Review Detroit – Become Human: Memahami Arti Manusia!
Konsekuensi Teknologi
Satu hal yang membuat kami jatuh hati pada “dunia” Detroit: Become Human adalah bagaimana ia memotret dunianya sendiri berdasarkan tema utama yang ia usung. Bahwa kehadiran teknologi yang dipresentasikan oleh para Android yang menyerupai manusia dan lebih superior hampir di sebuah aspek ini, tidak lantas membuat dunia harus jatuh dalam kutub positif dan negatif begitu saja. Bahwa konsekuensinya tidak selalu berujung pada kemajuan pesat yang fantastis dimana semua manusia makmur atau justru berkebalikan, sebuah penjajahan dimana manusia jatuh ke kelas binatang yang berusaha berjuang dari kemusnahan ala Terminator yang klise. Masalah yang disajikan oleh Detroit: Become Human adalah sebuah skenario dan masalah sosial yang realistis.
Di satu sisi, lewat informasi yang tersebar lewat majalah yang Anda temukan di sepanjang permaianan, Anda bisa melihat bagaimana para Android ini menghembuskan nafas baru bagi kehidupan manusia. Mereka menghilangkan stress manusia dari pekerjaan dan rutinitas membosankan harian, dalam kapasitas kemampuan yang bisa diandalkan. Mereka bahkan mendorong misalnya, kemajuan kota dan perjalanan ke luar angkasa. Namun di sisi lain, kemajuan ini juga berbuntut konsekuensi negatif yang tidak terhindarkan. Mereka mulai menguasai pasar tenaga kerja dan berujung membuat tingkat pengangguran di Amerika Serikat mencapai angka sekitar 30%. Banyak gelandangan muncul karena situasi ini, dan semua kelompok pekerja yang masih selamat dari “gelombang” ini mengembangkan rasa curiga bahwa di satu titik, Android bisa menggantikan posisi mereka begitu saja. Anda juga akan bertemu dengan para pemuka agama yang terus melihat situasi Android ini sebagai pertanda akhir zaman.
Namun yang fantastis adalah fakta bahwa Quantic Dream tidak berhenti sampai di sana saja. Ada keinginan sepertinya untuk memotret seperti apa kondisi hidup manusia di era seperti ini. Lewat Kara dan Alice misalnya, Anda menemukan masalah kekerasan pada anak yang walaupun tidak dipresentasikan secara eksplisit, namun cukup untuk membuat hati Anda terenyuh. Pandangan manusia yang melihat para Android tidak lebih dari sekedar objek atau budak juga menjadi kritik tidak langsung terhadap situasi sosial yang kita rasakan, dari rasisme hingga melihat manusia kelas sosial rendah seperti layaknya sampah. Di Detroit, situasi ini bahkan cukup untuk membuat beberapa tempat menolak kehadiran para Android atau memastikan proses segregrasi yang jelas antara para Android dan manusia. Anda juga akan menemukan dimana beberapa di antara mereka berujung dieksploitasi secara seksual, dan diperlakukan tidak lebih seperti alat bantu seks, terlepas dari rupa dan fungsi mereka yang menyerupai manusia.
Kemampuan dan keberanian untuk memotret konsekuensi sosial secara rasional inilah yang di mata kami, merupakan salah satu kekuatan utama Detroit: Become Human. Ditunjang dengan aspek teknis yang memesona, ia terlihat dan terasa semakin realistis. KARA Engine yang digunakan sebagai basis memperlihatkan tajinya di sini, apalagi dengan proses mo-cap yang juga meminta para aktor / aktris untuk tidak hanya memerankannya saja, tetapi juga mengisi setiap dialog dengan intonasi dan intensitas yang nyaris sempurna. Implementasi kualitas visual yang lain, seperti cahaya yang realistis hingga tekstur mumpuni untuk pakaian, atau sekedar efek cuaca yang keren membuat pengalamannya lebih fantastis. Kerennya lagi? Untuk urusan musik, Quantic Dream bahkan menyewa tiga orang komposer berbeda untuk mengerjakan musik masing-masing untuk Markus, Connor, dan Kara. Hasilnya tentu saja mengagumkan. Tidak hanya ketiga karakter ini punya cerita berbeda saja, tetapi juga dibalut dengan atmosfer dan suara yang unik.
Quantic Dream selama ini memang terkenal sebagai salah satu developer game eksklusif Playstation dengan presentasi yang tidak pernah mengecewakan. Hal sama yang akan Anda temukan di Detroit: Become Human ini juga. Namun yang menarik di mata kami justru mengakar pada “gelapnya” tema dunia yang hendak ia pertontonkan di sini. Sebuah konsekuensi teknologi di sisi sosial dan ekonomi yang rasional, hingga ia terasa sedikit memijak pada realisme itu sendiri. Hasilnya? Ada sebuah dunia yang menyeramkan, mengagumkan, tetapi tetap bisa dipercaya di saat yang sama.
Gameplay Khas Quantic Dream
Anda yang sempat mencicipi game-game dari Quantic Dream di masa lalu, setidaknya dari era Fahrenheit, Heavy Rain, dan Beyond: Two Souls sepertinya sudah punya gambaran gameplay seperti apa yang akan Anda dapatkan di Detroit: Become Human ini. Memang, gameplay serupa inilah yang akan ia tawarkan. Bergerak dari satu chapter ke chapter lainnya dengan satu tujuan yang spesifik sebelum Anda bisa beralih, Quantic Dream membagi kisah Connor, Markus, dan Kara dalam runtut yang sudah ditentukan sebelumnya. Jadi tidak ada kebebasan menggonta-ganti karakter di sini. Cerita bergerak sesuai dengan urutan yang sudah dipastikan, dengan satu titik cerita yang diambil sebagai “akhir” chapter sebelum Anda bisa bergerak ke cerita selanjutnya. Gameplay masih akan menitikberatkan pada akurasi QTE Anda.
Khas game Quantic Dream, QTE memang menjadi pondasi gameplay sesungguhnya. Untuk berinteraksi dengan lingkungan, baik ketika lewat proses eksplorasi ataupun masuk ke dalam scene sinematik yang terus berjalan, Anda tetap disuguhkan dengan QTE. Bahwa Anda harus menekan satu tombol spesifik yang terlihat di layar, dari menggerakkan analog ke arah tertentu, menekan tombol spesifik, menggoyangkan DualShock 4 sesuai instruksi, hingga menahan beragam tombol bersamaan untuk melakukannya. Untuk beberapa scene yang secara mekanik terasa berat, instruksi ini memang cukup mewakili kesulitan yang ditemukan oleh karakter digital Anda. Akurasi dan sensasi menekan tombol ini cukup merefleksikan hal tersebut. Sebagai contoh? Ketika salah satu karakter harus mengganti kaki Androidnya dengan Android lain yang sudah tewas misalnya. Urutan tombol yang harus Anda tekan di layar cukup mewakili kesulitan dan intensitas proses tersebut. Di sisi lain, konsep QTE yang terhitung “sederhana” untuk gamer kawakan seperti kita, akan membuat Detroit: Become Human ini lebih bersahabat untuk gamer pendatang baru yang hanya perlu mengikuti instruksi di layar kaca saja.
Salah satu konsep yang dipertahankan dan medefinisikan genre ini sendiri, tentu saja adalah konsekuensi dan pilihan. Untuk menggerakkan proses cerita, akan ada banyak situasi dimana Anda, baik dalam percakapan atau ketika melewati proses eksplorasi, harus memilih satu aksi / respon tertentu yang saat ini ataupun nanti, akan menghasilkan satu konsekuensi fisik. Konsekuensi yang akan membuat cabang cerita terjadi dan pengalaman bermain Anda mungkin berakhir berbeda dengna kami. Itulah intisari gameplay dari Detroit: Become Human itu sendiri.
Tetapi ingat, ini tidak tidak lantas terperangkap hanya pada sekedar memilih respon jawaban untuk percakapan yang sudah pasti akan terjadi saja. Ini bukan sepert menjawab sebuah pertanyaan pilihan ganda di sekolah. Keputusan untuk melakuka atau tidak melakukan sesuatu juga bisa berujung memberikan hasil akhir cerita yang berbeda, dan tentu saja cabang cerita unik yang Anda pilih. Sebagai contoh? Di aksi awal ketika Connor berusaha membebaskan sandera anak kecil dari seorang Android Deviant misalnya. Dalam proses negosiasi tersebut, Anda akan menemukan seorang polisi yang tengah sekarat. Menyelamatkan polisi tersebut dan mengindahkan permintaan si penyandera misalnya, bisa berujung menghasilkan sesuatu untuk progress cerita Anda di masa depan. Atau ketika Anda misalnya, lupa menyembunyikan barang bukti saat polisi mengecek sebuah rumah yang tengah dihuni Kara. Aksi Anda saat lupa menyembunyikan barang bukti misalnya, bisa mengacaukan segala sesuatunya. Jadi, ini bukan sekedar memilih jawaban.
Dalam selama proses menjalani cerita yang ada, Anda akan menemukan banyak kesempatan seperti ini. Bahwa opsi Anda untuk bereaksi atau memilih jalur cerita spesifik biasanya akan sangat bergantung pada hasil eksplorasi Anda, dari menemukan objek yang bisa digunakan hingga mendapatkan informasi penting dari sumber yang tidak pernah Anda prediksikan sebelumnya. Semakin banyak Anda menjelajahi satu chapter, semakin banyak opsi yang muncul, semakin banyak pula cara Anda untuk menghadapi konflik yang ada.
Dari ketiga karakter yang Anda temukan ini, hanya Connor yang bisa disebut punya elemen gameplay yang lebih spesifik. Fakta bahwa adalah ia adalah seorang Android “penegak hukum” membuat gameplay yang ia miliki sedikit berbeda. Ia menjadi karakter yang akan lebih sering berhadapan dengan proses investigasi dan interogasi. Proses investigasi akan meminta Anda untuk mengumpulkan beragam clue yang tersedia di tempat perkara, menemukan hubungan yang ada, memicu proses rekonstruksi secara digital, dan mencari apapun yang dibutuhkan. Sementara proses interogasi mengarah pada usaha untuk mencari informasi langsung dari mulut Deviant, tetapi tetap memastikan level stress yang optimal mengingat stress berlebih akan langsung memicu program penghancuran diri mereka sendiri. Walaupun demikian, ketiga Android ini tetap berbagi fitur “standar” yang sama di gameplay – sebuah tombol spesifik yang bisa Anda tahan untuk secara otomatis memperlihatkan clue penting untuk mendorong cerita atau hal menarik interaktif yang bisa Anda picu.
Jika harus berbicara satu penambahan fitur spesifik yang membuat Detroit: Become Human lebih memesona dibandingkan dengan game Quantic Dream yang lain adalah relationship. Kini aksi Anda tidak lagi sekedar menawarkan outcome dan garis cerita yang berbeda saja, tetapi juga bisa mempengaruhi hubungan Anda dengan karakter yang terkait. Jika pilhan Anda mereka sukai, hubungan akan kian menghangat dan erat. Jika pilihan Anda berseberangan dengan apa yang mereka inginkan, mereka akan mendingin dan menjauh. Lantas, untuk apa? Berdasarkan pada tingkat kedekatan yang berhasil Anda capai atau justru sebaliknya, ia juga akan membuka opsi spesifik ketika situasi genting terjadi. Opsi yang hanya bisa diambil dan dipicu jika Anda memang punya level kedekatan tertentu dengan karakter tersebut, dan tentu saja, akan mengubah arah cerita di titik tertentu. Beberapa karakter juga terkadang menuntut opsi permainan atau jalur yang lebih sulit dan kompleks untuk dijalankan, agar bisa mempertahankan level kedekatan tersebut. Membuat Anda harus memiilih apakah Anda ingin menjalani jalur cerita yang lebih sederhana tetapi mengorbankan level kedekatan, atau sebaliknya.
Maka dengan semua pendekatan seperti ini, ditambah dengan begitu banyak hasil akhir cerita yang berbeda-beda, Anda yang sudah familiar dengan pendekatan Quantic Dream selama ini masih akan mendapatkan gameplay yang terasa familiar, tentu saja dengan presentasi yang lebih baik. Sementara gamer yang tidak familiar hanya perlu menahan diri untuk bertahan dengan betapa “membosankannya” 2 jam pertama permainan yang ada, karena seperti halnya film, Quantic Dream menjadikan momen tersebut untuk membangun atmosfer dan pengetahuan soal dunia yang Anda hadapi. Anda hanya perlu bertahan di 2 jam awal.