Review Nintendo Switch: Inovasi Butuh Bukti!
Kembali, Masalah Harga
Sepertinya akan sulit untuk membicarakan sebuah konsol Nintendo tanpa membahas soal harga konsol dan game yang ia usung. Kita tentu saja tidak sekedar berbicara soal harga konsol yang kini sudah menembus angka 6,5 juta Rupiah di Indonesia dengan tepat keharusan membeli dua buah game – 1-2-Switch dan Legend of Zelda: Breath of the Wild di Indonesia. Karena dengan fakta bahwa konsol ini tak lagi region-lock, Anda selalu punya opsi untuk melirik dan membelinya di pasar luar negeri seperti Amerika Serikat atau Jepang yang membuatnya lebih terjangkau. Permasalahannya ada di hal-hal yang justru membantu “menjual” Switch itu sendiri.
Karena jika Anda melirik beragam harga aksesoris dan game yang ditawarkan oleh Switch, maka dompet Anda akan ikut berteriak histeris, setidaknya di Indonesia. Untuk sebuah konsol baru, terlepas dari klaim soal teknologi yang ia usung, banyak aksesoris dengan harga yang bisa dibilang sulit untuk dirasionalisasi. Harga Pro Controller untuk Switch saat ini berada di kisaran harga 1,3 juta Rupiah atau hampir tiga kali lipat kontroler DualShock 4 milik Playstation 4. Memang Playstation 4 atau Xbox One terhitung sebagai “konsol tua”, tetapi Anda harus bertanya pada diri Anda sendiri, apakah harga jutaan Rupiah untuk sebuah kontroler adalah hal yang rasional. Kontroler Joy-Con Neon dan Gray ditawarkan di range harga yang serupa. Bahkan docking yang notabene sudah terbukti lebih banyak berisi plastik dengan komponen minim ditawarkan di USD 89 di Amerika Serikat.
Para penggemar Nintendo juga sepertinya mengerti bahwa ini hanyalah awal. Terlepas dari apakah harga tinggi memang terpengaruh karena statusnya sebagai teknologi yang baru atau tidak, Switch didesain dalam bentuk modular untuk menjual lebih banyak aksesoris. Hanya tinggal tunggu waktu hingga Anda menemukan kontroler Joy-Con dengan corak ekstra game-game eksklusif Nintendo di atasnya, seperti Pokemon, Zelda, atau Metroid yang pasti akan ditawarkan dengan harga yang bisa berakhir lebih tinggi lagi. Memang tidak ada keharusan untuk memilikinya, namun Switch tak bisa dipungkiri, bisa berakhir jadi sebuah konsol yang butuh harga tinggi untuk “dinikmati” secara optimal, apalagi jika Anda datang dengan kepribadian seorang kolektor.
Permasalahan lain? Harga game itu sendiri. Jika Anda cukup mengikuti perkembangan Switch setidaknya dalam dua minggu terakhir ini, Anda tampaknya sudah tahu bahwa mereka kini mengandalkan game-game rilis indie sebagai library pendukung sembari menunggu game eksklusif Nintendo itu sendiri. Kami dan Anda mungkin tak akan berkeberatan untuk menggelontorkan 700-800 ribu Rupiah untuk Breath of the Wild dengan kualitas yang fantastis. Namun USD 50 untuk sebuah game sekelas 1-2-Switch yang berperan tak ubahnya tech demo? Atau USD 40 untuk Ultra Street Fighter II yang notabene merupakan game lawas dengan ekstra fitur dan karakter? Atau I Am Setsuna – game JRPG racikan Square Enix yang tetap dijual dengan harga 500 ribu Rupiah, dengan konten sama dengan versi PC yang kini dijual 260 ribu Rupiah? Harga sepertinya akan jadi bahan perbincangan terkait game-game Switch di masa depan, indie ataupun tidak.
Kehadiran kebijakan seperti ini yang mungkin rasional karena implementasi catridge sebagai media rilis yang notabene lebih mahal, tetap saja berakhir “memberatkan” gamer. Sementara game-game indie multiplatform yang dirilis di platform ini juga berakhir harus menawarkan konten tambahan yang sepadan dengan harga yang ditawarkan. Karena jika tidak, gamer yang multi-platform, akan berakhir hanya mengandalkan Switch seperti halnya Wii U, untuk game-game eksklusif yang ia tawarkan saja.
Inovasi Butuh Bukti
Namun pada akhirnya, terlepas dari apakah ia tampil sebagai konsol hybrid dengan teknologi yang pantas mendapatkan acungan jempol, Switch tetaplah sebuah platform inovatif yang bukti pembuktian kepantasannya sendiri untuk dimiliki. Gamer yang memang menantikan game-game eksklusif Nintendo mungkin tak akan ragu meliriknya, mengingat Nintendo secara resmi sudah mencabut dukungan terhadap Wii U itu sendiri. Oleh karena itu, tak ada pilihan, Anda harus memiliki Switch untuk menikmati ragam game eksklusif keren Nintendo di dalamnya. Sebuah opsi yang terbatas.
Walaupun demikian, ada sedikit kekhawatiran soal eksistensi platform yang satu ini. Salah satunya? Mengakar pada rilis Breath of the Wild kemarin, misalnya. Bayangkan saja, sebuah platform teranyar yang menjadikan satu game open-world ambisius sebagai andalan di hari pertama rilisnya, berakhir tak mampu menjalankan game tersebut di framerate yang stabil, walaupun statusnya sebagai sebuah game eksklusif. Benar sekali, game pertama tak mampu berjalan di framerate stabil dan sempat mengalami freeze. Ini tentu saja memunculkan kekhawatiran soal kemampuan perangkat keras Switch itu sendiri. Jika game rilis pertama saja sudah mengalami masalah seperti ini, apa yang akan terjadi dengan game-game rilis setelahnya yang mungkin akan muncul dalam 1-2 tahun ke depan?
Apakah Breath of the Wild yang terlalu ambisius? Atau memang Switch itu sendiri yang terhitung lemah bahkan untuk game eksklusifnya itu sendiri? Untuk saat ini, tak ada yang punya jawaban pasti. Namun jika ternyata opsi kedua yang muncul, maka khawatir adalah sebuah perasaan yang pantas untuk muncul. Karena pada dasarnya, performa jugalah yang membuatnya hampir dipastikan, tak akan bisa menangani game-game rilis AAA multi-platform, bahkan untuk rilis di tahun 2017 ini sekalipun. Bahwa game-game sekelas Shadow of War, Battlefront, atau Call of Duty misalnya akan melewatkan platform yang satu ini. Bahkan untuk game sekelas FIFA, ia sudah dipastikan akan memuat versi modifikasi dari engine lawas dan bukan sekedar port dari versi PS4, Xbox One, atau PC.
“Tapi bukankah performa bukan segalanya?”, kami setuju soal itu. Namun bercermin dari apa yang terjadi dengan Nintendo Wii U, Nintendo saat ini punya dua opsi untuk memastikan Switch bisa terus memiliki daya tarik dan tak berakhir mengumpulkan debu atas nama menantikan game rilis eksklusif Nintendo untuknya. Karena jika itu yang terjadi, maka malapetaka Wii U yang tak didukung game third party bisa kembali terulang.
Pertama tentu saja membuatnya jadi platform yang lebih bersahabat dengan tak hanya game indie saja, tetapi juga gamer itu sendiri. Keputusan perusahaan Jepang yang “kuno” dengan melakukan copyright takedown untuk video-video Youtube soal franchise mereka saat ini adalah sebuah keputusan bodoh yang tak lagi relevan untuk era modern seperti ini. Apalagi jika mengingat mereka ingin menyuntikkan fitur merekam video di Switch itu sendiri. Nintendo sudah melakukan hal ini sejak Wii U dan ia sudah terbukti kontra-produktif. Mereka butuh belajar dari Sony dan Microsoft untuk hal yang satu ini untuk mempertahankan momentum dan popularitas. Semakin sedikit orang yang membicarakan game Nintendo, semakin keras pula lemparan bumerang tersebut akan kembali ke mereka. Sudah saatnya mereka meninggalkan pemikiran “kuno” tersebut.
Kedua, tentu saja memastikan jeda waktu antara rilis game-game eksklusif mereka tidak berselang terlalu lama. Karena jika harus bercermin dengan apa yang terjadi dengan Wii U, konsol tersebut butuh waktu sekitar 2-3 tahun setelah rilis untuk “matang” dan terlihat menarik di mata gamer. Alasannya? Karena pengembangan game-game eksklusif yang sudah diperkenalkan sejak awal rilis ternyata masih berada dalam proses awal, yang butuh 2-3 tahun untuk rampung. Semakin panjang waktu rilis antar tiap eksklusif, ditambah dengan absennya dengan game third party, akan membuat Switch berakhir mengumpulkan debu. Jika mereka tak bisa membuat Switch menangani game AAA terbaru, maka yang harus mereka lakukan adalah memperkecil waktu penantian satu game eksklusif ke yang lainnya.
Untuk saat ini, Nintendo Switch adalah sebuah mesin inovatif yang butuh pembuktian. Bahwa dari sisi teknis, ia harus memastikan bahwa “kesulitan” menangani Zelda bukanlah sesuatu yang akan merefleksikan kemampuan Switch sendiri. Sementara dari sisi perangkat lunak, ia punya banyak pekerjaan rumah untuk memastikan malapetaka Wii U tak terulang.