Review Little Nightmares: Ketika Dongeng dan Mimpi Buruk Menyatu!
Sebuah Kritik Sosial?

Bagi gamer yang mencintai Limbo atau Inside, maka Anda akan cukup familiar soal beragam teori para fans yang muncul ketika mereka menyelesaikan kedua game ini. Salah satu alasan terkuat dari fenomena tersebut karena keduanya memang tidak memberikan garis jelas soal plot seperti apa yang mereka usung. Bahwa menyelesaikannya akan membuat Anda justru mengembangkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Little Nightmares sendiri, untungnya, tidak berada di jalur “seekstrim” itu. Sebagai sebuah game dengan garis plot dasar yang jelas, Anda akan mendapatkan konklusi yang definitif soal usaha Six keluar dari The Maw di akhir. Kepastian cerita adalah bagian dari Little Nightmares.
Namun di sisi lain, ia juga membuat kami melahirkan satu pertannyaan besar – apakah ia harus dinikmati layaknya sebuah game yang memadukan dongeng dan mimpi buruk di satu ruang yang sama? Ataukah yang kami temui di sana merupakan sebuah metafora dan simbol yang justru, mengarah pada kritik sosial dari beragam kasus di dunia nyata? Karena seperti yang kami bicarakan sebelumnya, game ini sendiri sempat menyandang nama “Hunger” sebelum jatuh di bawah bendera raksasa Bandai Namco. Nama yang menurut kami, memang pantas untuk mewakili apa yang hendak ia bicarakan.
Dalam kasus seperti apa seorang anak yang terlihat kelaparan menyandang nama “Six”, sebuah angka saja? Otak kami pun berputar dan mulai melihatnya sebagai sebuah representasi yang seringkali melekat pada sekedar data. Bahwa ketika manusia, termasuk anak kecil sekalipun, mengalami satu masalah sosial dalam jumlah besar seperti kematian, kriminalitas, hingga kelaparan, ia tereduksi menjadi angka. Ada 1 juta orang tewas, ada 500.000 orang kelaparan, ada 2.000 kriminal lepas. Kemanusiaan yang lepas dan hanya dipresentasikan dengan angka.



Melihat Six yang kelaparan dan harus mencari sumber makanan alternatif selama usahanya keluar dari The Maw juga terasa begitu kontras dengan apa yang terjadi di dalam tempat angker itu sendiri. Anda bisa melihat bagaimana para koki mempersiapkan segudang makanan dengan bahan-bahan yang menggugah selera, hingga bagaimana para monster ini tanpa rasa bersalah, menyantap begitu banyak makanan dengan lahapnya. Semuanya dilakukan di atas fakta bahwa Six, seorang anak kecil, harus menanggung rasa lapar tanpa ada kepastian ia bisa mengisinya. Apalagi di beberapa sesi permainan, Anda juga akan bertemu dengan makhluk-makhluk kecil lain yang juga terlihat begitu kurus, sekarat, hingga beberapa darinya terlihat harus meregang nyawa dengan tubuh yang digerogoti tikus.
Apakah ini sebuah kritik soal masalah sosial yang terjadi di dunia nyata? Bahwa ketamakan dari segilintir orang justru menjadi sumber masalah untuk mereka yang tidak punya kekuatan untuk berteriak dan melawan, termasuk anak kecil sekalipun? Bahwa sikap dan tingkah laku konsumtif kita adalah sebuah aksi buta nurani yang tak pernah memerhatikan mereka yang lebih butuh? Ataukah ini memang sebuah cerita dongeng dengan konten penuh mimpi buruk, dan kami membacanya terlalu “jauh dan berlebihan”? Anda yang memutuskan.
Kesimpulan

Little Nightmares berakhir menjadi sebuah game puzzle platformer yang solid. Pendekatan visual yang dibangun di atas Unreal Engine 4 berhasil menciptakan sebuah dunia yang mencekam, di atas kontras karakter anak perempuan yang justru menghadapinya dengan pakaian yang terang benderang. Kerapuhannya membuat sesi gameplay stealth yang jadi salah satu elemen utama menjadi terasa lebih krusial, apalagi dengan rangkaian puzzle yang harus Anda selesaikan tanpa clue yang jelas. Anda harus berhadapan dengan sebuah dunia yang tak Anda mengerti, sebuah dunia yang siap menelan Anda hidup-hidup, tetapi juga dunia yang harus Anda hadapi untuk bisa bertahan hidup. Semua tantangan yang harus Anda selesaikan dengan kemampuan observasi. Kerennya lagi, ia juga berhasil memanfaatkan ragam efek suara dan efek getar di DualShock 4 untuk membuatnya bahkan lebih menegangkan.
Walaupun demikian, Little Nightmares tak bisa dibilang sebuah game yang sempurna. Salah satu yang jadi catatan kami adalah minimnya konten yang ditawarkan. Dengan cerita yang bisa diselesaikan dalam jangka waktu sekitar 5 jam, ia tak menawarkan banyak variasi gameplay seperti yang dilakukan oleh INSIDE, misalnya. Sebagian besar waktu Anda akan dihabiskan untuk bersembunyi atau mencari cara menuju ruangan selanjutnya, dan tentu saja, bersembunyi dari makhluk-makhluk The Maw. Ia juga tak menawarkan banyak replay value yang membuat Anda akan tertarik untuk mencicipinya berulang kali, mengingat sifatnya yang cukup lugas. Tak akan ada banyak clue tersembunyi yang bisa Anda kejar atau cari untuk mencari jawaban yang lebih jelas soal apa itu The Maw atau siapa itu Six. Ini adalah sebuah gmae yang konklusif.
Namun terlepas dari kekurangan tersebut, Little Nightmares adalah sebuah game puzzle platformer yang pantas untuk diacungi jempol. Ia menawarkan sebuah dunia yang cukup untuk membuat bulu kuduk Anda merinding, seperti melebur cerita dongeng dan mimpi terburuk Anda di dalam satu ruang yang sama. Puzzle yang butuh observasi dan desain karakter rapuh yang butuh perhatian ekstra juga membuatnya tampil menantang. Sebuah pengalaman yang memang pantas dengan harga versi original yang ditawarkan saat ini.
Kelebihan

- Desain dunia
- Puzzle tanpa clue jelas
- Efek suara yang mencekam
- Desain makhluk The Maw yang menyeramkan
- Cerita yang konklusif
- Kualitas visual yang keren
Kekurangan

- Tak banyak variasi gameplay
- Tak ada replay value
Cocok untuk gamer: yang mencintai INSIDE atau Limbo, mencintai game dengan elemen misteri yang kental
Tidak cocok untuk gamer: yang menginginkan aksi kental / kemampun melawan balik, tak senang dengan desain dunia yang gelap dan berat