JagatPlay NgeRacau: Tips Nge-Review Game ala Plad!
Subjektif dan Objektif
“Mas Plad, kalau review game tuh yang objektif donk!”, gua kayaknya pernah dapat komentar kayak ini. Entah karena review gua dilihat berat sebelah, atau yang komen simply enggak bisa terima kalau gua suka sama game yang dia benci, atau gua benci dengan game yang dia suka. Tetapi banyak yang sepertinya enggak ngerti kalau review game ataupun review apapun yang berbasis pengalaman, itu hampir mustahil objektif. Bahwa pengalaman yang gua rasaiin dan lu rasaiin, selalu bisa berakhir jadi sesuatu yang berbeda.
Satu-satunya review yang mungkin objektif adalah review berbasis data. Kalau review muncul enggak lebih dari intepretasi data yang notabene, dengan jelas nunjukin apa yang sebenarnya terjadi, begitu. Makanya kalau lu ketemu review berbasis data di JagatReview misalnya, antara Gatot di review Notebook atau Alva di Overclocking, lu akan ketemu review super objektif di sana. Karena mereka semuanya berbicara berbasis data, melakukan interpretasi dari sana, dan bisa mempertanggungjawabkan apa yang mereka tulis berdasarkan data kuantitatif tersebut. Kalau video game? Bagian mananya yang bisa lu ambil datanya? Exactly!
“Jadi video game itu pure subjektif?”, tunggu dulu. Kalau memang mesti nyelam lebih dalam sih, gua akan bilang kalau review yang berbasis pengalaman, baik film, video game, atau makanan sekalipun, itu punya sifat hybrid – objektif dan subjektif di satu ruang yang sama. Dan lewat ngebaca review, lu seharusnya bisa dapat itu dua konten sekaligus, baik diaduk jadi satu ataupun tidak. Biarin gua sedikit jelasin.
Objektif di sini mengacu pada fakta kalau reviewer berbasis pengalaman kayak gini akan ngebicaraiin hal yang memang secara faktual, mereka temuin di dalam produk yang mereka review. Sebagai contoh? Reviewer makanan ada yang nemu potongan kacang mete di bubur Pak Mamat, reviewer game yang nemu kalau game yang lagi dia mainin ternyata ada sistem lootbox-nya, atau reviewer film yang ngobrolin soal Batman yang memang ada di film Justice League. Itu semuanya bisa lu cek kebenarannya dan memang berbasis, pada apa yang ada dan bisa lu temuin kalau lu nyicipin media yang sama nantinya secara personal. Itu objektif. Pembicaraan soal itu bisa lu hitung sebagai sesuatu yang objektif di sebuah review, karena itu memang konten yang ditawarin di dalam produk itu sendiri.
Tetapi, reviewer basis kayak gini juga punya konten subjektif di dalamnya. Bahwa apakah ia menikmati atau tidak menikmati produk tertentu, itu bergantung pada penilaian si reviewer secara subjektif. Ada banyak faktor yang juga mempengaruhi itu, dari sekedar preferensi hingga pengalaman masa lalu. Si reviewer makanan bisa berakhir enggak suka dengan ditambahinnya kacang mete di bubur Pak Mamat karena di masa lalu, pas makan bubur ayam Pak Bambang yang juga ngelakuin hal sama, ini kehadiran kacang justru bikin rasa buburnya jadi runyam. Atau si reviewer film yang ngobrolin soal kehadiran Batman di Justice League. Si reviewer bisa aja ngobrolin soal betapa tidak sukanya ia sama akting Ben Affleck yang dia anggap, misalnya agak datar kalau dibandingin sama si Gal Gadot yang ekspresif misalnya. Di situ, kandungan konten subjektifnya.
Atau kita ambil contoh reviewer game, dengan gua sebagai contoh. Game seperti FIFA 18 misalnya, bisa berakhir nawarin konten yang secara objektif, memang kaya dan beragam. Tetapi karena gua sendiri enggak terlalu enjoy buat game berbasis olahraga, entah karena memang preferensi gua yang lebih kuat di game RPG atau karena gua selalu disampah-sampahin setiap kali main FIFA lawan temen misalnya, membuat gua berakhir enggak bisa terlalu enjoy main FIFA 18. Atau karena gua sendiri misalnya, udah punya pandangan negatif soal EA dan sistem lootbox mereka yang notabene kentara di FIFA 18. Preferensi genre game gua dan keengganan gua untuk menoleransi sistem lootbox pada FIFA 18 misalnya, bisa bikin keseluruhan review gua jadi negatif. Sementara di sisi lain, reviewer yang cinta mati sama game bola bisa berakhir muji-muji itu game. Sekuat itulah elemen subjektivitas di dalam review video game atau produk apapun yang berbasis pengalaman di sono.
Jadi, apa yang bisa lu lakuin ketika lu udah jadi seorang reviewer video game misalnya? Kalau buat gua pribadi, gua selalu berusaha memastikan untuk mengambil pendekatan mumpuni yang sejauh ini efektif – “JANGAN SOK TAHU”. Kalau lu berhadapan dengan sebuah game yang lu enggak familiar secara personal, jangan aplikasikan terlalu banyak proyeksi konten yang subjektif di dalam review lu. Bikin konten objektifnya lebih dominan dan bicaraiin soal fitur. Lalu konten subjektif masuk untuk ngobrolin kira-kira pendekatan seperti apa yang menurut lu efektif dan tidak, dan apakah lu berakhir enjoy atau enggak dengan itu game. Kalau lu berhadapan dengan game yang genrenya lu sangat familiar dan kuasai, lu bisa tambahin lebih banyak konten subjektif di sana hingga bahkan, dominan. Kalau lu udah ngebangun expertise di itu genre, gua rasa pembaca juga akan tertarik untuk ngedenger atau ngebaca perspektif lu soal game itu sendiri. Lu bisa tambahin obrolan soal sistem gameplay yang lebih dalam, komparasi sama game lain yang menurut lu mirip, sampai spekulasi soal kira-kira apa yang ditawarin di masa depan.
Intinya adalah tahu diri. Jangan berusaha memaksakan diri untuk nambahin terlalu banyak elemen subjektif untuk game yang lu sebenarnya enggak terlalu kenal dan paham, dan di sisi lain, jangan terlalu membuat game yang sebenarnya menarik dan seusai dengan passion lu jadi terasa kayak review yang standar dan “dingin”. Gua rasa lebih bijaksana untuk mengakui kalau lu enggak tahu soal perihal tertentu daripada harus memaksakan diri dan terlihat “sok tahu”. Lebih bijaksana juga untuk menyuarakan opini berimbang dan rasa cinta lu pada satu game tertentu, alih-alih diam atas nama takut berseberangan dengan opini publik, misalnya.
Mari ke Pantai!
Satu hal yang selalu gua terapin di review gua dan berusaha bikin dia jadi lebih punya nilai, adalah dengan menambahkan detail sebaik dan selengkap mungkin untuk ngebantu siapapun yang baca, punya perspektif lebih jelas soal apa yang mereka temuin nanti. Tapi ini detail bukan spoiler yak, yang notabene buat beberapa gamer (termasuk gua sendiri) memang nyebelin. Terus, apa yang mesti lu lakuin?
Gua selalu memperlakukan setiap review gua seperti lagi ngerjain ulangan Mengarang Bahasa Indonesia di sekolah (walaupun gua gak tahu anak-anak sekarang masih ada apa kagak ini mata pelajaran. Gua udah tua, damn it!). Untuk ngebantu lu punya gambaran yang lebih jelas, gua akan memberikan satu perumpamaan soal apa yang pengen gua kejar di setiap review game yang gua tulis. Bahwa detail memang bisa mengubah segalanya.
Sekarang bayangkan, lu hari ini berangkat Karya Wisata bareng temen-temen sekelas lu yang jumlahnya 20 orang. Hari ini dengan bis sekolah, lu akan berangkat ke Pantai Pasir Panjang misalnya, dengan estimasi waktu sampai jam 9 pagi. Guru Bahasa Indonesia lu minta untuk nulisin pengalaman lu soal Karya Wisata ini dan dikumpulin besok dalam bentuk karangan / narasi. Lu akan makan siang jam 12 siang, dan aktivitas akan selesai pukul 6 sore dimana semua anak udah kudu kumpul di parkir bis. Nanti ketua kelas akan mulai absensi buat mastiin enggak ada yang ketinggalan, dan lu akan pulang ke sekolah sebelum balik ke rumah masing-masing.
Kita bicara soal pantai. Apa yang bisa lu pikirin dari sebuah pantai? Ya, seharusnya sama. Bahwa ada potensi kalau lu dan 20 teman lu yang lain akan berhadapan dengan satu pengalaman yang sama – sebuah daerah luas penuh dengan pasir, angin sepoi-sepoi, laut yang terus menerjang dengan ombak-ombak kecil, suara deru ombak yang enggak berkeseduhan, dan sebuah stan milik warga setempat dimana lu bisa beli kelapa segar yang harganya bikin nyekik. Itu adalah sebuah pengalaman yang seharusnya, dirasaiin sama 20 anak yang lain selain elu. Bahwa mereka ketemu dengan pantai, ombak, angin, dan tempat jualan kelapa segar bangsat yang sama. Terus, apa yang membuat pengalaman lu berbeda?
Kuncinya adalah detail. Karena sejak lu tiba di gerbang sekolah untuk nungguin keberangkatan bis hingga saat pulang nanti, ada banyak hal yang seharusnya menangkap perhatian lu dan lu anggap menarik untuk dibicarakan. Bahkan bukannya enggak mungkin, detail-detail yang lu perhatiin ini ternyata “istimewa” hanya punya lu doank karena enggak ada satupun yang merhatiin, bikin karya tulis lu jadi punya nilai personal yang berbeda dan unik. Cuma lu doank yang ngelihatin si Anton bolak-balik WC sebelum bis berangkat sembari keringat dingin, karena doi ternyata salah makan. Cuma lu doank yang ngeliatin Nina sama Dodi ternyata duduk berduaan di ujung pantai untuk waktu yang lama dan pegangan tangan. Cuma lu doank misalnya yang ngeliatin si Ana, gebetan yang udah bikin jantung lu dag-dig-duer hari ini pakai pita warna pink yang cute habis, setelah selama ini pakainya warna biru. Cuma lu doank yang lihatin Ibu Jessi – ibu guru pendamping lu dan Pak Joko – guru BP lu ternyata cipokan di belakang bis, padahal masing-masing udah punya keluarga, misalnya. Untuk yang terakhir ini, bisa jadi senjata lu dapat nilai karya wisata dengan nilai sempurna kalau mau lu pake.
Tapi terkadang, detail juga enggak harus soal hal yang besar, tetapi juga bisa beragam hal kecil yang mungkin enggak terlihat signifikan, tetapi bisa ngasih “warna” dan “tekstur” pada tulisan. Anggap aja, setelah menanti lama, Albert akhirnya mutusin buat nembak Lily pas acara karya wisata di pantai itu. Si Albert karena saking alay-nya, akhirnya nembak pakai bersujud satu lutut udah kayak orang mau lamaran nikah, sambil ngasih bunga mawar. Lily, yang udah lama suka, akhirnya menyatakan “Iya” untuk permintaan Albert ini. Ini aksi disaksikan oleh 18 teman lainnya dan elu. Seperti yang bisa lu prediksi, acara yang seharusnya “ISTIMEWA” ini berakhir jadi “biasa” karena sudah pasti, 18 teman lainnya akan menuliskan soal kejadian ini di karya tulis mereka. Minus mungkin, si Nina dan Dodi yang peduli setan dan masih asyik duduk di ujung pantai, yang sekarang sepertinya sudah mengalami eksalasi dari pegangan tangan menjadi pegangan bukan-tangan. Tetapi bukan berarti, lu enggak bisa dapat detail dari acara mendadak ini.
Bahwa ada sesuatu yang tetap bisa lu tangkap sendiri untuk memberikan tekstur dan warna yang lebih lengkap soal proses nembak Albert pada Lily. Cuma lu doank yang misalnya merhatiin kalau si Nina dan Dodi ternyata enggak ada di lingkaran teman-teman yang lagi nyorakin si Albert. Cuma lu doank yang nemuin ternyata pas si Albert nembak, dia milihnya mawar warna pink yang kata Mbah Google, memang punya nilai romantisme sendiri. Cuma lu doank yang ngeh kalau Alex yang selama ini memang suka sama Lily, sedikit terisak, dan maksa tersenyum pas tahu si Lily memutuskan ngejawab “Iya” sambil tepuk tangan dengan terpaksa. Dan cuma lu doank yang ngeh, kalau sekarang Ibu Jessi dan Pak Joko udah enggak kelihatan lagi di belakang bis. Bababam!
Detail kayak gini yang sebenarnya, di mata gua, memberikan nilai tersendiri untuk review, termasuk video game. Bahwa bukan sekedar buat ngebuktiin kalau lu main sendiri itu game dan kagak sekedar nge-copas atau nge-translate hasil review orang lain, ini juga bikin review game lu jadi unik dan berbeda. Ada sesuatu yang menangkap perhatian lu yang mungkin enggak ditangkap sama orang lain. Ada sesuatu yang menurut lu pantas dibicarakan yang mungkin buat reviewer lain, enggak penting buat diobrolin. Ada sesuatu yang menurut lu pantas buat didorong buat mancing diskusi, yang dianggap sama reviewer lain enggak perlu banyak dibahas. Kesempatan buat nyari dan nge-explore lebih jauh detail seperti ini memang enggak akan selalu muncul di semua game. Namun begitu mengemuka, ditambah dengan passion yang ada di dalam tubuh lu, akan ngehasilin sesuatu yang berbeda dan unik. Baik untuk sesuatu yang lebih baik, ataupun lebih buruk.
Tapi perlu diingat pula, ini bukan berarti lu bisa menulis dan mengungkapkan sesuatu yang mengada-ngada hanya untuk sekedar membuat review lu terasa berbeda. Lu enggak bisa berbohong atau nambahin detail yang seharusnya enggak ada, atau ngebuat detail yang seharusnya enggak signifikan jadi seolah begitu luar biasanya dengan pemilihan bahasa yang berlebihan, atau bahkan sekedar membeo terkait fitur atau kontroversi yang mungkin, enggak lu rasaiin dan temukan sendiri seolah-olah lu memang ngalamin hal yang sama. Lu enggak boleh menarik kesimpulan apa yang terjadi setelah Ibu Jessi dan Pak Joko tidak lagi terlihat di belakang bis, sebelum lu memang memergoki apa yang mereka lakukan setelahnya. Karena bukan tidak mungkin, mereka sekedar nongkrong di belakang tenda untuk menikmati kelapa masing-masing.
Lalu apa tujuan akhir dari semua detail ini? Seperti yang gua bicaraiin tadi, membantu gamer, pembaca, atau calon konsumen yang ngandelin review lu punya gambaran yang lebih jelas. Kalau penjelasan gua soal kondisi Karya Wisata di atas bikin otak lu ngebayangin skenarionya, maka apa yang mau gua capai memang berhasil.












