Review It Takes Two: Butuh Dua untuk Mencinta!
Dunia Magis

Di atas kertas, cerita soal dua manusia yang terjebak dalam tubuh boneka tentu saja membuka ruang besar untuk imajinasi. Dengan tubuh kecil yang mereka miliki, maka konsep petualangan di dunia nyata yang kesemuanya tiba-tiba membesar tentu saja adalah keputusan yang rasional ketika kita bicara soal It Takes Two ini. Berita baiknya? Hal tersebut jugalah yang Anda dapatkan. Dalam perjalanannya untuk mencari solusi, Cody dan May kini akan mengeksplorasi beragam sudut rumah dengan perspektif yang baru, bertemu dengan begitu banyak objek dan ancaman yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya, akan bisa mereka pijaki, lompati, dan lawan. Yang menarik? It Takes Two ternyata juga tidak takut untuk masuk ke area yang lebih magis.
Dengan pengenalan sosok Dr. Hakim yang notabene merupakan sebuah buku yang bisa berbicara dan melakukan teleportasi kemanapun ia hendak menuju, It Takes Two tentu saja menawarkan sedikit ekstra konten magis di dalamnya. Bahwa petualangan Cody dan May tidak selalu terbatas pada ruangan dan wilayah di dunia nyata saja, tetapi juga masuk ke dalam area-area yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Lewat pendekatan seperti ini, ia tidak hanya membuka ruang lebih besar untuk kebebasan kreatif racik level untuk It Takes Two saja, tetapi menawarkan pendekatan cerita yang lebih punya cita rasa dongeng daripada sebuah cerita dengan konten “dewasa” yang berat misalnya. Ada interpretasi yang lebih imajinatif dari ruang-ruang keluarga Cody dan May itu sendiri.


Karenanya, kombinasi di antara kedua konsep ini memang melahirkan apresiasi yang lebih tinggi untuk keberhasilan Hazelight untuk meracik level yang tidak hanya indah, tetapi juga memperkaya gameplay di It Takes Two. Melihat bagaimana Cody dan May harus berayun melewati taman belakang rumah yang kini disulap menjadi sebuah ruang eksplorasi masif berujung sama manis dan menariknya, ketika keduanya harus berhadapan dengan dunia bawah tanah yang ternyata tengah memuat perperangan panas antara para tupai dan lebah. Keduanya memperkaya apa yang ditawarkan oleh It Takes Two dan terhitung berhasil menjadi pondasi untuk mendorong narasi yang hendak diusung.
Walaupun tidak bergerak di level yang sama dengan rilis game AAA terbaru untuk urusan kualitas visual, bukan berarti Hazelight tidak menjadikannya sebagai fokus. Daya tariknya tidak datang dari masalah tekstur atau ragam detail kecil yang ia usung atau tidak, melainkan dari kreativitas dan rasa cinta yang terpancarkan dari setiap sudut wilayah yang ia racik. Ada begitu banyak varian level yang Anda temukan, ada begitu banyak pemikiran matang yang masuk untuk menjadikannya tantangan platformer yang menggoda, dan detail kecil untuk membuat setiap darinya menawarkan tema uniknya tersendiri. Untuk urusan ini, Hazelight menjalankan tugasnya dengan baik.


Jika ada satu hal yang berujung memesona dan bahkan berhasil mengejutkan kami, adalah bagaimana karakterisasi dan gaya penceritaan yang ditawarkan oleh It Takes Two cukup untuk membuat emosi Anda tergugah. Bahwa kedua karakter yang kita gunakan – Cody dan May adalah orang dewasa yang datang dengan pemikiran dan solusi rasional, dan menjadikan misi untuk kembali ke wujud manusia adalah prioritas utama. Kondisi seperti ini, tanpa memberikan banyak spoiler, seringkali berseberangan dengan apa yang dibutuhkan dan dirasakan penting oleh anak mereka – Rose. Tidak jarang, dalam beberapa kondisi cerita, Anda akan merasa prihatin dan kasihan pada apapun yang berhubungan dengan Rose dan memahami betapa banyaknya keputusan buruk yang Anda ambil sebagai Cody dan May.
Lantas, bagaimana dengan musik itu sendiri? Setidaknya di 85% level yang ada, musik yang ditawarkan It Takes Two memang berperan sekadar pengiring di latar belakang yang tidak akan cukup unik dan keren untuk menarik perhatian telinga Anda. Namun di 15% terakhir, ketika musik dan lagu menjadi fokus, eksekusi yang mereka tawarkan memang fantastis. Konsep level dimana May berperan jadi “bintang” dimana kemampuan bernyanyi menjadi solusi puzzle, Hazelight berhasil meracik musik latar belakang yang tidak hanya enak didengar, namun bisa terintegrasi manis dengan nada lagu yang dinyanyikan oleh May itu sendiri. Kami jatuh hati pada eksekusi yang satu ini.

Maka dari semua kombinasi tersebut, termasuk desain beragam boss yang harus dilawan oleh Cody dan May yang juga mengakar pada objek keseharian yang mereka temui, ada rasa penghargaan yang tinggi untuk dunia yang berhasil mereka racik untuk It Takes Two. Sebuah dunia yang menawarkan kombinasi dunia nyata dan fantasi bak dongeng yang tidak hanya indah dan menarik, tetapi juga membantu mendorong narasi yang hendak ia tawarkan.
Berdua, Selalu Berdua

Rasa familiar Anda pada konsep yang ditawarkan oleh It Takes Two akan sangat bergantung pada apakah Anda sudah memainkan A Way Out sebelumnya atau tidak. Karena terlepas dari cerita atau tema yang berbeda, konsep gameplay yang diusung sebenarnya sama. Bahwa satu-satunya alasan mengapa game ini mengharuskan multiplayer kooperatif untuk dicicipi semata-mata karena setiap tantangan yang Anda temui, di level manapun, memang butuh kerjasama dua orang untuk ditundukkan. Ini akan menjadi game yang tidak hanya menguji seberapa cerdas otak Anda untuk menebak solusi yang butuh diambil, tetapi juga komunikasi super efektif untuk mendapatkan timing eksekusi yang juga presisi. Kombinasi hal ini membuat keputusan Hazelight untuk membuatnya tidak bisa dimainkan secara single-player menjadi sesuatu yang bisa dimengerti, termasuk menihilkan kesempatan untuk menggunakan AI.
Karena seiring dengan progress cerita yang Anda toreh, Anda akan memahami bahwa perhatian yang disuntikkan oleh Hazelight di game ini memang tidak main-main. Bahwa mereka terlihat tampil habis-habisan untuk melahirkan game multiplayer kooperatif yang keren, yang berhasil dicapai tidak hanya lewat sistem level yang berbeda saja. Percaya atau tidak, untuk setiap level baru yang Anda temui, Anda akan menemukan mekanik kooperatif baru di dalamnya.
Benar sekali, Anda tidak salah membacanya. It Takes Two menawarkan mekanik gameplay nyaris di setiap level baru yang Anda temui. Ini membuatnya berhasil tampil menyegarkan setiap kali level baru diperkenalkan. Untuk sebuah game yang bisa mengusung 10 jam gameplay, konten dan mekanik segar di setiap sudut ini adalah sebuah pencapaian tersendiri, apalagi mengingat bagaimana kesemuanya dibangun dengan level kreativitas yang fantastis. Ia selalu datang dengan ide segar yang harus diakui, dieksekusi dengan baik.


Mekanik baru ini biasanya selalu datang dengan kemampuan baru untuk masing-masing Cody dan May, dimana mereka harus mengkombinasikannya untuk bisa mengatasi puzzle atau tantangan platforming yang tersedia, atau bahkan – bertarung melawan boss tertentu. Di satu level, Cody mendapatkan paku yang bisa ia lempar dan May dipersenjatai kepala palu. Cody butuh menembakkan paku ke kayu yang tersebar di level agar bisa dilompati oleh May, sementara May butuh menggunakan palunya untuk memukul tombol yang biasanya membuka jalan untuk Cody. Di level yang lain? Cody dipersenjatai magnet selatan dan May dengan magnet utara, yang kemudian butuh dipadupadankan untuk membuka pintu, melompati tempat tinggi, hingga menghasilkan platform yang dibutuhkan. Itu hanya dua contoh dari segudang mekanik kemampuan unik yang tersebar di beragam level yang ada.
Salah satu yang jadi favorit kami? Ketika Cody dan May terjebak di dalam sebuah kerajaan yang tiba-tiba mengubah keseluruhan mekanik gameplay menjadi game action RPG top-down ala Diablo. Cody diposisikan sebagai mage dengan elemen es dan May diposisikan sebagai Knight dengan pedang api. Proses transisi gameplay dari third person menjadi action RPG ini terasa begitu mulus, rasional, sembari mempertahankan keseruan dan tantangan platformer di dalamnya. Bertarung melawan banyak musuh, mengeluarkan kombinasi jurus damage AOE untuk menghancurkan mereka benar-benar terasa memuaskan. Ada keinginan agar mekanik ini bertahan lama, namun seperti halnya mekanik gameplay yang lain, ia juga berubah dan hilang begitu mencapai level yang lain.


Tantangan tentu saja tidak hanya terkunci pada konsep kemampuan untuk Cody dan May ini saja, yang pilihan karakternya bisa Anda tentukan di awal sebelum Anda bermain. Terkadang ada juga level yang tidak memuat kemampuan baru apapun, namun menguji elemen yang lain, seperti timing dan komunikasi. Ada salah satu level misalnya, dimana Cody akan membuka beragam pintu gerbang berbasiskan gambar binatang yang harus dilalui May yang tengah berselancar di atas rel. Kecepatan dan presisi soal pintu gambar berbinatang apa yang harus dibuka memang butuh komunikasi yang cepat dan tepat sasaran. Terkadang Anda juga akan bertemu dengan level dimana Cody dan May berada di dalam satu kendaraan yang sama dan harus saling membantu, baik untuk navigasi ataupun ketika terjebak dalam situasi penuh aksi.
Level kerjasama yang sama intensifnya juga biasanya akan Anda hadapi saat petarungan melawan boss, yang biasanya menjadi penutup setiap level dan chapter. Untuk urusan yang satu ini, selama masing-masing pihak memahami apa yang perlu mereka lakukan, Anda harusnya tidak akan mengalami banyak kesulitan. Apalagi It Takes Two juga termasuk cukup bersahabat jika kita bicara soal sistem Game Over. Anda tidak akan diminta untuk mengulang checkpoint selama setidaknya ada satu karakter yang hidup. Karakter yang mati hanya perlu menekan satu tombol Respawn berulang-ulang untuk kembali ke arena dan melanjutkan apapun yang tengah ia lakukan, tanpa konsekuensi sama sekali. Ini membuat It Takes Two bersahabat untuk gamer awam sekalipun, yang mungkin Anda ajak untuk ikut menikmati game yang satu ini.


Seolah masih belum cukup seru dan menyenangkan, It Takes Two juga menyediakan beberapa mini games yang bisa Anda temukan di hampir setiap level yang ada. Mini game ini akan menyediakan sedikit kesempatan untuk mencicipi multiplayer kompetitif, lewat permainan singkat yang pemenangnya biasanya ditentukan lewat skor semata dan tentu saja, tidak mempengaruhi bagian dari cerita sama sekali. Mini game ini hadir variatif, dari tarik tambang, unjuk tembak meriam, mainan kodok yang bisa berujung memerangkap, hingga sekadar permainan baseball klasik. Cukup untuk membuat Anda yang punya sedikit jiwa kompetitif untuk sedikit bersenang-senang.
Sebagai sebuah game yang sejak awal terus mendorong narasi soal konsep game yang hanya bisa dimainkan dalam mode multiplayer kooperatif, It Takes Two membuktikan hal tersebut. Konsep level dengan mekanik yang terus berubah dan berbeda menghasilkan sensasi permainan yang selalu segar, sembari menjadi testimoni bagaimana game ini memang mustahil untuk diselesaikan seorang diri. Apa yang dibangun Hazelight dengannya memang, terhitung kreatif dan istimewa di saat yang sama.












