Review Dreadout 2: Ngeri-Ngeri Sedap!
Horror Urban

Dreadout pertama memang game horror populer yang terhitung memesona untuk ukuran sebuah game indie, namun sulit untuk menyangkal, bahwa ia memang lemah dari sisi presentasi visual. Keputusan Digital Happiness untuk berganti ke Unreal Engine 4 membuat kualitas visualisasi Dreadout 2 naik kelas. Ia memang belum terlihat sesolid dan semanis game-game AAA pada umumnya, namun ada level apresiasi tersendiri untuk apa yang berhasil mereka capai. Baik untuk model karakter Linda yang masih tetap sensual namun kini dengan lebih banyak detail hingga sensasi urban yang kini lebih ditonjolkan daripada pilihan desa terpencil dan hutan belantara yang mendominasi seri pertamanya.
Keputusan untuk menyuntikkan sebuah lokasi semi open-world yang bisa Anda eksplorasi di setiap transisi chapter tentu saja pantas untuk disambut baik. Apalagi Digital Happiness terhitung berhasil membangun kota dengan cita rasa Indonesia yang kental. Ia terlihat menarik untuk gamer non-Indonesia yang mencicipinya, tetapi juga menawarkan begitu banyak humor dan easter egg untuk gamer-gamer Indonesia yang familiar dengan objek dan merk yang sudah menemani keseharian kita ini. Anda akan menemukan plesetan merk kocak, lelucon ringan di iklan yang tertempel di dinding, hingga sekedar keseharian para NPC dari yang gemar nongkrong di tepi jalan untuk bermain game mobile hingga dinamika anak kos di dalamnya. Kesemuanya juga dikombinasikan dengan tata cahaya yang juga terasa lebih dramatis dengan varian lokasi lebih beragam, dari hotel hingga rumah sakit. Ada cita rasa “Indonesia sekali” yang menyeruak dari desain kota dan NPC yang ada, termasuk tren yang terhitung masih relevan seperti popularitas Ojek Online yang meroket, misalnya.


Namun, kesan yang berkebalikan justru datang dari desain monster dan makhluk halus yang Anda temui. Bahwa alih-alih seperti seri pertama yang memang dipenuhi dengan makhluk halus khas Indonesia dengan ekstra “permak” desain, Dreadout 2 justru menawarkan desain musuh baru yang lebih terasa internasional daripada spesifik Indonesia. Kita berbicara soal sosok tokoh antagonis baru bak karakter anime dengan gaun hitam liar yang mendominasi, iterasi Pocong baru yang kini juga menggunakan senjata melee bak karakter yang Anda temui di Silent Hills, hingga dokter bedah gila dengan gergaji mesin yang mengingatkan Anda pada salah satu scene di Outlast. Bahkan musuh-musuh fisik yang Anda lawan di sepanjang permainan lebih mengingatkan Anda pada monster yang Anda temui di game survival horror barat daripada hantu yang Anda temui di Indonesia. Kami melihatnya sebagai sebuah kontras yang menarik.


Satu yang hal yang cukup membingungkan justru datang dari sisi presentasi audio yang ia usung. Sebagai game yang menonjolkan sisi horror, desain suara Dreadout 2 memang pantas diacungi jempol. Perjalanan Anda akan ditemui kesunyian total atau justru suara-suara kecil yang memperkuat atmosfer yang ada, efektif untuk membuat bulu kuduk Anda merinding.
Yang kami keluhkan justru datang dari penggunaan bahasa dalam Voice Acting yang campur aduk. Beberapa karakter NPC menggunakan bahasa Sunda, yang lain menggunakan bahasa Indonesia, namun tidak sedikit pula karakter yang justru berbahasa Inggris. Berita buruknya? Sistem campur aduk ini tidak memiliki rasionalisasi yang jelas dan tentu, tidak merepresentasikan kondisi sosial apapun. Bahwa karakter atau hantu yang berbahasa Inggris ini tidak mewakili kelompok sosial dengan pendidikan atau ekonomi lebih tinggi dan sebaliknya, membuat konsep campur aduk ini semakin sulit diterima akal sehat. Sebagai contoh? Karakter Nini Tetty – pengasuh kecil Linda dari kampung yang sudah berusia uzur tetap berbicara dan bercakap fasih dalam bahasa Inggris, sementara teman-teman Linda di SMA yang masih muda berbicara dalam bahasa Indonesia. Tidak ada penjelasan mengapa Nini Tetty bisa dan harus berbicara bahasa Inggris (di luar ia memang punya peran penting dalam cerita) ketika berhadapan dengan Linda, yang notabene juga fasih berbahasa Indonesia.

Maka dari sisi presentasi, Dreadout 2 memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari pertamanya, baik dari sisi detail, tata cahaya, hingga desain yang ia usung terutama dari lokasi yang bisa Anda eksplorasi. Namun harus diakui di sisi lain, ada sisi presentasi yang juga pantas dipertanyakan, seperti sistem campur sari bahasa yang sulit kami rasionalisasi, yang tentu saja berakhir mengacaukan sensasi imersif yang seharusnya.
Bak Bukit Sunyi

Di seri pertamanya, Dreadout memang jelas terinspirasi dari Fatal Frame, yang kemudian dilebur dengan mitologi supranatural lokal dengan teknologi yang lebih relevan. Lewat Irisphone yang ia miliki, yang notabene merupakan kamera ponsel, Linda bisa menundukkan ragam makhluk halus yang ia temui. Ia juga dibekali dengan sistem charge shot yang bisa menghasilkan damage lebih besar, yang tentu harus Anda atur mengikuti alur gerak musuh yang berbeda-beda. Tidak ada hal remeh-temeh yang menyulitkan seperti keterbatasan jumlah film atau baterai yang harus Anda gonta-ganti. Satu-satunya timbal balik yang bisa Anda temukan hanyalah fungsi kamera yang akan terhenti sementara jika Anda melakukan charge shot berturut-turut. Sesuatu yang rasional atas nama balancing.
Konsep yang sama juga diusung Dreadout 2 ini. Berbekal Irisphone yang juga berisikan lebih banyak aplikasi untuk memeriksa jenis makhluk halus yang baru Anda tundukkan, objektif yang harus Anda capai, dan juga jepretan yang terekam sementara, Linda juga dibekali dengan kemampuan yang sama. Bak sebuah “senjata api”, Anda bisa menggunakan kamera ponsel ini untuk mengalahkan beragam makhluk halus yang Anda temui. Akan ada efek partikel biru yang muncul dari tubuh mereka untuk menandai bahwa kamera Anda memang menghasilkan damage. Namun atas nama proses balancing juga, ada “jeda” yang juga harus Anda pikirkan di setiap shot ataupun animasi musuh yang terkena damage sebelum Anda bisa menyerang mereka kembali. Ini membuat aksi menembak bak Burst Shot misalnya, tidak akan bisa digunakan di Dreadout 2.


Namun tidak lagi terpaku pada konsep ala Fatal Frame ini, Digital Happiness memutuskan untuk memperluas aksi Linda dengan sistem gameplay yang lebih dekat dengan game-game survival horror yang lain. Bahwa kini dengan musuh berwujud fisik yang juga harus ia tundukkan, Linda kini juga dibekali dengan sesi gameplay dimana ia harus mengalahkan mereka dengan senjata melee di tangan. Namun tenang saja, ia tidak sesulit yang dibayangkan. Sempat dicurigai akan mirip “Souls”, pertarungan melee di Dreadout 2 ini justru terhitung mudah. Selain menyerang secara langsung dengan sistem kombinasi 3-4 pukulan berturut-turut, Linda kini juga dibekali kemampuan stun menggunakan flash kamera miliknya. Jika Stun ini berhasil dieksekusi, Linda bisa mendekati musuh terkait dan mengeksekusi animasi pemungkas yang menghasilkan damage lebih besar daripada serangan kombinasi biasa. Tentu saja ada invicibility frame selama animasi, membuatnya jadi opsi serangan yang lebih minim resiko.
Satu yang menarik adalah bagaimana cara Dreadout 2 mengeksekusi dua sistem gameplay yang tentu saja berbeda ini. Bahwa alih-alih membaurnya, mereka memutuskan untuk memisahkan sesi gameplay ini dalam format chapter, sesuai dengan cerita yang ada. Hasilnya? Anda tidak akan bisa mengeluarkan kamera dan memotret untuk sesi gameplay yang meminta Anda untuk bertarung secara melee dan begitu juga sebaliknya. Sistem ini biasanya akan terikat dari awal hingga chapter tersebut selesai, yang juga mau tidak mau, membuat Anda bisa mengantisipasi kira-kira jenis musuh seperti apa yang akan Anda hadapi di sana. Berita baiknya? Dreadout 2 menawarkan cukup banyak varian boss untuk memastikan, setidaknya baik sesi memotret ataupun sesi bertarung secara melee memiliki tantangan dan keasyikannya sendiri. Berita buruknya? Tidak banyak lapisan strategi yang perlu Anda pikirkan atau gonta-ganti saat melawan musuh tertentu, karena pada dasarnya, mereka hanya bisa ditundukkan dengan satu cara saja.


Sayangnya, terlepas dari manapun sesi gameplay yang harus Anda lalui, Dreadout 2 hadir dengan satu kelemahan yang cukup fatal – terbatasnya informasi soal status yang disajikan kepada Anda, terutama menyangkut soal HP yang dimiliki Linda. Hasilnya adalah sebuah inkonsistensi dan sulitnya untuk memprediksi langkah Anda selanjutnya. Anda tidak pernah tahu sebenarnya seberapa banyak serangan yang bisa diterima Linda sebelum Anda tewas dan harus melakukan Load Checkpoint. Terkadang, ia terasa tanky dan bisa menerima belasan serangan tanpa masalah seperti yang terjadi di pertarungan boss pertama. Tetapi di sisi lain, terkadang ia bisa berakhir tewas hanya karena tiga serangan yang masuk saat melawan boss fisik yang ukurannya lebih besar. Untuk sebuah game action, tidak bisa menerka seberapa genting sebenarnya situasi Anda tentu saja sebuah berita buruk. Minimnya informasi soal HP saat melawan boss di chapter serangan melee juga menghasilkan kekhawatiran tersendiri, karena Anda tidak pernah tahu seberapa lama lagi pertarungan yang harus Anda jalani. Minimnya informasi menghasilkan ketidakpastian yang tidak kita perlukan.
Satu hal yang paling menarik dari Dreadout 2 juga datang dari konsep semi open-world yang ia usung. Bahwa alih-alih linear dan bergerak dari satu chapter langsung ke chapter selanjutnya, Anda biasanya akan diberikan “waktu jeda” untuk menjelajahi kota dimana Linda tinggal. Di dalamnya, Anda bisa bertemu dengan ragam NPC yang sibuk beraktivitas dengan beberapa di antaranya akan menyediakan konten lebih di dalamnya. Linda bisa menyibukkan diri dengan misi sampingan yang ditawarkan beberapa NPC untuk ekstra tantangan atau membantu Professor Mona untuk mencari tanda-tanda Urban Legends yang tersebar di beragam lokasi. Namun tidak seperti game serupa yang biasanya memberikan indikasi bahwa misi sampingan tersedia, Anda harus secara aktif berkeliling, berbicara, dan mencari NPC mana yang akan memicu sampingan ini. Dua berita buruk? Pertama, misi sampingan ini bisa terlewat karena ia hanya tersedia di chapter tertentu. Kedua? Tidak ada sesi eksplorasi bebas setelah Anda menyelesaikan game ini, hingga tidak ada kesempatan untuk menikmati Dreadout 2 setelah tamat atas nama iseng belaka.


Namun satu hal fantastis yang kami temukan dari konsep semi open-world ini justru tidak mengakar pada misi sampingan atau beragam lelucon merk yang ia suntikkan. Bahwa di satu titik, ia juga menjadi ruang cerita yang cukup menyentuh untuk Anda yang memang tidak ragu menyibukkan diri untuk “menemukan” cerita Anda sendiri. Salah satu contohnya datang dari kisah seorang ibu di rumah sakit yang pada saat pertama kali Anda kunjungi, jelas tengah menemani anak balitanya yang tengah sakit keras untuk berobat. Sang anak mengeluh sakit, namun si ibu terlihat begitu tegar menemani. Jika Anda iseng untuk berkunjung lagi ke rumah sakit di chapter selanjutnya (walaupun tidak punya misi sama sekali di sana), Anda akan menemukan progress kisah untuk sang ibu yang kini duduk sendiri, menunduk, dan menangis. Jika Anda mengeluarkan Irisphone Anda, Anda akan mendapatkan sebuah scene yang cukup menyentuh di dalamnya.
Dreadout 2 juga tentu saja mengusung beberapa jenis puzzle di dalamnya, selain misi sampingan yang kami bicarakan sebelumnya. Namun sebagian besar “puzzle” ini tidak lah sulit. Sebagian besar meminta Anda sekedar mencari dan memicu solusi yang sudah tersedia secara otomatis, beberapa meminta Anda melakukan eksplorasi lebih intens untuk mencari kunci untuk pintu spesifik yang biasanya dihuni dengan beberapa tantangan di dalamnya. Dari sepanjang cerita, hanya ada 1-2 puzzle yang benar-benar meminta Anda untuk menggunakan otak Anda dan berpikir keras.

Kami menyambut terbuka penambahan gameplay ala Silent Hills yang ditawarkan Dreadout 2, bersama dengan kembalinya formula di seri pertama. Setidaknya ia berhasil menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda alih-alih bermain “aman” dengan formula yang sudah berhasil di seri sebelumnya. Darinya, sensasi survival horror yang lebih kental mengemuka, yang ternyata melebur dengan manis dengan ragam penambahan musuh dan konsep semi open-world yang ia usung. Walaupun harus diakui, di beberapa pertarungan, terutama saat melawan boss, hitbox yang diusung baik saat menggunakan kamera ataupun senjata melee terkadang tidak terasa akurat dengan sensasi kurang memuaskan.