Review Battlefield V: Mudah Terlupakan!
The Last Tiger
(Sesi The Last Tiger ini dimainkan dengan Playstation 4 Pro)

Dari semua skenario yang ditawarkan oleh DICE di Battlefield V, The Last Tiger tentu menjadi yang paling menarik perhatian. Seolah mengabulkan permintaan fans yang selalu ingin mencicipi kisah pertempuran perang dunia kedua dari kacamata tentara Nazi alih-alih sekedar memotret mereka sebagai lawan, skenario ini akhirnya meluncur sebagai DLC cuma-cuma. Seperti namanya, The Last Tiger akan membuat Anda berperan sebagai kru tank Tiger terakhir saat momen kekalahan Nazi di tangan pasukan Sekutu. Potensi untuk menawarkan sensasi campaign yang unik dan berbeda dengan kebanyakan game FPS saat ini membuat kami sangat mengantisipasi cerita yang satu ini.
Namun di sisi lain, sulit rasanya untuk tidak mengembangkan sedikit rasa pesimisme, apalagi setelah apa yang terjadi dengan Star Wars Battlefront 2 tempo hari. Untuk Anda yang tidak terlalu familiar, DICE sempat menggembar-gemborkan mode campaign SWBF 2 yang disebut-sebut akan meminta Anda berperan sebagai pasukan Imperial bernama Iden Versio. Mencicipi cerita dari perspektif kubu antagonis ini adalah sesuatu yang dinantikan oleh gamer. Namun hasil akhirnya? Tidak sampai tengah chapter, seperti yang bisa diprediksi, Iden Versio berujung “sadar diri” dan berpaling ke kubu Rebels yang notabene merupakan faksi protagonis Star Wars. Banyak gamer yang kecewa, termasuk kami.


Berita baiknya? Hal yang sama tidak terjadi di The Last Tiger. Dari awal hingga akhir permainan, Anda tetap berperan sebagai kru empat orang yang menempati sebuah tank Tiger terakhir yang tak sulit menghancurkan Sherman milik Sekutu. Tidak ada perubahan sikap, posisi, ataupun karakter. Mereka berdiri di bawah bendera Nazi, berperang atas nama Nazi, dan bersatu di bawah ideologi tersebut. Sayangnya, skenario tetap berakhir mengecewakan. Alasannya? Karena jelas, DICE sangat “bermain aman” dengannya.
Walaupun tidak mengusung perubahan faksi yang ada, DICE terlihat takut untuk menawarkan pengalaman berperan sebagai seorang Nazi yang otentik. Mereka mungkin mengenakan seragam super rapi yang familiar dengan teknologi familiar yang melekat pada pemerintahan fasis tersebut, namun tidak ada satupun hal yang menguatkan kesan bahwa Anda tengah berperan sebagai seorang tentara Nazi. Begitu amannya jalur yang ditempuh oleh DICE, hingga kami bahkan merasa tengah berperan sebagai tentara sekutu yang tengah iseng menggunakan kostum tentara Nazi untuk sekedar bersenang-senang.


Bagaimana tidak? Selama permainan sekitar 1 jam yang didominasi oleh aksi tank Anda ini, mereka tidak sekalipun memperlihatkan perilaku yang identik dengan Nazi dan ideologinya sama sekali, terlepas dari fakta bahwa DICE cukup “niat” untuk menyuntikkan penggunaan bahasa ibu untuk masing-masing skenario yang diusung, termasuk Jerman untuk The Last Tiger ini. Tidak ada sekalipun pekik seperti “Heil Hitler” atau “Heil Fuhrer” yang di masa itu terhitung normal setiap kali tank Tiger mereka berujung menghancurkan puluhan tank milik pasukan Sekutu. Tidak pernah ada pembahasan misalnya untuk masalah ideologi atau bagaimana Nazi akan bisa bertahan hidup setelah situasi yang begitu jelas terlihat bahwa mereka akan kalah. Setiap dialog didesain begitu ambigu hingga selain kostum dan tank yang mereka gunakan, Anda tidak akan merasa Anda berperan sebagai seorang Nazi.

Sifat “main aman” yang diperlihatkan DICE di sini tentu saja bagi kami, terasa super mengecewakan. Diskusi soal kejadian genosida menyeramkan yang terjadi tersebut memang jadi topik yang sensitif, namun kami merasa ada banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan DICE untuk mempertahankan kekuatan cerita yang ada, atmosfer yang tepat, sembari memosisikan kru tank Tiger terakhir ini sebagai karakter utama yang tengah menarik dan menggugah di saat yang sama. Tidak perlu mematikan semua hal yang memang seharusnya mereka lakukan sebagai seorang Nazi.
Berfokus pada Squad

Hampir sebagian besar gamer yang sempat mencicipi Battlefield di masa lalu sangatlah mengerti bahwa di luar mode single player-nya yang tidak pernah benar-benar memesona, multiplayer adalah nyawa sesungguhnya dari mode yang satu ini. Kehadiran Frostbite Engine memungkinkan perang dalam skala besar yang benar-benar terasa masif. Ledakan yang mampu menghancurkan gedung, kendaraan berat yang mampu mengubah jalannya pertempuran, serta sistem Squad yang membuat pertempuran harus ditempuh bersama dengan user yang lain. Secara garis besar, terlepas dari semua hal baru yang berusaha disuntikkan oleh Battlefield V, ia menawarkan sensasi multiplayer Battlefield yang selama ini Anda kenal.
Namun saja, tentu ada perubahan yang ditawarkan DICE, terutama jika dibandingkan Battlefield 1. Mereka membuang konsep Behemoth – kendaraan raksasa yang berhasil menawarkan sensasi perang epik dengan sesuatu yang lebih realistis dan kini jauh lebih menekankan sistem Squad untuk mendorong gameplay kooperatif yang lebih kental. Perubahan di kebijakan distribusi konten yang tidak lagi dimuntahkan langsung di awal rilis tetapi menyebar sepanjang tahun juga menjadi hal baru yang berusaha ditempuh DICE dan EA untuk rilis teranyar yang satu ini. Untuk urusan terakhir ini, pembuktian efektivitasnya memang tidak bisa dilakukan di review kali ini, terlepas dari fakta kami merilisnya cukup terlambat.


Dengan peta besar yang menyiratkan apa yang Anda kenal dari seri Battlefield selama ini, lengkap dengan keindahan yang siap memanjakan mata, salah satu perubahan paling esensial di Battlefield V adalah sistem peran dalam Squad yang kini jauh lebih penting. Bahwa tidak lagi sekedar punya efek kecil dalam pertempuran dan hanya sekedar mengusung senjata yang berbeda, setiap kelas punya peran yang jauh lebih krusial di beragam perubahan mekanik yang ditawarkan oleh DICE di Battlefield V. Bahwa bergerak dalam Squad dan memastikan kelas yang Anda pilih memainkan perannya dengan tepat akan berpengaruh pada jalannya pertempuran yang berisikan puluhan orang di dua kubu bertikai.
Sebagai contoh? Medic. Jika di masa lalu, tugas Medic lebih difokuskan untuk healing dan resurrection, kini perannya lebih penting untuk memastikan Squad bisa bertahan dan bisa berperang dalam jangka waktu lebih panjang. Ia masih berperan dengan melemparkan medkit untuk menyembuhkan pasukan di sekitar, namun kemampuan resurrectionnya yang kini lebih penting. Seperti yang kita tahu, alih-alih langsung tewas begitu saja, Battlefield V kini menyediakan waktu pendek bagi Anda untuk meminta bantuan sebelum tewas dan respawn. Resurrection memang bisa dilakukan oleh kelas manapun, namun ia akan membutuhkan waktu animasi lebih panjang yang notabene membuat siapapun yang berusaha menyelamatkan Anda menjadi rawan terbunuh, lengkap dengan HP yang tidak pulih sepenuhnya. Medic bisa melakukan aksi ini dengan lebih cepat dan efektif, sekaligus memastikan HP Anda langsung kembali penuh. Membuat perannya lebih penting.


Hal yang sama juga terjadi dengan Support yang sebelumnya selalu diasosiasikan sebagai “pemulih ammo” sekaligus tukang memperbaiki kendaraan berat di dalam pertempuran. Kedua peran tersebut masih serupa di Battlefield V ini, namun dengan ekstra tugas baru yang kini akan membutuhkan kemampuan spesial mereka – Fortification. Berbeda dengan seri sebelumnya dimana modifikasi pada lingkungan yang bisa Anda lakukan hanyalah dengan menghancurkan, menghancurkan, dan menghancurkan, Battlefield V memungkinkan Anda membangun sistem pertahanan untuk kepentingan strategis tertentu. Fortification yang Anda lakukan tidak sekedar hanya menambahkan karung pasir saja, tetapi juga senjata berat dan sejenisnya. Ketika hal ini terjadi, medan pertempuran benar-benar berubah, hingga pada tahap Anda bisa meracik parit berukuran besar untuk bertahan. Support lebih efektif di sistem baru ini. Selain bisa meracik Fortification senjata berat, mereka juga butuh lebih sedikit jumlah interaksi untuk membentuk satu objek hingga segala sesuatunya berjalan cepat.
Untuk setiap keberhasilan yang Anda torehkan sebagai anggota Squad, baik dari point membunuh musuh atau menyelesaikan objektif tertentu, pemimpin Squad akan semakin dekat dengan kesempatan untuk mengakses beragam bantuan persenjataan yang bisa mengubah berjalannya pertempuran. Dari sekedar mengakses kendaraan berat hingga rudal raksasa yang siap jatuh dan “meratakan” posisi yang diminta, fungsi seperti ini juga semakin mendorong permainan berbasis Squad. Jika Anda menyelesaikan objektif yang ingin dikejar oleh pemimpin Squad, ekstra point yang didapatkan akan mendekatkan Anda pada akses persenjataan “mematikan” seperti yang satu ini.


Secara keseluruhan, pengalaman bermain versi final ini jauh lebih baik dari masa beta yang kami jajal. Ada masalah besar di masa beta dimana sensasi pertempuran terasa begitu lambat. Peluru begitu terbatas, waktu menunggu respawn terlalu lama, interaksi di dalam Squad begitu minim, dan kesemuanya berujung menghasilkan rasa pesimis yang begitu kuat di awal. Namun kami dengan positif bisa melaporkan, bahwa sensasi tersebut jauh jauh lebih membaik di versi final.
DICE dan EA sepertinya mendengarkan jelas apa feedback gamer dan meracik sebuah sensasi Battlefield yang lebih familiar. Peluru, persenjataan, dan aid kit tidak lagi begitu jarang dan terbatas, sistem tewas sebelum respawn kini berada dalam jangka waktu yang rasional, hingga sistem pertempuran kini berjalan dengan seharusnya. Anda yang sempat mencicipi seri Battlefield sebelumnya tak perlu banyak khawatir. Anda tetap akan berhadapan dengan pengalaman serupa, namun kini dengan ekstra kemampuan berbaring telentang di permukaan layaknya Rainbow Six: Siege untuk proses camping lebih efektif. Sisanya? Bertempur seefektif mungkin dengan senjata favorit Anda, menikmati progress berdasarkan kelas, dan bersenang-senang dengan sistem kehancurannya yang tetap fantastis.
Namun uniknya di seri kali ini, pengalaman yang ditawarkan EA dan DICE masih belum “selesai penuh” untuk dinilai secara keseluruhan. Mode battle-royale yang sempat ia janjikan – Firestorm misalnya, baru akan tersedia di tahun 2019 mendatang, membuatnya mustahil untuk langsung berhadapan dan dibandingkan dengan kompetitor utama – Black Ops 4 yang menjadikan mode yang serupa sebagai daya tarik utama. Menyebarkan konten sepanjang tahun memang efektif untuk membuat komunitas terus aktif terlepas dari usia game yang semakin “tua”. Tetapi di sisi lain, berpotensi jadi bumerang karena dianggap terlalu lambat. Jangka waktu seperti ini justru bisa dimanfaatkan oleh game lain yang bisa jadi berujung lebih populer dan membuat apapun konten baru yang diusung oleh Battlefield V tidak lagi menarik di mata gamer. Masih terlalu awal untuk menilai apakah strategi seperti ini akan berujung membuat Battlefield V bisa berumur panjang atau justru pendek.


Sayangnya, saat ini harus diakui setidaknya untuk kami pribadi, pengalaman yang ditawarkan Battlefield V memang mudah terlupakan. Setidaknya dengan Battlefield 1, implementasi sistem seperti Behemoth menawarkan sesuatu yang unik dan berbeda, sesuatu yang megah dan pantas untuk dibicarakan. Kehadiran persenjataan raksasa di arena pertempuran dengan efek yang super destruktif seperti ini membuat cita rasa Battlefield 1 terasa familiar dan berbeda di saat yang sama. Sementara di sisi lain, keputusan DICE untuk membuang hal tersebut dari Battlefield V dan kembali menjadikan sensasi klasik Battlefield justru membuatnya terasa seperti seri-seri Battlefield lawas yang kini hanya sekedar bertemakan perang dunia kedua. Ia kehilangan sesuatu yang inovatif terlepas dari semua perubahan dan perbaikan fitur dan mekanik gameplay yang ada. Keunikan sistem Fortifaction misalnya, tidak akan bisa berujung membuatnya semegah dan segila pertama kali melihat bagaimana Zeppelin raksasa Battlefield 1 menghancurkan kota dimana ia jatuh, misalnya.