya selama 3 tahun? Ethan bereaksi seperti bertemu dengan wanita yang baru ia kenal dua minggu lalu, dengan tanpa gerakan memeluk atau sekedar intonasi suara yang memperlihatkan bahwa, ia rindu dengan wanita yang sekarang berdiri di depan matanya setelah waktu yang cukup lama tersebut. Datar, tak hidup, dan tak natural membuat karakter Ethan sendiri tak bersinar. Sementara di sisi lain, animasi dan voice acts yang mengisi The Baker Family berakhir fantastis dan pantas untuk diacungi jempol.
Kembali ke Akar!

Normal untuk khawatir dan takut bahwa seri ketujuh ini justru akan membuat Resident Evil, yang selama ini kita kenal sebagai game third person shooter, justru semakin jauh dari akar yang membesarkan namanya. Apalagi di demo-demo awal “The Beginning Hour” yang dilepas Capcom, Anda justru terlihat akan melawan makhluk supernatural, dan bukannya zombie seperti halnya seri-seri Resident Evil selama ini. Ada kecemasan bahwa Resident Evil 7 ini adalah usaha untuk meniru game-game horror murni seperti Outlast atau Amnesia, dan kemudian menempelkan label Resident Evil di atasnya untuk memastikan angka penjualan yang tinggi. Jika Anda termasuk gamer yang khawatir seperti ini, Anda boleh berlega hati. Karena ini masihlah Resident Evil yang Anda kenal. Bahkan kami tak ragu untuk menyebutnya, “lebih Resident Evil” daripada beberapa seri utama dan spin-off Resident Evil sebelumnya.
Terlepas dari perubahan menjadi sudut pandang orang pertama, Capcom sepertinya sudah mulai mengerti dan akhirnya mengaplikasikan apa yang lama dirindukan oleh para fans terkait franchise andalannya ini. Bahwa mereka ingin game ini kembali ke akar survival horror-nya, dimana rasa cemas selalu menghantui di atas atmosfer yang secara konsisten mengancam, resource terbatas yang membuat Anda harus berpikir dan menimbang, management inventory, hingga fakta bahwa Anda terkadang harus memutuskan untuk belari atau melawan. Semuanya ditawarkan oleh Resident Evil 7 ini dalam format yang lebih menyeramkan. Ia berhasil menyuntikkan sensasi bahwa Anda adalah seseorang yang rentan, apalagi di tingkat kesulitan yang lebih tinggi.


Dan Anda akan mendapatkan pengalaman Resident Evil yang sesungguhnya. Ancaman Baker Family yang secara konsisten menghantui Anda sebagai bagian dari pertarungan boss yang harus Anda lawan, serta beberapa monster yang lain, bisa Anda atasi dengan ragam senjata yang Anda dapatkan selama perjalanan. Bahwa ini bukanlah game horror murni seperti Outlast yang meminta Anda sekedar berlari dan berlari. Anda diberikan opsi (dan terkadang mengharuskan) untuk melawan balik, dan sisanya, adalah memastikan Anda menggunakan resource yang terbatas ini sebaik mungkin. Menyimpan peluru untuk momen yang tepat, menggunakan penyembuh hanya di saat yang kritis, hingga menghindari ancaman yang akan mengurasnya adalah sensasi klasik sebuah seri Resident Evil. Dan itu semuanya ditawarkan kembali di seri ketujuh ini.
Walaupun kami harus mengakui, ia memang disederhanakan. Pertempuran melawan boss yang seringkali adalah The Baker Family misalnya, tak sesulit ketika Anda melawan Nemesis atau binatang raksasa di seri Resident Evil klasik. Resource selalu hampir cukup untuk melakukan tugas tersebut. Puzzle juga tak akan cukup untuk membuat isi otak Anda terkuras dan memenuhinya dengan rasa frustrasi. Teka-teki kembali dengan tingkat kesulitan yang jauh lebih sederhana, yang terkadang meminta Anda untuk sekedar memutar objek tertentu, mencari sekuens aksi, hingga membaca clue yang secara rasional, seharusnya sudah bisa Anda kenali jawabannya dalam waktu singkat. Sebuah pendekatan yang membuatnya akan terasa lebih menggoda di kacamata beberapa gamer, namun mungkin mengecewakan untuk gamer yang lain.


Jika Anda termasuk gamer yang haus untuk ekstra tantangan, Capcom menawarkan tingkat kesulitan “Madhouse” untuk memuaskan rasa dahaga Anda demi sensasi RE klasik yang sulit. Bisa membukanya dengan menamatkan game ini setidaknya sekali, Madhouse akan membuat Anda jauh lebih mudah terbunuh, dengan resource yang bahkan lebih terbatas, dengan sistem auto-save yang dipermak untuk jarang terjadi, hingga penempatan item yang juga berbeda. Seberapa sulit? Cukup untuk membuat kami masih tak bisa melewati pertempuran boss melawan Mia di awal, ketika hampir mencobanya sekitar 30 menit untuk kepentingan review ini. Satu-dua kali serang sudah cukup untuk membuat isi perut Anda terburai, apalagi di tengah minimnya resource. Di Madhouse, fungsi untuk melakukan block serangan akan menjadi fungsi paling esensial yang bisa Anda gunakan.

Maka dengan sensasi survival horror yang semestinya, Resident Evil 7 menemukan akarnya kembali sebagai sebuah franchise yang besar karena genre tersebut. Bahwa ia tak jadi sebuah game horror murni dan tak jadi game action sepenuhnya. Ini adalah game yang cukup untuk membuat Anda terus merasa tegang dan terancam, apalagi lewat beberapa momen jumpscare yang pas, tetapi juga tetap memberikan Anda kesempatan untuk melawan balik. Seperti Resident Evil yang Anda kenal.